Kamis, 16 Desember 2010

Mimpi-mimpi Garuda

“Garuda di dadaku, garuda kebanggaanku….
ku yakin hari ini pasti menang.....................
kobarkan semangatmu, tunjukkan sportivitasmu
ku yakin hari ini pasti menang..........................”

Lirik lagu tersebut hari-hari belakangan ini nyaris menghiasi layar kaca pemirsa televisi kita. Segenap perhatian publik kini tertuju pada punggawa-punggawa kebanggaan bangsa di lapangan hijau. Tua muda, besar kecil, lelaki perempuan tumpah ruah memenuhi stadion GBK tatkala timnas bertanding saat penyisihan Piala AFF beberapa pekan lalu.
Kemenangan demi kemenangan yang diraih pasukan di bawah asuhan Alfred Riedl memunculkan sebuah harapan baru akan kebangkitan tim nasional sepakbola kita yang sekian lama miskin prestasi. Pelan tapi pasti perubahan yang diberikan pelatih asal Austria ini telah memberikan pengaruh yang positif bagi para pemain.
Tak dapat dipungkiri, selain berkat tangan dingin Riedl, keberhasilan tim nasional juga tak lepas dari peran supporter setianya. Jutaan pendukung merah Putih dengan lantang selalu menyanyikan lagu ”Garuda di Dadaku”. Lirik yang penuh motivasi dan dibawakan dengan ritme lagu bernada semangat telah melecut perjuangan Firman Utina dkk memberikan hasil terbaik bagi bangsanya.
Perhatikan bait demi bait lagu tersebut terutama pada lirik “ku yakin hari ini pasti menang” yang diulang dua kali. Sekian lama lagu itu telah dinyanyikan jauh sebelum kemenangan yang didapat hari-hari belakangan ini. Di setiap pertandingan atau turnamen resmi pendukung setia Merah Putih tak pernah iseng atau mengubah lirik itu dengan nada mengejek seperti misalnya, ”apakah hari ini kita menang?” atau ”kapan ya timnas kita bisa menang?”. Meski pada kenyataannya hasil yang didapat pada pertandingan itu tim nasional memang tidak memetik kemenangan, lagu itu tetap berkumandang dengan gempitanya.
Pelajaran apa yang dapat kita petik dari fenomena ini? Mimpi untuk mendapat kemenangan memang tak boleh pupus dari ingatan kita. Ingat apa yang terjadi pada tim nasional Jepang? Jauh sebelum Piala Dunia 2002, Jepang telah memimpikan tim nasionalnya bisa berlaga di piala dunia. Maka dibuatlah film animasi Tsubasa yang bercerita tentang mimpi seorang anak Jepang yang ingin bermain bersama negaranya di piala dunia sepakbola. Kita semua tahu pada waktu itu sepakbola bukan merupakan olahraga populer di kalangan rakyat Jepang. Melalui film animasi Tsubasa, anak-anak jepang diberikan harapan bahwa suatu saat nanti tim nasional mereka bisa tampil di piala dunia. Kenyataan pun terbukti, walau tampil di piala dunia karena menjadi tuan rumah namun penampilan pemain Jepang juga tidak mengecewakan. Hidetoshi Nakata adalah salah satu bintang yang bersinar kala itu. Selepas Piala Dunia 2002, Jepang selalu menjadi langganan peserta piala dunia dua kali berturut-turut yaitu pada tahun 2006 dan 2010.
Sudah seharusnya lagu Garuda di Dadaku terus berkumandang memberikan semangat bagi pemain tim nasional. Lagu yang penuh mantra berisi motivasi. Lagu yang mengajarkan kita untuk terus memupuk keyakinan bahwa kemenangan pasti hari ini akan terjadi. Banyak ahli pengembangan diri menguraikan pentingnya memupuk impian. Sandy Mc Gregor dalam bukunya Piece of Mind mengatakan bahwa otak akan bekerja maksimal dalam frekuensi Alpha. Frekuensi Alpha dalam gelombang otak terjadi pada saat manusia dalam keadaan bermimpi, dengan kata lain antara tidur dan sadar.
Bermimpi tidak sama dengan menghayal. Impian adalah salah satu vitamin penting bagi otak yang akan memacu seluruh organ tubuh untuk bekerja, bergerak dan memberikan hasil yang maksimal. Tak heran, ulama sekaliber Hasan Al Banna juga berujar, ”Kenyataan hari ini adalah mimpi kemarin dan mimpi hari ini adalah kenyataan esok hari!” Biarkanlah garuda terbang bersama mimpi-mimpinya. Asal jangan mimpinya terbang bersama harapannya.

Kamis, 09 Desember 2010

Konsultasi Tukang Mie

Beratnya beban hidup membuat kami berfikir untuk mancari jalan keluar. Himpitan ekonomi dan sesaknya pikiran kami atas beragam masalah kehidupan telah membuat rumah tangga kami nyaris berantakan. Ribut soal kecil bisa merembet menjadi hal yang besar. Awalnya bukan gara-gara kami kurang uang, namun kami kurang kepercayaan satu sama lain. Sehingga masalah uang menjadi titik kulminasi dari segala debat kusir selama ini.
Kami pun berfikir untuk meperbaiki keadaan rumahtangga ini dengan memulai dari memperbaiki keadaan ekonomi. Selintas pikiran untuk berdagang muncul kemudian. Ingatan kami pun melambung pada sosok yang kami anggap menjadi figur sukses dalam bidang usaha. Kebetulan kami berdua penggemar mie ayam. Tepat di pinggir Jl. Raya Pahlawan Rempoa, Gintung Tangsel, ada satu pedagang mie ayam yang amat terkenal sejak istriku masih kecil, namanya Mie Ayam Kumis.
Mie ayam kumis memang laiknya seperti mie ayam yang di jual di gerobak pinggir jalan. Tak ada yang istimewa dari penampilan fisiknya, gerobak tua, beberapa kursi kayu memanjang dan terpal biru yang hampir robek. Namun banyak orang menggilai mie ayam ini.
Mie ayam kumis baru buka menjelang Ashar dan biasanya sudah habis menjelang isya. Terkadang bila suasana sedang ramai, anda datang maghrib pun sudah tak kebagian. Setelah banyak mencicipi mie ayam, saya memang menyium aroma berbeda dari mie ayam kumis, belum lagi taburan daging ayamnya yang diiris besar-besar serta mienya yang lentur membuat air liur kerap keluar saat membayangkannya.
Sore itu selepas menyantap mie ayam terakhir buatan Kumis-begitu biasa ia kami sapa- ada keinginan untuk mengobrol dengannya mengenai bisnis kuliner yang ia geluti. Awalnya agak ragu juga memulai pembicaraan namun akhirnya kami memberanikan diri.
"Mis, gue pengen ngobrol nih"
"Ngobrol apaan, dah sana pulang udah abis mie ayam gue mau beberes!" ujarnya santai
"Gue mau ngajak kerjasama bisnis" aku mencoba merayunya
"Bisnis apaan? MLM? nggak ah gua nggak tertarik, mending lu pulang aja" kali ini Kumis agak ketus
Aku pun sempat down namun istriku yang sudah faham karakter kumis menanggapinya dengan santai. "iya nih gue mau buka mie ayam juga"
Namun raut muka Kumis masih belum berubah antusias.
Hujan pun turun. Aku yang sedari tadi sudah ilfeel dengan gelagat Kumis hanya bisa mengelus dada. Dalam hati berkecamuk, "sombong nian ini orang"
aku dan istri kembali berteduh di bawah tenda mie ayam Kumis. tak disangka Kumis menghampiri dan berkata, "lo serius mau kerjasama sama gue?"
"Iyalah Mis, masa gue becanda!" senyum kami sontak mengembang
"Tapi lo mau nggak belajar?" tanya Kumis
"Ilmu dagang kaya begini mesti dipelajari, lo siap nggak?" katanya lagi
"Iyah Mis, gue siap!!" jawab kami
"Jangan siap,,siap doang loe"
"Loe pikir dagang itu enak??? lu dah ngerasain prihatin belon?"
"Loe jangan liat gue yang sekarang, emang loe pikir dagang itu gampang!"
"Justru itu Mis, kita mau belajar dari loe" kami pun meyakinkannya
"Sekarang loe ngejalanin sholat malam dulu, paling sedikit 41 malam jangan putus, kalau sampai 60 malam lebih bagus"
"Trus selama loe sholat malam, loe minta petunjuk sama Alloh. kalo loe nggak bisa bahasa arab ya udah pake bahasa Indonesia aja!"
"Emang loe pake bahasa arab Mis? " gelitikku
"Ya nggak, mana ngarti gue bahasa Arab! sekolah aja nggak selesai!" candanya
"Minta sama Alloh, kita bisa apa sih...kan cuma bisanya minta...." pesannya seperti mnggurui kami
"Trus setelah itu jangan sampai loe berbuat nggak jujur, misal loe nemu duit, duitnya jangan loe makan, amalin aja, kasih ke pengemis kek, trus kalau ada tamu main ke rumah, barangnya ketinggalan, ya dompet keke, hape kek, pulangin. '' panjang lebar ia menjelaskan
"Loe mau sukses, mau itu kerja, apa dagang atau sekolah syaratnya sebenarnya cuma tiga yaitu; jujur, berani dan rajin"
"Nah kalau udah ada petunjuk atau ilham emang loe mesti jalannya berdagang, baru lo lakonin tuh kerjaan dengan serius..."
"Loe jangan males, kalau belum ada pembeli seharian jangan nyerah, harus sabar...."
"Inget satu hal lagi, kalo ada orang datang minta-minta loe jangan bentak, sebisanya loe kasih duit. minta doanya....doa mereka manjur, loe tau kagak?"
"Iya mis, gue tahu..gue juga belajar agama!" kami mesem-mesem
"Ah loe belajar doang nggak pernah ngamalin sih, makanya loe susah..."
"Banyak kita liat orang belajar agama nggak ada ngaruhnya ama kehidupan dia, loe tanya tuh kenapa?" ujar Kumis bernada retoris
"Bencong aja pernah gue minta doanya biar usaha gue laris....apa gue pernah pikir bencong itu bakal diterima doanya sama Alloh?..."
"Nggak gue nggak mikir ke sono, itu biar urusan dia ama Alloh aja, yang penting hari itu dia bisa dapat rezeki melalui perantaraan gue...padahal cuma gue kasih seceng" Kumis bicara amat serius.
Kami terbuai mendengar tausyiahnya, tak menyangka kalau sosok pedagang mie yang kalau bicara ceplas-ceplos bahkan terkadang menjurus porno ini bisa menasehati seperti layaknya ustad
"Insya Alloh Mis, kita siap...kita juga mau berhasil kayak loe" kami menatapnya penuh harap.
"ah loe sekarang aja ngomong begitu karena loe lagi susah...apa gue bisa jamin loe juga bakal bisa ngelakoninnya kalau loe udah sukses?"
Kami terdiam.
"Nah loe nggak bisa jawab kan?" serobot Kumis
"Banyak orang datang ke gue ngajak kerjasama juga, bukan cuma yang susah kaya loe, yang duitnya segepok juga ada!"
"Tapi begitu gue tanya kaya tadi pada diem semua!"
"Nah sekarang loe pulang.....loe ngejalanin apa yang gue bilang tadi cepet sana...nunggu apa lagi????" nadanya gusar seolah ingin mengusir kami
Kami terdiam memaku. Kata-kata Kumis sedari tadi sudah memenuhi lubuk pikiranku. Ucapannya seolah menusuk kesadaran imanku. Apa yang dilontarkannya sedari tadi seolah mengingatkanku untuk berlaku rajin, jujur dan berani...tiga hal yang sekian lama lepas dari genggamanku

