Jumat, 17 September 2010

Puisi Televisi

Televisi hari ini tidak sekedar menyala
Televisi hari ini sudah menyalak
Gonggongannya galak sekali
Melebihi galaknya polisi
Pagi buta telah mengganggu nyenyak tidur politisi
dan pejabat publik yang tersandung korupsi

Tapi di kabar pagi tak nampak lagi penyiar putri
yang biasa memandu dan memberondong pemberi informasi
kabarnya tersangkut masalah dengan polisi
akibat informannya salah menyanyi

Televisi hari ini tak lagi hitam putih
Penuh warna bergradasi dan sedikit manipulasi
Kaum uzurnya terlibat drama reality bertajuk korupsi
Kaum ibunya lalai memberi asi karena keasyikan cinta fitri
kaum mudanya tak lagi hafal lantunan barjanzi
malah asyik berjingkrak diiringi harmoni dipandu kaum banci

Televisi hari ini tak lagi memihak pada yang benar
tetapi memihak pada yang bayar
Televisi berita pertama memberi durasi lebih lama
pada pemilik modalnya kala berbicara
Televisi yang terdepan mengabarkan berita
Ditengarai terlibat skandal rekayasa
Televisi keluarga Indonesia malah tak lagi berpihak pada keluarga
Televisi kebanggaan bersama miliki bangsa
kini bakal jadi milik bangsa tetangga sebelah
Televisi yang isinya satu untuk semua malah semakin membuat jenuh pemirsa
Televisi milik kita bersama kini jadi milik keluarga pengusaha

Otakku masih dipenuhi banyak lagi televisi
kabel-kabelnya menjalar ke seluruh tubuh hingga ujung birahi
Dep0k, April 2010

Julia Perez Sekwilda Depok?

Hiruk pikuk pemilukada Depok, Oktober tahun ini nyaris tak seheboh seperti daerah lain. Pasalnya tak ada sosok kontroversial yang maju sebagai kandidat. Belakangan muncul rumors yang berkembang bahwa Julia Perez disebut-sebut bakal meramaikan panggung politik di Kota depok yang memang sedang adem ayem ini.

Menarik untuk disimak kiprah Julia Perez dalam pusaran politik beberapa tahun ini.
Setelah berhasil menggaet Gaston Castanyo -pesepakbola imigran yang merumput di Liga Super- Julia Perez pernah memikat politisi lokal Pacitan. Menjelang pemilukada tahun ini, namanya digadang-gadang untuk disandingkan dengan politisi dari beberapa aliansi partai gurem di sana sebagai orang nomor satu di tanah kelahiran SBY itu.

Awalnya Jupe –begitu biasa ia disapa- tak begitu menganggap rumor itu serius. Sebagai pesohor tentunya ia mahfum dengan strategi membuat issu agar diendus media. Namun akibat dihubungi oleh seorang artis senior yang belakangan diketahui bernama Reny Jayusman, Jupe tak bisa menampik tawaran itu. Kali ini Mbak Reni Jayusman memang sedang tidak jayus man! Ia benar-benar sedang serius. Seorang petinggi parpol di Pacitan yang kebetulan dekat Reny-lah yang menghubungi Jupe.

Sebelum maju menjadi cabup, sempat beredar transkrip pembicaraan antara Jupe dan tokoh parpol lokal. Berikut petikan transkrip rekaman pembicaraannya,
“Mbak Jupe…bagaimana siap untuk dicalonkan menjadi Bupati Pacitan?” tanya petinggi parpol tersebut.
“Saya tak kuasa menolak Mas kalau memang itu keinginan rakyat” jawab Jupe diplomatis.
“Sebenarnya ini keinginan arus bawah mbak…kita bukan hanya ingin memanfaatkan popularitas mbak semata,” petinggi parpol itu mencoba menyakinkan Jupe.
Jupe terdiam sejenak, pikirannya lantas melambung. “Ah…apakah ini benar keinginan arus bawah masyarakat atau arus bawah si bapak ini yang sudah kadung nafsu sama saya ya?” gumam Jupe dalam hati. Jemarinya terus memain-mainkan kabel telepon.
“Oke mbak jadi kapan kita bisa ketemu untuk berbicara lebih panjang?” desak suara dari ujung sana.
Jupe lantas sewot dan mencak-mencak, “Eh mas tolong ucapannya diralat ya! Kalau mau ketemu saya bukan untuk membicarakan yang lebih panjang, orang ketemu saya untuk membicarakan dan melihat yang lebih besar!”
Jupe pun menutup telepon dengan perasaan yang masih dongkol.
Akhirnya melalui serangkaian pendekatan yang intensif, pertemuan antara petinggi parpol dan tim sukses Jupe pun digelar. Para pemburu berita yang sedari tadi menunggu preskon akhirnya dapat bernafas dengan lega ketika salah seorang tim sukses merapikan meja. “Ehm maaf mas, jadi kapan jumpa persnya ya?” tanya salah seorang wartawan.
“Oh maaf mas saya cuma housekeeping” ucapnya sambil tersenyum simpul
Para wartawan kembali duduk-duduk diteras sambil menunduk. Rupanya bukan osteoporosis yang menyebabkan banyak di antara wartawan mengalami kelainan tulang punggung. Mereka tampaknya sedang sibuk ketrak-ketrik dengan telepon qwerty hanya untuk update statusnya di facebook dan twitter.