Jumat, 17 September 2010

Puisi Televisi

Televisi hari ini tidak sekedar menyala
Televisi hari ini sudah menyalak
Gonggongannya galak sekali
Melebihi galaknya polisi
Pagi buta telah mengganggu nyenyak tidur politisi
dan pejabat publik yang tersandung korupsi

Tapi di kabar pagi tak nampak lagi penyiar putri
yang biasa memandu dan memberondong pemberi informasi
kabarnya tersangkut masalah dengan polisi
akibat informannya salah menyanyi

Televisi hari ini tak lagi hitam putih
Penuh warna bergradasi dan sedikit manipulasi
Kaum uzurnya terlibat drama reality bertajuk korupsi
Kaum ibunya lalai memberi asi karena keasyikan cinta fitri
kaum mudanya tak lagi hafal lantunan barjanzi
malah asyik berjingkrak diiringi harmoni dipandu kaum banci

Televisi hari ini tak lagi memihak pada yang benar
tetapi memihak pada yang bayar
Televisi berita pertama memberi durasi lebih lama
pada pemilik modalnya kala berbicara
Televisi yang terdepan mengabarkan berita
Ditengarai terlibat skandal rekayasa
Televisi keluarga Indonesia malah tak lagi berpihak pada keluarga
Televisi kebanggaan bersama miliki bangsa
kini bakal jadi milik bangsa tetangga sebelah
Televisi yang isinya satu untuk semua malah semakin membuat jenuh pemirsa
Televisi milik kita bersama kini jadi milik keluarga pengusaha

Otakku masih dipenuhi banyak lagi televisi
kabel-kabelnya menjalar ke seluruh tubuh hingga ujung birahi
Dep0k, April 2010

Julia Perez Sekwilda Depok?

Hiruk pikuk pemilukada Depok, Oktober tahun ini nyaris tak seheboh seperti daerah lain. Pasalnya tak ada sosok kontroversial yang maju sebagai kandidat. Belakangan muncul rumors yang berkembang bahwa Julia Perez disebut-sebut bakal meramaikan panggung politik di Kota depok yang memang sedang adem ayem ini.

Menarik untuk disimak kiprah Julia Perez dalam pusaran politik beberapa tahun ini.
Setelah berhasil menggaet Gaston Castanyo -pesepakbola imigran yang merumput di Liga Super- Julia Perez pernah memikat politisi lokal Pacitan. Menjelang pemilukada tahun ini, namanya digadang-gadang untuk disandingkan dengan politisi dari beberapa aliansi partai gurem di sana sebagai orang nomor satu di tanah kelahiran SBY itu.

Awalnya Jupe –begitu biasa ia disapa- tak begitu menganggap rumor itu serius. Sebagai pesohor tentunya ia mahfum dengan strategi membuat issu agar diendus media. Namun akibat dihubungi oleh seorang artis senior yang belakangan diketahui bernama Reny Jayusman, Jupe tak bisa menampik tawaran itu. Kali ini Mbak Reni Jayusman memang sedang tidak jayus man! Ia benar-benar sedang serius. Seorang petinggi parpol di Pacitan yang kebetulan dekat Reny-lah yang menghubungi Jupe.

Sebelum maju menjadi cabup, sempat beredar transkrip pembicaraan antara Jupe dan tokoh parpol lokal. Berikut petikan transkrip rekaman pembicaraannya,
“Mbak Jupe…bagaimana siap untuk dicalonkan menjadi Bupati Pacitan?” tanya petinggi parpol tersebut.
“Saya tak kuasa menolak Mas kalau memang itu keinginan rakyat” jawab Jupe diplomatis.
“Sebenarnya ini keinginan arus bawah mbak…kita bukan hanya ingin memanfaatkan popularitas mbak semata,” petinggi parpol itu mencoba menyakinkan Jupe.
Jupe terdiam sejenak, pikirannya lantas melambung. “Ah…apakah ini benar keinginan arus bawah masyarakat atau arus bawah si bapak ini yang sudah kadung nafsu sama saya ya?” gumam Jupe dalam hati. Jemarinya terus memain-mainkan kabel telepon.
“Oke mbak jadi kapan kita bisa ketemu untuk berbicara lebih panjang?” desak suara dari ujung sana.
Jupe lantas sewot dan mencak-mencak, “Eh mas tolong ucapannya diralat ya! Kalau mau ketemu saya bukan untuk membicarakan yang lebih panjang, orang ketemu saya untuk membicarakan dan melihat yang lebih besar!”
Jupe pun menutup telepon dengan perasaan yang masih dongkol.
Akhirnya melalui serangkaian pendekatan yang intensif, pertemuan antara petinggi parpol dan tim sukses Jupe pun digelar. Para pemburu berita yang sedari tadi menunggu preskon akhirnya dapat bernafas dengan lega ketika salah seorang tim sukses merapikan meja. “Ehm maaf mas, jadi kapan jumpa persnya ya?” tanya salah seorang wartawan.
“Oh maaf mas saya cuma housekeeping” ucapnya sambil tersenyum simpul
Para wartawan kembali duduk-duduk diteras sambil menunduk. Rupanya bukan osteoporosis yang menyebabkan banyak di antara wartawan mengalami kelainan tulang punggung. Mereka tampaknya sedang sibuk ketrak-ketrik dengan telepon qwerty hanya untuk update statusnya di facebook dan twitter.

Jupe akhirnya angkat bicara. Tim suksesnya bahkan sengaja membalutnya dengan busana blazer ala Evita Peron agar kelihatan anggun. Bajunya bahkan kini nyaris sopan dan tidak kekurangan bahan lagi. Salah seorang wartawan bertanya, “Jup..Jup apakah anda memiliki pengalaman di birokrasi sebagai bekal menjadi pejabat publik?”
Jupe dengan tenang menjawab, “Saya adalah wanita yang paling memiliki pengalaman dan sejarah di birokrasi yang cukup lama. ”
“Waktu perceraian saya dengan pria asal Perancis saya sudah di birokrasi, saat mengalami pelakuan tak menyenangkan dengan ayah kandung saya, saya sudah di birokrasi…” ucapnya lirih sambil menahan air mata.
Para wartawan agak bingung dibuatnya. Sesekali diantara para wartawan menoleh kepada rekannya yang lain pertanda bingung.
“Maksudnya apa mbak, kami nggak ngerti!” salah seorang wartawan memberanikan bertanya.
“Eh..kalian wartawan infotainment gak pernah ikut diklat PWI ya?” serobot Jupe.
“ Pengalaman saya di birokrasi ya itu tadi, saya pernah di birokrasi alias di bikin robek karena dikerasi. .gimana apa mesti saya jelaskan lagi? Semprull!!”
Wartawan semakin bingung, belum sempat ditanya Jupe kahirnya nyerocos lagi,
“Nih denger ya..waktu nikah kan anu saya (maksud saya perasaan saya) di bikin robek karena dikerasi sama suami saya. Dia ternyata tak sebaik yang saya kira. Saat berumah tangga hati saya kembali di birokrasi alias di dibikin robek oleh suami saya. Tak cuma dikerasi saya malah, dilempari, ditampari, di-KDRT-i .Belum lagi waktu ayah kandung saya mau bunuh saya dan ibu saya….Bikin statement yang menyakiti di televisi, coba sudah di birokrasi apa lagi yang belum saya lakoni!!” tutur Jupe sambil berlinang air mata.

Para wartawan semua terdiam. Suasana mendadak hening. Dari belakang muncul perlahan suara tepuk tangan. Plok..Plok..satu dua tepuk tangan menyusul. Sayup-sayup tepuk tangan bergemuruh dan akhirnya membahana. Semua yang hadir pun ikut berdiri.
Esok hari headline koran dan tabloid mengangkat soal Julia Perez Bupati Pacitan. Sontak seantero negeri jadi gusar. Pihak yang kontra mengeluarkan pernyataan lebih pedas, “Pezina dilarang menjadi pemimpin!” Namun tak sedikit pula yang mendukung pemilik nama asli Yuliana Rahmawati ini.
Kaum pendukung Jupe meneriakkah yel-yel “Jupe Campeone..! Jupe Scudetto…!” oh maaf ini tampaknya pendukung Jupentus.

Sayang geliat semangat Jupe ternyata berhenti sudah. entah karena alasan apa, namanya akhirnya redup dan nyaris tak terdegar lagi.
Padahal tak ada alasan untuk tidak mendukung Julia Perez menjadi Bupati Pacitan. Orang-orang yang menolaknya adalah kaum munafik. Bukankah sedari awal kemunculannya Jupe sudah Bupati Pacitan? Mengapa baru sekarang dipertentangkan.

Lihatlah rekam jejak Jupe di panggung hiburan yang di awalinya dengan bupati pacitan alias buka paha tinggi-tinggi pasti ciptakan tantangan. Tak cuma bupati pacitan yang dilakoninya, sekwilda depok alias sekitar wilayah dada depan montok pun telah melambungkan namanya. Tak banyak yang komentar kala itu.

Seandainya masyarakat kita cerdas pasti apa yang dijual Julia Perez akan tak laku di pasaran. Kemunculannya sebagai kandidat calon pemimpin masyarakat tak perlu dipertentangkan. Justru akan menjadi tolak ukur indeks pembangunan manusia pada masyarakat tersebut. Jika pemimpinnya perampok ya masyarakatnya ‘kan ndak jauh-jauh dari kaum pencopet, pengutil, pemgemplang dan lain sebangsanya.

Dukungan secara pribadi saya kepada Julia Perez untuk menjadi bupati memang mungkin terlambat, namun itu jauh lebih baik bagi Jupe. Alih-alih jualan lagu belah duren berbonus alat kontrasepsi, menjadi pemimpin masyarakat akan jauh lebih terhormat bagi Jupe untuk kembali pada jalan yang benar.
Sekiranya ia gagal menjadi bupati dan pundi-pundi kekayaannya sudah habis untuk ongkos politik dan biaya pelumas mesin parpol, masih ada peluang bagi Jupe merintis karir di dunia selebritas dari nol lagi. Misalnya dengan mengikuti lomba mirip artis semacam the Promotor Trans TV sebab menurut saya wajah, penampilan, gesture, Jupe sangat mirip sekali dengan Chef Farah Quinn yang terkenal itu.Dan semoga predikat Jupe sebagai Sekwilda Depok perlahan menghilang dari ingatan publik.

Rabu, 01 September 2010

Melebarnya Masalah Pelebaran Jalan

Hari Sabtu dan Minggu biasanya aku habiskan untuk mengajak anak dan istriku ke luar rumah. Sebagai pekerja yang sangat sibuk, terkadang hari Sabtu dan Minggu memang sangat berharga bila dinikmati hanya untuk keluarga. Aku tak punya anggaran khusus mengajak mereka ke tempat rekreasi, paling banter ya mengajak mereka ke mal atau pusat perbelanjaan.

Namun impian menikmati hari libur justru buyar bila begitu keluar rumah sudah terjebak kemacetan. Seperti kala itu ketika kami berencana pergi ke salah satu pusat perbelanjaan di kota Depok. Posisi rumah kami terletak di pinggiran kota Depok, yaitu Sawangan, praktis kami tak punya jalur alternatif menuju episentrum Kota Depok kecuali melalui jalan ini.

Meskipun kami menikmati perjalanan dengan kendaraan bermotor, perjalanan cukup memakan waktu lama. Pasalnya semenjak tersohornya Masjid Kubah Emas yang menjadi bagian dari ikon kota ini telah menyedot peziarah-peziarah dari luar kota. Mereka tak hanya menggunakan kendaraan pribadi namun juga bus-bus besar dengan jumlah rombongan yang tidak sedikit.

Memang kini Kota Depok -sebagai salah satu kota penyangga ibukota- telah mengalami percepatan pembangunan yang luar biasa. Tingginya minat masyarakat untuk tinggal di Depok telah membuat kota ini berbenah menyiapkan segala perangkat pendukung aktivitas warganya termasuk kebutuhan transportasi dan sarana jalan

Beragam upaya telah dilakukan Pemkot Depok guna meningkatkan kenyamanan warganya dalam berkendara. Hampir setiap ruas jalan utama di wilayah Depok telah mengalami perbaikan, misalnya dengan betonisasi, pengaspalan tambal sulam, atau pelebaran jalan, terrmasuk jalan Raya Sawangan yang sekarang tengah kami lewati ini

Selepas melewati jalan Raya Sawangan dengan menyisakan kejengkelan yang luar biasa, kami pun hampir tiba di lokasi yang di tuju. Namun alangkah kagetnya kami melihat berjubelnya pengunjung mal yang bersebelahan dengan Terminal Depok ini. Melalui sedikit negosiasi dengan istri akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi mal lain yang memang menjamur di sepanjang jalan Margonda Raya.

Perhatianku tertuju pada suasana jalan Margonda Raya yang kini terlihat lebih lapang. Geliat pembangunan di Kota Depok setidaknya tercermin dari hiruk-pikuk pekerja yang sedang melebarkan jalan sepanjang 5 km lebih ini. Kepulan asap kendaraan bercampur debu dan teriknya matahari siang itu telah menurunkan mood kami untuk menikmati akhir pekan ini.

Bagaimana tidak, sepanjang jalan tak lagi ku temui hamparan pohon rindang yang meneduhkan kota ini. Rupanya upaya perbaikan jalan, baik melalui betonisasi maupun pelebaran jalan menyisakan masalah yang cukup besar. Lihatlah jalan Margonda yang merupakan landmark Kota Depok yang kini terkesan gersang. Proyek pelebaran jalan Margonda Raya yang dibiayai APBD Provinsi Jabar telah merenggut ratusan pohon-pohon hijau di sepanjang jalan Margonda Raya. “Apakah tak ada upaya dari pemkot untuk mencari alternatif dengan menanam pohon pengganti?” gumamku dalam hati.

Sepeda motor tuaku masih mencoba mencari celah menghindari angkot-angkot yang seenaknya ngetem. Auhg..hampir saja ku lindas kaki seorang pejalan kaki. Maklum, akibat pelebaran jalan ini trotoar yang merupakan hak pejalan kaki akhirnya tergerus. Aku yang mencoba mengambil arah putar balik di kolong putaran UI melihat jelas sepanjang jalan Margonda Raya dari arah Jakarta mulai dari gerbang selamat datang hingga depan kampus Gunadarma tidak kutemukan trotoar sama sekali. Aku hanya bisa mengelus dada dan bertanya dalam hati “ Di mana rasa kemanusiaan pemerintah kota ini kepada warganya sendiri?”

Bisa dikatakan, sepanjang jalan Margonda Raya tersebut tidak memiliki bahu jalan, karena batas tepi jalan raya sangat mepet dengan tanah warga. Ini tentu sangat membahayakan tidak hanya bagi pejalan kaki namun juga pengendara kendaraan bermotor, seperti aku dan mungkin banyak pengguna kendaraan lainnya.
Semestinya Pemkot Depok memiliki komitmen untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang berpihak pada lingkungan hidup dan kemanusiaan, seperti yang sudah dijalani di beberapa daerah lain sebagai bagian dari komitmen terhadap kesepakatan perubahan iklim di Bali beberapa tahun lalu. Apalagi jalan Margonda Raya sebagai ikon kota Depok menjadi semacam etalase yang mencerminkan sikap dan perilaku warga dan pemerintah Kota Depok.

Aku lantas melambungkan ingatanku kepada suasana di jalan Sudirman atau Thamrin di Kota Jakarta yang masih terlihat hijau dan teduh karena masih memiliki pohon-pohon yang rindang. Selain itu di sepanjang Jalan Sudirman dan Thamrin memiliki trotoar yang amat luas bagi pejalan kaki. Belum lagi jika mengenang suasana Jakarta di hari tanpa kendaraan dan menikmati berjalan-jalan di sepanjang jalan itu. Ooh alangkah nyamannya…

Namun lamunanku kembali buyar karena mendadak ada angkot yang berhenti tiba-tiba. “Huff..hampir saja,” gumamku. Istriku pun akhirnya angkat bicara, “Ayah, gimana sih bawa motornya ngelamun melulu makanya jangan ngeliatin cewek terus mentang-mentang lewat kampus…” Bisingnya suara istriku mirip bising knalpot motorku yang tak lulus uji emisi.

Memang harus kuakui dengan pelebaran jalan ini telah membuat masalah kepadatan lalu lintas di Margonda Raya dapat diurai terutama pada jam-jam sibuk. Setelah jam sibuk pada pagi dan menjelang sore hari praktis jalan Margonda Raya memang terlihat cukup lancar, namun pada hari-hari libur seperti Sabtu dan Minggu justru kemacetan terjadi utamanya di sekitar pusat-pusat perbelanjaan yang terbentang sepanjang jalan Margonda Raya. Dengan demikian pelebaran jalan menjadi kontraproduktif dan malah menimbulkan masalah baru.

Tak terasa perjalananku telah mencapai tujuan. Selintas ku menatap baliho besar bergambar pak walikota yang selalu tersenyum. Entahlah yang pasti senyumannya seolah menertawai penderitaanku. Kabarnya selepas ini pejabat yang dijuluki “walikota baliho” akan maju lagi dalam pemilukada tahun ini. Aku sendiri tak yakin apakah kehadirannya kembali memimpin kota ini mampu menata kota ini jauh lebih baik puluhan tahun ke depan.
Apalagi jika jajaran pejabat di bawahnya hanya berpikir pragmatis mengurai masalah kota dengan pendekatan simsalabim. Seperti misalnya mengurai masalah kemacetan dengan menjadikan penambahan ruas jalan atau pelebaran jalan sebagai fokus utama.