Jupe akhirnya angkat bicara. Tim suksesnya bahkan sengaja membalutnya dengan busana blazer ala Evita Peron agar kelihatan anggun. Bajunya bahkan kini nyaris sopan dan tidak kekurangan bahan lagi. Salah seorang wartawan bertanya, “Jup..Jup apakah anda memiliki pengalaman di birokrasi sebagai bekal menjadi pejabat publik?”
Jupe dengan tenang menjawab, “Saya adalah wanita yang paling memiliki pengalaman dan sejarah di birokrasi yang cukup lama. ”
“Waktu perceraian saya dengan pria asal Perancis saya sudah di birokrasi, saat mengalami pelakuan tak menyenangkan dengan ayah kandung saya, saya sudah di birokrasi…” ucapnya lirih sambil menahan air mata.
Para wartawan agak bingung dibuatnya. Sesekali diantara para wartawan menoleh kepada rekannya yang lain pertanda bingung.
“Maksudnya apa mbak, kami nggak ngerti!” salah seorang wartawan memberanikan bertanya.
“Eh..kalian wartawan infotainment gak pernah ikut diklat PWI ya?” serobot Jupe.
“ Pengalaman saya di birokrasi ya itu tadi, saya pernah di birokrasi alias di bikin robek karena dikerasi. .gimana apa mesti saya jelaskan lagi? Semprull!!”
Wartawan semakin bingung, belum sempat ditanya Jupe kahirnya nyerocos lagi,
“Nih denger ya..waktu nikah kan anu saya (maksud saya perasaan saya) di bikin robek karena dikerasi sama suami saya. Dia ternyata tak sebaik yang saya kira. Saat berumah tangga hati saya kembali di birokrasi alias di dibikin robek oleh suami saya. Tak cuma dikerasi saya malah, dilempari, ditampari, di-KDRT-i .Belum lagi waktu ayah kandung saya mau bunuh saya dan ibu saya….Bikin statement yang menyakiti di televisi, coba sudah di birokrasi apa lagi yang belum saya lakoni!!” tutur Jupe sambil berlinang air mata.

Para wartawan semua terdiam. Suasana mendadak hening. Dari belakang muncul perlahan suara tepuk tangan. Plok..Plok..satu dua tepuk tangan menyusul. Sayup-sayup tepuk tangan bergemuruh dan akhirnya membahana. Semua yang hadir pun ikut berdiri.
Esok hari headline koran dan tabloid mengangkat soal Julia Perez Bupati Pacitan. Sontak seantero negeri jadi gusar. Pihak yang kontra mengeluarkan pernyataan lebih pedas, “Pezina dilarang menjadi pemimpin!” Namun tak sedikit pula yang mendukung pemilik nama asli Yuliana Rahmawati ini.
Kaum pendukung Jupe meneriakkah yel-yel “Jupe Campeone..! Jupe Scudetto…!” oh maaf ini tampaknya pendukung Jupentus.

Sayang geliat semangat Jupe ternyata berhenti sudah. entah karena alasan apa, namanya akhirnya redup dan nyaris tak terdegar lagi.
Padahal tak ada alasan untuk tidak mendukung Julia Perez menjadi Bupati Pacitan. Orang-orang yang menolaknya adalah kaum munafik. Bukankah sedari awal kemunculannya Jupe sudah Bupati Pacitan? Mengapa baru sekarang dipertentangkan.

Lihatlah rekam jejak Jupe di panggung hiburan yang di awalinya dengan bupati pacitan alias buka paha tinggi-tinggi pasti ciptakan tantangan. Tak cuma bupati pacitan yang dilakoninya, sekwilda depok alias sekitar wilayah dada depan montok pun telah melambungkan namanya. Tak banyak yang komentar kala itu.