Buatku yang terpenting adalah bagaimana pemerintah menyiapkan sarana transportasi massal yang aman dan nyaman bagi warganya, bukan sekedar menambah ruas jalan. Sehingga banyak warga akan beralih dari kendaraan pribadi dan memilih menggunakan transportasi umum. Kalaupun pada akhirnya memilih pelebaran jalan sebagai solusi semestinya juga diiringi oleh pelebaran ruang publik dan tanpa menebang pohon-pohon di sepanjang jalan yang diperlebar. Hal itu merupakan cerminan keberpihakan pemerintah kota kepada lingkungan hidup dan kemanusiaan.

Selain itu pemerintah juga perlu membatasi kepemilikan kendaraan pribadi atau menetapkan pajak yang besar sehingga tak banyak kendaran wara-wari di sepanjang jalan. Apa gunanya jalan di perlebar kalau kendaraan juga makin banyak, iya khan?
Hentakan gas motorku terasa semakin berat, psstt…pssst.. terdengar sayup ban motorku kempes. Oalah…gara-gara banyak jalan hanya dibeton saja tanpa diaspal, ban vulkanisir motorku kini jadi semakin menipis. Aku pun menepikan motor dan menikmati akhir pekan di tempat tambal ban. Beruntung istriku tak lagi menggerutu karena masih asyik update status dari handphone baru pemberianku.

Melebarnya Masalah Pelebaran Jalan

Hari Sabtu dan Minggu biasanya aku habiskan untuk mengajak anak dan istriku ke luar rumah. Sebagai pekerja yang sangat sibuk, terkadang hari Sabtu dan Minggu memang sangat berharga bila dinikmati hanya untuk keluarga. Aku tak punya anggaran khusus mengajak mereka ke tempat rekreasi, paling banter ya mengajak mereka ke mal atau pusat perbelanjaan.

Namun impian menikmati hari libur justru buyar bila begitu keluar rumah sudah terjebak kemacetan. Seperti kala itu ketika kami berencana pergi ke salah satu pusat perbelanjaan di kota Depok. Posisi rumah kami terletak di pinggiran kota Depok, yaitu Sawangan, praktis kami tak punya jalur alternatif menuju episentrum Kota Depok kecuali melalui jalan ini.

Meskipun kami menikmati perjalanan dengan kendaraan bermotor, perjalanan cukup memakan waktu lama. Pasalnya semenjak tersohornya Masjid Kubah Emas yang menjadi bagian dari ikon kota ini telah menyedot peziarah-peziarah dari luar kota. Mereka tak hanya menggunakan kendaraan pribadi namun juga bus-bus besar dengan jumlah rombongan yang tidak sedikit.

Memang kini Kota Depok -sebagai salah satu kota penyangga ibukota- telah mengalami percepatan pembangunan yang luar biasa. Tingginya minat masyarakat untuk tinggal di Depok telah membuat kota ini berbenah menyiapkan segala perangkat pendukung aktivitas warganya termasuk kebutuhan transportasi dan sarana jalan
Beragam upaya telah dilakukan Pemkot Depok guna meningkatkan kenyamanan warganya dalam berkendara. Hampir setiap ruas jalan utama di wilayah Depok telah mengalami perbaikan, misalnya dengan betonisasi, pengaspalan tambal sulam, atau pelebaran jalan, terrmasuk jalan Raya Sawangan yang sekarang tengah kami lewati ini

Selepas melewati jalan Raya Sawangan dengan menyisakan kejengkelan yang luar biasa, kami pun hampir tiba di lokasi yang di tuju. Namun alangkah kagetnya kami melihat berjubelnya pengunjung mal yang bersebelahan dengan Terminal Depok ini. Melalui sedikit negosiasi dengan istri akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi mal lain yang memang menjamur di sepanjang jalan Margonda Raya.

Perhatianku tertuju pada suasana jalan Margonda Raya yang kini terlihat lebih lapang. Geliat pembangunan di Kota Depok setidaknya tercermin dari hiruk-pikuk pekerja yang sedang melebarkan jalan sepanjang 5 km lebih ini. Kepulan asap kendaraan bercampur debu dan teriknya matahari siang itu telah menurunkan mood kami untuk menikmati akhir pekan ini.

Bagaimana tidak, sepanjang jalan tak lagi ku temui hamparan pohon rindang yang meneduhkan kota ini. Rupanya upaya perbaikan jalan, baik melalui betonisasi maupun pelebaran jalan menyisakan masalah yang cukup besar. Lihatlah jalan Margonda yang merupakan landmark Kota Depok yang kini terkesan gersang. Proyek pelebaran jalan Margonda Raya yang dibiayai APBD Provinsi Jabar telah merenggut ratusan pohon-pohon hijau di sepanjang jalan Margonda Raya. “Apakah tak ada upaya dari pemkot untuk mencari alternatif dengan menanam pohon pengganti?” gumamku dalam hati.

Sepeda motor tuaku masih mencoba mencari celah menghindari angkot-angkot yang seenaknya ngetem. Auhg..hampir saja ku lindas kaki seorang pejalan kaki. Maklum, akibat pelebaran jalan ini trotoar yang merupakan hak pejalan kaki akhirnya tergerus. Aku yang mencoba mengambil arah putar balik di kolong putaran UI melihat jelas sepanjang jalan Margonda Raya dari arah Jakarta mulai dari gerbang selamat datang hingga depan kampus Gunadarma tidak kutemukan trotoar sama sekali. Aku hanya bisa mengelus dada dan bertanya dalam hati “ Di mana rasa kemanusiaan pemerintah kota ini kepada warganya sendiri?”

Bisa dikatakan, sepanjang jalan Margonda Raya tersebut tidak memiliki bahu jalan, karena batas tepi jalan raya sangat mepet dengan tanah warga. Ini tentu sangat membahayakan tidak hanya bagi pejalan kaki namun juga pengendara kendaraan bermotor, seperti aku dan mungkin banyak pengguna kendaraan lainnya.
Semestinya Pemkot Depok memiliki komitmen untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang berpihak pada lingkungan hidup dan kemanusiaan, seperti yang sudah dijalani di beberapa daerah lain sebagai bagian dari komitmen terhadap kesepakatan perubahan iklim di Bali beberapa tahun lalu. Apalagi jalan Margonda Raya sebagai ikon kota Depok menjadi semacam etalase yang mencerminkan sikap dan perilaku warga dan pemerintah Kota Depok.

Aku lantas melambungkan ingatanku kepada suasana di jalan Sudirman atau Thamrin di Kota Jakarta yang masih terlihat hijau dan teduh karena masih memiliki pohon-pohon yang rindang. Selain itu di sepanjang Jalan Sudirman dan Thamrin memiliki trotoar yang amat luas bagi pejalan kaki. Belum lagi jika mengenang suasana Jakarta di hari tanpa kendaraan dan menikmati berjalan-jalan di sepanjang jalan itu. Ooh alangkah nyamannya…

Namun lamunanku kembali buyar karena mendadak ada angkot yang berhenti tiba-tiba. “Huff..hampir saja,” gumamku. Istriku pun akhirnya angkat bicara, “Ayah, gimana sih bawa motornya ngelamun melulu makanya jangan ngeliatin cewek terus mentang-mentang lewat kampus…” Bisingnya suara istriku mirip bising knalpot motorku yang tak lulus uji emisi.

Memang harus kuakui dengan pelebaran jalan ini telah membuat masalah kepadatan lalu lintas di Margonda Raya dapat diurai terutama pada jam-jam sibuk. Setelah jam sibuk pada pagi dan menjelang sore hari praktis jalan Margonda Raya memang terlihat cukup lancar, namun pada hari-hari libur seperti Sabtu dan Minggu justru kemacetan terjadi utamanya di sekitar pusat-pusat perbelanjaan yang terbentang sepanjang jalan Margonda Raya. Dengan demikian pelebaran jalan menjadi kontraproduktif dan malah menimbulkan masalah baru.

Tak terasa perjalananku telah mencapai tujuan. Selintas ku menatap baliho besar bergambar pak walikota yang selalu tersenyum. Entahlah yang pasti senyumannya seolah menertawai penderitaanku. Kabarnya selepas ini pejabat yang dijuluki “walikota baliho” akan maju lagi dalam pemilukada tahun ini. Aku sendiri tak yakin apakah kehadirannya kembali memimpin kota ini mampu menata kota ini jauh lebih baik puluhan tahun ke depan. Apalagi jika jajaran pejabat di bawahnya hanya berpikir pragmatis mengurai masalah kota dengan pendekatan simsalabim. Seperti misalnya mengurai masalah kemacetan dengan menjadikan penambahan ruas jalan atau pelebaran jalan sebagai fokus utama.

Buatku yang terpenting adalah bagaimana pemerintah menyiapkan sarana transportasi massal yang aman dan nyaman bagi warganya, bukan sekedar menambah ruas jalan. Sehingga banyak warga akan beralih dari kendaraan pribadi dan memilih menggunakan transportasi umum. Kalaupun pada akhirnya memilih pelebaran jalan sebagai solusi semestinya juga diiringi oleh pelebaran ruang publik dan tanpa menebang pohon-pohon di sepanjang jalan yang diperlebar. Hal itu merupakan cerminan keberpihakan pemerintah kota kepada lingkungan hidup dan kemanusiaan.

Selain itu pemerintah juga perlu membatasi kepemilikan kendaraan pribadi atau menetapkan pajak yang besar sehingga tak banyak kendaran wara-wari di sepanjang jalan. Apa gunanya jalan di perlebar kalau kendaraan juga makin banyak, iya khan?
Hentakan gas motorku terasa semakin berat, psstt…pssst.. terdengar sayup ban motorku kempes. Oalah…gara-gara banyak jalan hanya dibeton saja tanpa diaspal, ban vulkanisir motorku kini jadi semakin menipis. Aku pun menepikan motor dan menikmati akhir pekan di tempat tambal ban. Beruntung istriku tak lagi menggerutu karena masih asyik update status dari handphone baru pemberianku.

Kamis, 29 Juli 2010

Balada Dua Pamong

Mendagri Gamawan Fauzi baru-baru ini memberikan surat edaran kepada para kepala daerah yang memberi restu untuk mempersenjatai Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Kebijakan itu tentu mengundang reaksi dari banyak pihak. Gamawan berkilah bahwa di beberapa daerah, upaya-upaya penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP kerap terhalang oleh kebrutalan para warga.

Pemkot Depok yang berpegang pada tagline "Melayani dan Menyejahterakan" tentu harus merespon usulan tersebut dengan bijaksana. Satpol PP Pemkot Depok selama ini dikenal memang cukup tegas dalam melakukan tugas-tugas trantib. Tak ada berita miring yang menghinggapi korps berseragam biru ini. Apakah karena Satpol PP Depok telah benar-benar melayani masyarakat atau masyarakat Depok sudah memiliki kesadaran dalam ketertiban?

Menarik untuk disimak pengertian pamong yang dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Bukan sebuah kebetulan jika istilah pamong juga melekat pada sosok guru dan aparatur pemerintah. Menurut KBBI istilah pamong berarti pengasuh, pendidik (guru), atau pengurus. Lantas apa korelasi keduanya dalam masalah ini?

Pamong pertama (guru) tentu dikenal dari sebuah sistem bernama sekolah. Kebanyakan dari para guru kita kita masih memandang dirinya adalah sosok yang sangat tinggi tingkatannya. Istilah guru memiliki arti yang amat berharga, mulia, tinggi dan hebat. Menurut kepercayaan Hindu, guru merupakan simbol bagi suatu tempat suci yang berisi ilmu (vidya) dan juga pembagi ilmu. Bahkan dalam kepercayaan Buddha guru dipandang sebagai jelmaan Siddharta atau disebut Bodhisattva karena ia memandu muridnya dalam jalan menuju kebenaran.

Sayangnya iklim di sekolah juga menumbuhkan budaya feodal itu. Sekolah seolah memiliki hak prerogatif yang dapat menentukan akan jadi apa kelak anak didiknya. Pembentukan pribadi anak disesuaikan dengan keinginan sekolah, bukan atas dasar kesadaran masing-masing individu peserta didik. Sekolah menempatkan siswa sebagai objek. Ibarat tanah liat yang siap diplintir, dibanting, diinjak-injak tanpa reserve untuk dibuat menjadi patung sesuai keinginan si pembuatnya. Siswa dianggap sebagai objek yang menjadi sub ordinat dari guru/kepala sekolah.

Akibatnya makin tinggi jabatan di sekolah makin besarlah kekuasaannya Pendidikan kewarganegaraan yang selama ini mereka dapat di sekolah pada akhirnya tidak membekas di hati sanubari siswa. Mereka mempelajari tentang menghargai sesama manusia namun sekolah mengajarkan penindasan lewat kegiatan orientasi siswa.
Saat siswa memasuki tahun ajaran baru mereka sudah disodori serangkaian aturan berikut sangsi alias hukuman. Tak heran penegakan aturan selalu diidentikkan dengan pemberian hukuman. Posisi siswa yang menjadi sub ordinat dari guru terkadang tak bisa memberikan perlawanan atau sekedar negosiasi. Hukuman pun cenderung tidak adil karena unsur subjektivitas tadi. Sebaliknya guru menjadi pihak yang sangat berkuasa . Oleh karena sifat kekuasaan berlebihan itu, kepatuhan didapati melalui ancaman dan cenderung mengesampingkan aspek persamaan hak.

Pun demikian yang terjadi dalam urusan pemerintahan (kepamongprajaan). Kultur feodal ternyata tak hanya berlangsung di sekolah namun sudah sebelumnya merambah jajaran birokrasi. Pemerintah menempatkan rakyat juga sebagai objek bahkan ironisnya sapi perah. Rakyat dipaksa membayar pajak untuk membiayai pekerjaan pemerintah namun rakyat tak dapat dampak dari kebijakan tersebut. Rakyat pula yang dipaksa menanggung beban pemerintah dengan dalih pengurangan subsidi.

Pamong praja sejatinya memberikan layanan dan asuhan dalam urusan pemerintahan. Sayang rakyat telah lebih dahulu memaknai pamong praja sebagai penguasa. Mereka keseleo lidah dan salah membedakan arti pamong praja dan pangreh praja. Hal itu tak terlepas pula akibat kultur masyarakat agraris bangsa ini yang mengagung-agungkan para penyelenggara pemerintahan (ambtenaar) pada masa kolonial. Ketika itu para penyelenggara pemerintah dikenal juga dengan istilah pangréh praja yang berarti penguasa lokal untuk menangani daerah jajahan kolonial. Akhirnya menjadi wajar jika naluri pamong praja hingga saat ini selalu mendepankan pendekatan kekuasaan dalam melakukan pekerjaannya sebab rakyat ketika itu memberikan pembenaran.

Mental penguasa masih menggelayuti aparatur pemerintahan kita. Sehingga banyak yang mengartikan pemerintah berarti suka memerintah. Biasanya yang memerintah memiliki posisi yang jauh lebih tinggi dari yang diperintahnya.

Oleh karena itu perbaikan harus dimulai dari memperbaiki kedua pamong tersebut. Di sekolah, didiklah siswa agar menjadi warga negara yang baik (to be). Bukan sekedar mengajari tentang bagaimana menjadi warga negara yang baik (to know). Selanjutnya pegawai kelurahan, kecamatan, kabupaten hingga kementerian yang berhubungan dengan pelayanan publik harus dibekali sikap sebagai abdi rakyat bukan abdi negara. Mereka bertugas bukan mengabdi pada negara namun mengabdi buat kepentingan rakyat. Rakyat jangan lagi diajari menyebut mereka pemerintah. Panggilah mereka dengan sebutan pelayan, pengurus, pamong yang sesungguhnya.

Dengan begitu rakyat belajar menjadi warga negara yang baik dan mendapatkan contoh yang sesuai seperti yang telah mereka pelajari dari bangku sekolah. Sehingga tak perlu lagi pelayan-pelayan mereka dibekali senjata. Mungkin lebih berbahaya senjata di tangan pelayan ketimbang di tangan tuannya sendiri.

Rabu, 14 April 2010

Empat Puluh Satu Pedoman Efisiensi dalam Rapat/Musyawarah

Empat Puluh Satu Pedoman Efesiensi Waktu dalam Rapat/ Musyawarah
1. Adakan rapat hanya jika rapat itu merupakan jalan terbaik untuk mencapai tujuan. Telusuri semua alternatif lain sebelum memanggil orang lain untuk rapat.
2. Buat rapat Anda sesingkat mungkin! Kebanyakan manager mengatakan bahwa setidaknya separuh dari waktu rapat mereka terbuang sia-sia. Waktu yang terbuang rata-rata 5 jam per minggu, 250 jam per tahun untuk tiap orang yang terlibat dalam rapat. Wow! Dalam mengadakan rapat, jadikanlah pemangkasan waktu sebagai salah satu tujuan. Jika saja setiap peserta rapat telah siap sebelum mereka hadir, maka kebanyakan rapat dapat diselesaikan separuh waktu saja.
3. Tulislah tujuan rapat dan jadwal waktu rapat di papan atau flip chart sebelum peserta rapat tiba. Ini akan membuat rapat tetap fokus dan menghilangkan stres yang disebabkan oleh rapat yang terlalu lama.
4. Jika Anda memimpin rapat, duduklah di ujung depan meja, jadi Anda dapat mengendalikan alur rapat.

5. Pastikan setiap rapat benar-benar merupakan kebutuhan. Rapat rutin bukanlah investasi yang bagus kecuali memang dapat membantu mencapai tujuan Anda.
6. Carilah alternatif lain selain rapat. Jika Anda dapat mencapai tujuan Anda dengan hanya menelpon, maka hematlah waktu semua orang dan rencanakan conference call.
7. Gabungkan rapat-rapat Anda yang saling berhubungan.
8. Minimalkan pertemuan face-to-face, dan mulai dari sekarang!
9. Setiap rapat harus memiliki undangan rapat yang dapat menjawab beberapa pertanyaan berikut dengan jelas: Mengapa saya menginvestasikan waktu dalam rapat ini? Berapa lama akan berjalan? Siapa saja yang hadir? Apa yang diharapkan dari rapat ini?
10. Jika rapat tidak dimulai tepat pada waktunya, bertanggungjawablah untuk mengatakan, “Hey, sekarang sudah jam.9 tepat. Ayo kita mulai saja rapatnya. Sudah waktunya rapat dimulai.”
11. Hanya undang orang yang memiliki sesuatu untuk dikontribusikan sesuai tujuan rapat. Tidak seharusnya ada pelancong atau orang yang suka mengelakkan pekerjaan di meja rapat.
12. Pertimbangkan untuk membubarkan peserta rapat setelah mereka menyelesaikan rapat dalam bagian mereka – selama mereka tidak perlu untuk mendengarkan apa yang dijadwalkan di dalam rapat berikutnya
13. Jika Anda diminta mewakili seseorang dalam sebuah rapat, bicarakan dengan pemimpin rapat bahwa Anda hanya akan terlibat dalam porsi rapat yang terkait urusan orang yang Anda wakili. Saat Anda sudah menyelesaikan tugas “menjadi pendengar yang baik,” tanyakan adakah keperluan yang lain yang dibutuhkan dari Anda. Jika tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, ucapkan permisi dan segera kembali kepada pekerjaan utama Anda.
14. Tentukan waktu rapat yang tidak biasa. Orang biasanya lebih mudah mengingat jadwal rapat dengan undangan yang tertulis dimulai pukul
15. Kebanyakan orang memberikan waktu tambahan (pada kenyataannya dimulai pukul 9:40) ketika waktu rapatnya dibulatkan menjadi per setengah jam, dan kebanyakan orang akan menjadi merasa dirinya harus tepat waktu ketika melihat bahwa waktu rapat dimulai pada waktu yang tidak biasa (aneh). Cari tahu waktu-waktu tersebut dan cobalah!
16. Biasakan memiliki handouts ekstra bagi peserta rapat. Lebih baik memiliki terlalu banyak daripada menyendat waktu untuk menyalin handout.
17. Mulailah tepat pada waktunya. Jika rapat dimulai pukul 8:38, maka mulailah 8:38. Satu pengeluaran terbesar yang tidak pernah muncul dalam income statement adalah biaya rapat. Ketahuilah bahwa Anda menghabiskan waktu pegawai sebesar $400 dalam rapat selama 4 jam (Empat pegawai dengan bayaran $50.000 per tahun, 8 jam kerja). Hormatilah investasi yang dibutuhkan oleh rapat Anda.
18. Waktu terbaik bagi rapat adalah pagi hari. Orang masih dalam kondisi lebih segar, tantangan terbesar hari itu masih belum muncul, dan anehnya, tingkat ketepatan waktu hadir semua orang semakin membaik.
19. Jangan memberi ikhtisar pembicaraan yang telah dilakukan kepada orang yang terlambat. Hiraukan mereka ketika mereka datang, dan teruskan rapat. Jika Anda memberi ikhtisar atas apa yang telah dibicarakan, maka Anda menghargai orang yang terlambat dan menghukum orang lain yang tiba tepat pada waktunya.
20. Bicarakan pertama kali agenda yang paling penting dalam rapat Anda. Jika ada beberapa hal yang tidak terselesaikan, pastikan Anda menyelesaikan masalah terpenting yang menjadi alasan Anda mengadakan sebuah rapat.
21. Buatlah batasan waktu bagi peserta rapat untuk ‘menjual’ poin mereka. Pembuang waktu terbesar adalah orang yang memaksa terus bertempur dalam pertempuran yang telah dimenangkan orang lain. Pasang batasan waktu yang diperbolehkan dalam pembahasan tiap item, dan terus lanjutkan rapat sesuai agenda dan batasan.
22. Jangan menyajikan sarapan dan rapat dalam waktu bersamaan. Donat atau jajanan lain tidak pernah menambah produktivitas sebuah rapat. Jika rapat dimulai pukul 9:00 a.m., sajikan sarapan pada 8:30 a.m.
23. Jika rapat dilaksanakan hingga makan siang, maka pada saat ini bicarakan masalah umum yang tidak terlalu membutuhkan fokus perhatian. Lebih produktif memberikan waktu rehat makan siang 30 menit ketimbang tetap mempertahankan perhatian peserta rapat sementara menyajikan/memakan hidangan. Jika tujuan Anda adalah menciptakan suasana perekatan ikatan sosial, alokasikan waktu makan Anda untuk mengejar tujuan tersebut.
24. Selesaikan semua agenda pembicaraan di dalam rapat Anda sebelum melakukan pembicaraan ke arah topik yang tidak terkait. Letakkan perihal penting yang tidak terjadwal dalam rapat di dalam ‘areal parkir’ flip chart untuk didiskusikan kemudian. Isu-isu di dalam areal parkir harus menjadi bagian dalam notulen rapat ketika notulen tersebut dikirimkan kepada para peserta rapat.
25. Tunjuk orang yang terakhir hadir di dalam rapat untuk menjadi penanggung jawab notulen rapat. Saya bertaruh bahwa mereka akan muncul tepat waktu pada rapat berikutnya!
26. Ingin mempersingkat rapat? Jalankan rapat Anda dengan sesi berdiri. Singkirkan kursi-kursi dan letakkan semacam podium di ruangan. Anda dijamin mendapati peserta rapat tidak akan mengantuk dan ingin langsung ke pokok masalah dengan cepat.
27. Gunakan buku catatan spiral untuk mencatat semua catatan rapat. Ini mengurangi waktu yang terbuang untuk mencari apa yang telah dibicarakan di dalam rapat sebelumnya.
28. Sediakan pena dan/atau kertas tambahan untuk menghindarkan Anda dari lamanya waktu menunggu peserta rapat yang kembali ke ruangan/kantor mereka hanya untuk mengambil alat tulis mereka.
29. Jangan pernah berbicara sembari menulis di flip chart. Tunggu hingga Anda menghadap kepada peserta rapat, sehingga Anda tidak perlu mengulang apa yang telah Anda katakan.
30. Gunakan flip chart untuk mengendalikan arah rapat, dan untuk mencatat siapakah yang bertanggung jawab untuk menindaklanjuti permasalahan yang telah dibahas.
31. Hargailah peserta rapat yang mengatakan hal yang sebenarnya. Jika ‘para nabi’ itu ‘ditembak’ karena mengatakan kebenaran, tidak akan ada ‘nabi yang jujur’ yang akan datang dalam rapat berikutnya.
32. Sebelum meninggalkan rapat, jangan mengasumsikan apapun! Apa Anda benar-benar berpikir bahwa setiap orang tahu apa yang harus mereka lakukan berikutnya? Ikhtisarlah sehingga tiap orang tahu siapa yang bertanggung jawab untuk langkah selanjutnya, kapan hal itu dilakukan, dan bagaimana hasilnya dikomunikasikan.
33. Akhiri rapat tepat pada waktunya atau AKHIRI LEBIH CEPAT! Setiap menit yang Anda habiskan melebihi waktu yang dijadwalkan akan menaikkan tingkat stres dan menurunkan tingkat perhatian. Setiap orang menikmati kejutan ini: selesai lebih cepat.
34. Tertatalah! Telepon setiap peserta sehari sebelumnya dan konfirmasikan kehadiran mereka. Mungkin ini terlihat tidak berguna dalam penghematan waktu dan sepertinya itu sudah layaknya tanggung jawab peserta rapat sendiri. Namun, akan semakin banyak waktu yang terbuang saat hanya ada satu orang saja yang hadir dalam rapat Anda, dan Anda bersusah payah hanya untuk bertemu dengan satu orang tersebut.
35. Jangan biarkan waktu dalam rapat Anda gunakan untuk memecahkan masalah senilai USD 100, sementara Anda menghabiskan ribuan USD untuk mengadakan rapat (lihat poin 82). Fokuslah kepada halhal yang penting.
36. Rapat tidak berakhir hingga notulen dibagikan (dalam dua hari kerja), dan semua tindak lanjut selesai dijalankan.
37. Jangan pernah meninggalkan sebuah rapat dengan keraguan mengapa Anda menginvestasikan waktu Anda untuk menghadiri rapat tersebut. Jika tujuan-tujuannya tidak tercapai, cari tahu apa yang dapat dilakukan dengan cara berbeda untuk memastikan bahwa rapat berikutnya tidak akan berakhir dengan cara yang sama.
38. Bagikan pre-work kepada para peserta rapat. Jika setiap orang dapat melakukan penelitian bagi semua peserta rapat lainnya, Anda dapat menghemat waktu yang cukup besar bagi rapat secara keseluruhan.
39. Sebelum meninggalkan rapat, buatlah rencana kerja (action plan) bagi semua keputusan yang telah dibuat di dalam rapat.
40. Kendalikan peserta rapat yang dominan dengan menekankan bahwa Anda memahami posisi mereka dan mintalah kepada orang tersebut untuk mendengarkan pandangan peserta lainnya sehingga semua pihak dapat menciptakan serangkaian tindakan.
41. Jadikan setiap rapat unik. Lakukan sesuatu yang berbeda untuk setiap rapat seperti merubah lokasi, waktu, atau desain ruangan. Kadang kala perubahan kecil akan menambahkan energi kepada kelompok kerja.
Tulisan di atas diambil dari buku berjudul “175 Tips Efisiensi Waktu Dalam Bekerja” Karya David Cottrell dan Mark C. Layton

Wajib Belajar atau Wajib Sekolah?

Beberapa tahun lalu sebenarnya saya tergelitik dengan slogan “Ayo Sekolah” yang bertujuan meningkatkan partispasi masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Melalui program BOS kini secara tak langsung pemerintah kembali menghimbau anak-anak agar tetap bersekolah, terlebih lagi program wajib belajar 9 tahun masih juga populer di kalangan pemangku kepentingan pendidikan nasional.
Pemerintah begitu yakinnya bahwa program wajib belajar 9 tahun di beberapa daerah terbilang sukses. Bahkan ada beberapa pemerintah daerah yang menggulirkan program wajib belajar 12 tahun. Berlabel sekolah gratis, para pemangku kepentingan pendidikan di daerah ramai-ramai menggiring anak-anak masuk sekolah hingga ke tingkat yang lebih tinggi lagi.
Berdasarkan interaksi penulis selama ini dengan banyak kepala sekolah dan guru di daerah yang telah menempuh segala macam untuk membawa anak-anak ke sekolah. Apabila diketahui di dalam salah satu keluarga ada anak usia sekolah yang tidak/belum bersekolah maka seketika itu pula mereka menghampirinya ke rumah, membujuk dengan iming-iming sekolah gratis, dan memberikan penyadaran kepada orang tuanya.
Pemerintah pusat melalui pemerintah daerah juga telah menginstruksikan kepada perangkat desa dan kelurahan agar mendata anak-anak yang tidak bersekolah. Ini semua agar program wajib belajar 9 tahun sukses terselenggara. Hanya semata-mata memenuhi standar indeks pembangunan manusia.
Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah dosakah jika anak kita tidak bersekolah? Apakah sebuah aib jika ternyata ketahuan ada salah satu keluarga kita yang tidak mau bersekolah?
Seharusnya pemerintah -dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional- bercermin sudah tepatkah mereka “memaksa” anak-anak masuk sekolah? Apakah yang sudah di dapat anak-anak kita hari ini dari sistem sekolah yang telah pemerintah ciptakan?
Menarik untuk kita simak realitas berikut; citra kebanyakan sekolah kita setidaknya terekam pada acara Snapshot di salah satu televisi swasta (Selasa, 20 November 2007). Kamera tersembunyi telah menangkap basah perilaku sebagian pelajar berseragam yang bolos sekolah. Di antara dari mereka tertangkap tangan tengah merokok, main kartu bahkan pacaran hingga melanggar batas kesusilaan. Hal tersebut dilakukan terang-terangan di sebuah taman kota.
Saat reporter menanyakan mengapa mereka bolos sekolah, jawabannya rata-rata kompak, “bosan sekolah..” timpal mereka dengan santainya. Ada lagi peristiwa yang membuat saya geregetan dibuatnya. Pasalnya, saat menonton tayangan infotainment yang memberitakan penangkapan aktor kawakan Roy Marten karena kasus narkoba, ia berujar “Mungkin saya harus sekolah lagi!” saat didesak wartawan ketika akan digelandang ke tahanan.
Benarlah adanya kalau sekolah telah dipersepsikan layaknya penjara. Edward T Hall –seorang pendidik- pernah menyampaikan bahwa duduk diam di tempat terbatas adalah salah satu hukuman paling berat yang dapat dijatuhkan kepada manusia. Celakanya inilah yang terjadi di sekolah-sekolah kita. Berjam-jam siswa harus duduk diam untuk mendengar ceramah dari guru. Murid yang paling diam dianggap baik sementara murid yang banyak bicara karena kritis harus dihukum.
Kegiatan paling utama yang terjadi di sebuah intitusi sekolah adalah belajar. Sayangnya belajar sebatas dipahami sebagai transfer of knowledge dan diperparah pula oleh belenggu budaya feodal yang memosisikan guru sebagai satu-satunya pemegang otoritas kebenaran di sekolah.
Masih saja ada guru bertingkah pangreh praja bukan menjadi pamong praja. Pamong adalah pelayan, abdi, fasilitator sementara pangreh adalah penguasa, pemegang otoritas. Jadilah murid menjadi subordinat para guru sehingga mereka tidak tumbuh menjadi pribadi besar karena tidak mendapat ruang untuk berkembang. Gejala ini tumbuh subur dalam iklim dan kultur feodal yang masih menggelayuti paradigma pendidikan kita.
Pameo mengatakan pengalaman adalah guru terbaik. Kenyataannya di sekolah-sekolah formal banyak anak tidak mendapatkan pengalaman belajar apa-apa. Guru selalu memosisikan pikiran siswa selayaknya gelas kosong yang siap dituang beragam informasi. Padahal seharusnya guru sadar bahwa pikiran siswa ibarat api yang mesti dinyalakan. Pembelajaran pun dilakukan searah. Guru menganggap dirinya baik jika siswa telah mengerti apa yang telah disabdakannya. Jawaban kreatif sisiwa selalu dianggap pembangkangan atau melawan arus utama. Akhirnya siswa tidak mendapatkan pengalaman belajar apa-apa.
Melihat kenyataan itu adilkah jika pemerintah bersikukuh memaksakan anak kita masuk dalam sebuah sistem yang kita tidak setujui? Sedangkan masuk di sekolah terbaik berlabel sekolah plus, sekolah alam, sekolah rumah dan lain sebagainya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Oleh karena itu penulis perlu menyampaikan gagasan tentang citra baru sekolah yang berani melawan arus utama ini, yaitu sekolah yang bebas pakem. Sekolah bebas pakem ini semoga dapat menjadi solusi atas permasalahan pendidikan kita khususnya fenomena kekerasan yang terjadi di sekolah
Sebenarnya apa itu sekolah yang BEBAS PAKEM? Apa sekolah yang benar-benar keluar dari pakem (mainstream) dan bebas dari belenggu-belenggu aturan formal? BEBAS PAKEM di sini maksudnya bukan bebas dari rem/aturan-aturan dan hantam kromo sana-sini melainkan sebuah konsep belajar berbasis aneka sumber (BEBAS) dengan metode (pembelajaran) Positif, Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM).
Belajar berbasis aneka sumber (Bebas) adalah sebuah paradigma baru dalam proses pembelajaran yang tidak memusatkan belajar pada guru (teacher centered learning), artinya jika tanpa guru tidak terjadi proses belajar. Miarso (2004) menyampaikan bahwa belajar berbasis aneka sumber memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik/warga belajar untuk memilih dan menentukan sendiri sumber yang digunakannya untuk belajar. Dengan demikian guru berperan sebagai fasilitator yang bertugas menumbuhkan motivasi, memberikan bantuan dalam pemilihan dan penentuan sumber belajar dan tidak lagi menjadi satu-satunya pemegang otoritas kebenaran. Diharapkan peserta didik/warga belajar menjadi lebih mandiri, belajar secara kooperatif dengan teman sejawat dan lingkungannya. Belajar berbasis aneka sumber akan memunculkan proses dialogis antara guru dengan murid atau murid dengan murid yang akan bermuara pada munculnya sikap saling menghargai satu sama lain.
PAKEM dipahami sebagai sebuah metode dan model pembelajaran yang menerapkan prinsip-prinsip positif, aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Suasana pembelajaran dibangun lebih humanis dan demokratis. Guru dapat membuka ruang dialog seluas-luasnya kepada siswa. Guru juga perlu menghindari melabel anak didik dengan statement-statement negatif tentang siswa misalnya menyebut siswa bodoh, nakal, trouble maker dsb. Guru perlu memulai mengganti statement negatifnya menjadi kalimat-kalimat positif yang lebih bertujuan memotivasi bukan memvonis siswa.
Sementara itu guru harus menyediakan sarana belajar untuk menjadikan anak menjadi seorang pembelajar sepanjang hayat yang mampu berpikir kritis, cerdas, berorientasi solusi, kominikator yang efektif, pekerja kelompok mandiri. Oleh karena itulah guru dituntut kreatif mengemas metode pembelajaran, penataan ruangan dan kreativitas penugasan. Diharapkan belajar akan jauh lebih efektif karena banyak hal yang dialami oleh siswa di samping suasana pembelajaran yang menyenangkan telah mendukung terciptanya efektivitas pembelajaran itu sendiri.
Nah apabila hal tersebut sudah tercipta di sekolah-sekolah pemerintah tak berlebihan kiranya jiika pemerintah memaksa anak-anak wajib hukumnya masuk sekolah. Namun jika potret sekolah kita masih seperti yang dulu, tak usah malu jika anak kita tidak bersekolah. Masyarakat perlu diberi penyadaran bahwa anak tidak bersekolah bukan merupakan suatu aib. Justru aib terbesar terjadi jika anaknya bersekolah tapi tidak belajar apa-apa.

Kamis, 01 April 2010

Ujian Nasional Online, Mungkinkah?

Kontroversi pelaksanaan ujian nasional tahun ini rupanya kurang mendapat tempat dalam catatan media. Selain mesti bersaing dengan kasus-kasus besar yang menyita perhatian khalayak –seperti heboh makelar kasus- ujian nasional tak lagi seksi untuk diperdebatkan. Pasalnya, pemerintah masih terus saja lenggang kangkung melaksanakan UN untuk siswa sekolah menengah di tengah hamtaman pengritiknya.
Apapun alasan pemerintah untuk tetap menggelar ujian nasional harus kita hargai seperti layaknya kita juga menghargai suara-suara yang menolak ujian nasional.
Debat kusir yang menghabiskan energi ini selayaknya diakhiri dengan menemukan satu titik persamaan. Kalaupun kebijakan ujian nasional ini sangat penting untuk melihat sejauh mana pencapaian siswa dalam menguasai materi pelajaran, sebaiknya pemerintah memperhatikan juga bahwa penentuan kelulusan siswa tidak serta merta ditentukan dari hasil UN tersebut.
Betapa tidak, ujian nasional kini menjadi satu momok yang menakutkan bagi seluruh siswa. Tentu ini sangat bertentangan dengan prinsip dasar belajar yaitu belajar akan sangat optimal apabila tanpa disertai tekanan.
Kabar terakhir datang dari Cilacap. Nurhayati, siswi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Boedi Oetomo, Kecamatan Gandrungmangu, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, meninggal dunia setelah pingsan saat mengerjakan ujian nasional (UN) Kamis (25/3). Seperti yang diberitakan Antara, berdasarkan pengakuan orang tua korban, Nurhayati belajar hingga larut malam untuk mempersiapkan diri menghadapi UN hari keempat. Selain itu Nurhayati sempat menjalani ritual puasa selama ujian sehingga hampir selama empat hari ujian itu dia tidak pernah sarapan, demikian penjelasan orang tuanya.
Fenomena ini mungkin ibarat gunung es, Nurhayati adalah satu dari banyak siswa-siswa yang harus menjadi korban ujian nasional. Di beberapa daerah ada yang mengalami pingsan, stress, tertidur di dalam kelas bahkan kesurupan. Praktis ujian nasional yang hanya mengukur aspek kognitif saja telah menimbulkan kerugian.
Belum lagi kendala lain seperti distribusi soal, kesalahan dalam penggunaan lembar jawaban komputer, kesalahan pengunaan pensil 2B membuat siswa berharap-harap cemas. Apakah lembar jawaban komputernya tidak rusak selama dalam perjalanan? apakah pensil 2B yang digunakan asli atau palsu? dan lain sebagainya. Kecemasan-kecemasan ini makin membuat siswa-siswa tidak optimal dalam mengerjakan soal-soal. Akhirnya yang muncul adalah ketidakadilan. Siswa yang secara kognitif pintar bahkan bisa gagal karena tersandung masalah teknis.
Menjadi pertanyaan adalah mungkinkah ujian nasional dapat dilakukan secara online? Model ujian secara online memang sudah banyak diterapkan di beberapa lembaga untuk tujuan sertifikasi. Mekanisme yang dilakukan memang tetap terkontrol di satu ruangan, di mana para peserta ujian menggunakan user name yang sudah ditentukan. Biasanya ujian online ini diadakan dengan peserta kurang dari seribu orang mengingat kapasitas brandwith dari server yang digunakan. Ini untuk menjaga agar setiap peserta memperoleh kecepatan mengakses data yang sama.
Kendala yang dihadapi jika ujian nasional dilakukan secara online terletak pada infrastruktur. Provider internet tentu ogah menyediakan jaringan yang begitu rumit sementara ujian nasional hanya berlangsung sekali setahun. Ini tentu berbeda dengan ujian sertifikasi online yang dalam setahun bisa berlangsung selama empat kali. Biaya investasi tentu akan jauh lebih besar.
Selain itu, jumlah peserta ujian nasional online yang bisa menembus angka jutaan orang adalah salah satu kendala tersendiri. Sebab dengan serentak mengakses ujian nasional online diperlukan kapasitas brandwith yang amat besar pula. Ini untuk menghindari kelambatan atau kegagalan dalam mengakses data. Belum lagi masalah hardware yaitu komputer. Tidak setiap sekolah memiliki laboratorium komputer sejumlah besar siswa peserta ujian nasional. Ini tentu juga merupakan suatu kendala.
Namun untuk sebuah gagasan sah-sah saja bila ujian nasional online ini layak untuk dijadikan bahan kajian.

Menjadikan Belajar Bermakna

Ujian Nasional telah membuat belajar seolah kehilangan maknanya. Siswa dipacu untuk menyelesaikan soal yang tertulis di atas kertas. Padahal sesungguhnya, tujuan belajar diharapkan membuat siswa memcahkan soal-soal dalam kehidupan nyatanya.

Mengutip pernyataan guru saya -Mas Hernowo- dalam bukunya "Mengikat makna" saya lantas tergerak untuk membuat tulisan bertajuk menjadikan belajar bermakna. Sependapat dengan beliau, apa yang terjadi dalam dunia persekolahan di Indonesia dalam kurun dua puluh tahun terakhir ini sangat jauh dari harapan.

Guru-guru tampil di depan kelas dengan persiapan seadanya. Siswa hanya dijejali lembar demi lembar latihan soal yang dicuplik dari LKS atau bank soal. Kegiatan pembelajaran miskin akan kreativitas dan sekolah hanya memikirkan ketuntasan kurikulum, bukan ketuntasan belajar siswa.

Padahal Jones, Valdez, Nowakowski, and Rasmussen (1994) jauh-jauh hari telah memberikan arahan mengenai bagaimana seharusnya pembelajaran di abad 21 dilakukan. Bukunya yang berjudul Designing Learning and Technology for Educational Reform memaparkan delapan indikator yang memandu penyelenggara pendidikan agar menjadikan pembelajaran lebih bermakna dan menarik.
Berikut indikator-indikator yang mesti perhatikan untuk mencapai pembelajaran yang bermakna;
1. Visi Belajar Bermakna
para pembelajar yang memaknai belajar harus memiliki visi yang benar tentang apa itu belajar yang bermakna. mereka telah memahami bahwa belajar adalah sebuah kebutuhannya, mereka dapat merumuskan secara mandiri apa tujuan belajar dan apa yang akan mereka dapat dari apa yang mereka pelajari. Dengan mengetahui visi itu, pada akhirnya mereka akan sangat antusias dalam belajar. Antusiasme itulah yang menjadi pembuka jalan menuju keterampilan mereka dalam memecahkan persoalan-persoalan kehidupan.

2. Penugasan Bermakna
Untuk mencapai hasil belajar yang dapat diikat maknanya oleh siswa, diperlukan jenis tagihan penugasan yang tentu bermakna pula. Penugasan yang bermakna harus sangat menantang , berbasis pada penilaian otentik melalui rubrik, dan melibatkan lintas disiplin ilmu lainnya. Penugasan ini bahkan sering meminta siswa meramu beragam pengetahuan yang telah mereka miliki sebelumnya menjadi satu kesimpulan.

3. Penilaian Bermakna
Pemberian tugas yang menghasilkan penilaian bermakna hanya dapat dilakukan dengan memberi tugas berupa penugasan pribadi maupun kelompok yang dapat diukur melalui penilaian yang adil, penugasan proyek, penyelidikan, pengamatan, mewawancarai nara sumber, dan mengujicobakan penemuannya itu dalam sebuah presentasi atau hasil karya produk. Penilaian berbasis kinerja -demikian orang biasa meyebutnya-, secara umum dapat menunjukkan sejauh mana pencapaian siswa, dari segi perencaaan, penilaian dan pelaporan hasil kerjanya.

4. Model Pembelajaran dan Strategi Belajar Bermakna
Model pembelajaran interaktif akan sangat berguna dalam membuat belajar menjadi bermakna. Pendekatan belajar yang dilakukan bukan satu arah melainkan dari berbagai arah. Guru bukanlah satu-satunya sumber belajar. Siswa dapat saling belajar dengan rekan lainnya dalam pembelajaran teman sebaya lewat diskusi kelompok, brainstroming ,problem-solving processes,dan team teaching.

5. Belajar Kontekstual
Kebermaknaan belajar dapat terjadi dalam komunitas belajar yang membangun pengetahuan. komunitas ini tidak hanya membuat anggotanya bertambah ilmu pengetahuan tapi juga membuat para anggota mempunyai tanggung jawab kelompok untuk saling mencerdaskan satu sama lain, memunculkan nilai-nilai kebersamaan dalam perspektif yang berbeda. Melalui ruang belajar yang mengakomodasi kolaborasi antar siswa, setiap siswa pada akhirnya akan terpacu mengeluarkan pertanyaan bernas, memilah dan memilih masalah, membangun opini, menetapkan tujuan belajarnya. belajar kolaboratif ternyata juga mmapu membuat sisiwa memiliki keterampilan komunikasi yang cuukup baik tidak hanaya dengan sesama siswa di lingkungan sekolah namun juga di luar sekolah.

6. Pengelompokan Siswa
Pemilihan kelompok berdasarkan heterogenitas adalah salah satu pilihhan bijak dalam membuat suasana pembelajaran menjadi lebih bermakna. Heterogenitas kelompok termasuk perbedaaan jenis kelamin, budaya, ras, agama, kemampuan individu, dan latar belakang ekonomi.

7. Guru Sebagai Role Model
Paradigma pembelajaran telah merubah peran guru yang pada awalnya sebatas pemberi informasi kini bergeser menjadi pelayan informasi. Sebagai fasilitator, guru bertugas menyediakan segala macam sumber belajar dan pengalaman belajar yang dibutuhkan oleh siswa. Guru juga terkadang berperan sebagai guide alias penunjuk jalan yang mengarahkan tujuan belajar siswa tepat pada jalurnya.

Senin, 15 Maret 2010

Polisi dan Guru

Sahabat guru Indonesia, saya ingin berbagi sedikit mengenai sebuah kisah antara polisi dan guru. Cerita ini sungguh bukan fiktif atau rekaan semata. Cerita ini sudah menjadi rahasia umum. Seorang sahabat guru kembali mengungkit masalah ini dan memaksa saya membuat tulisan ini. Pengalaman ini mungkin pernah Sahabat rasakan ketika anda ditilang oleh polisi. Banyak di antara polisi dan guru memilih jalan damai. Rasa pengertian yang mendalamlah yang juga membuat polisi tak pernah tega “meminta uang titipan” yang agak besar kepada yang ditilangnya. Polisi ini pun mahfum ketika Sahabat ditanya,” apa pekerjaan bapak/ibu?” lantas Sahabat menjawab, “saya guru Pak!”. Biasanya polisi itu terlihat mereda dan hilang kegalakannya. Hanya rasa iba yang mucul dari raut wajahnya.
O…beginilah cermin profil kebanyakan sahabat guru kita semua? Guru yang selalu diidentifikasi sebagai sosok yang menyedihkan, suram dan mengundang rasa iba? Bahkan seorang sahabat yang lain berbagi tips kepada temannya yang bukan berprofesi sebagai guru apabila ditilang polisi, “Bilang saja loe kerja jadi guru biar gak dipalak polisi!” ujarnya memberi saran.
Entah apa kita mesti patut berterima kasih atau malah terhina dengan sikap polisi seperti itu. Empati yang begitu besar ditunjukkan polisi kepada para guru mungkin didasarkan pada kesamaan nasib. Guru dan polisi sama-sama sebagai pelayan masyarakat yang mempunyai tanggung jawab besar namun dengan penghargaan yang sedikit. Polisi tampaknya menganut prinsip tepo seliro alias tenggang rasa yang amat besar pada para guru karena perasaan senasib itu.
Sahabat guru sekalian, sudah selayaknya pulalah kita memberika rasa apresiasi yang sama besar pula kepada para polisi sahabat kita.