Seandainya masyarakat kita cerdas pasti apa yang dijual Julia Perez akan tak laku di pasaran. Kemunculannya sebagai kandidat calon pemimpin masyarakat tak perlu dipertentangkan. Justru akan menjadi tolak ukur indeks pembangunan manusia pada masyarakat tersebut. Jika pemimpinnya perampok ya masyarakatnya ‘kan ndak jauh-jauh dari kaum pencopet, pengutil, pemgemplang dan lain sebangsanya.

Dukungan secara pribadi saya kepada Julia Perez untuk menjadi bupati memang mungkin terlambat, namun itu jauh lebih baik bagi Jupe. Alih-alih jualan lagu belah duren berbonus alat kontrasepsi, menjadi pemimpin masyarakat akan jauh lebih terhormat bagi Jupe untuk kembali pada jalan yang benar.
Sekiranya ia gagal menjadi bupati dan pundi-pundi kekayaannya sudah habis untuk ongkos politik dan biaya pelumas mesin parpol, masih ada peluang bagi Jupe merintis karir di dunia selebritas dari nol lagi. Misalnya dengan mengikuti lomba mirip artis semacam the Promotor Trans TV sebab menurut saya wajah, penampilan, gesture, Jupe sangat mirip sekali dengan Chef Farah Quinn yang terkenal itu.Dan semoga predikat Jupe sebagai Sekwilda Depok perlahan menghilang dari ingatan publik.

Rabu, 01 September 2010

Melebarnya Masalah Pelebaran Jalan

Hari Sabtu dan Minggu biasanya aku habiskan untuk mengajak anak dan istriku ke luar rumah. Sebagai pekerja yang sangat sibuk, terkadang hari Sabtu dan Minggu memang sangat berharga bila dinikmati hanya untuk keluarga. Aku tak punya anggaran khusus mengajak mereka ke tempat rekreasi, paling banter ya mengajak mereka ke mal atau pusat perbelanjaan.

Namun impian menikmati hari libur justru buyar bila begitu keluar rumah sudah terjebak kemacetan. Seperti kala itu ketika kami berencana pergi ke salah satu pusat perbelanjaan di kota Depok. Posisi rumah kami terletak di pinggiran kota Depok, yaitu Sawangan, praktis kami tak punya jalur alternatif menuju episentrum Kota Depok kecuali melalui jalan ini.

Meskipun kami menikmati perjalanan dengan kendaraan bermotor, perjalanan cukup memakan waktu lama. Pasalnya semenjak tersohornya Masjid Kubah Emas yang menjadi bagian dari ikon kota ini telah menyedot peziarah-peziarah dari luar kota. Mereka tak hanya menggunakan kendaraan pribadi namun juga bus-bus besar dengan jumlah rombongan yang tidak sedikit.

Memang kini Kota Depok -sebagai salah satu kota penyangga ibukota- telah mengalami percepatan pembangunan yang luar biasa. Tingginya minat masyarakat untuk tinggal di Depok telah membuat kota ini berbenah menyiapkan segala perangkat pendukung aktivitas warganya termasuk kebutuhan transportasi dan sarana jalan

Beragam upaya telah dilakukan Pemkot Depok guna meningkatkan kenyamanan warganya dalam berkendara. Hampir setiap ruas jalan utama di wilayah Depok telah mengalami perbaikan, misalnya dengan betonisasi, pengaspalan tambal sulam, atau pelebaran jalan, terrmasuk jalan Raya Sawangan yang sekarang tengah kami lewati ini

Selepas melewati jalan Raya Sawangan dengan menyisakan kejengkelan yang luar biasa, kami pun hampir tiba di lokasi yang di tuju. Namun alangkah kagetnya kami melihat berjubelnya pengunjung mal yang bersebelahan dengan Terminal Depok ini. Melalui sedikit negosiasi dengan istri akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi mal lain yang memang menjamur di sepanjang jalan Margonda Raya.

Perhatianku tertuju pada suasana jalan Margonda Raya yang kini terlihat lebih lapang. Geliat pembangunan di Kota Depok setidaknya tercermin dari hiruk-pikuk pekerja yang sedang melebarkan jalan sepanjang 5 km lebih ini. Kepulan asap kendaraan bercampur debu dan teriknya matahari siang itu telah menurunkan mood kami untuk menikmati akhir pekan ini.

Bagaimana tidak, sepanjang jalan tak lagi ku temui hamparan pohon rindang yang meneduhkan kota ini. Rupanya upaya perbaikan jalan, baik melalui betonisasi maupun pelebaran jalan menyisakan masalah yang cukup besar. Lihatlah jalan Margonda yang merupakan landmark Kota Depok yang kini terkesan gersang. Proyek pelebaran jalan Margonda Raya yang dibiayai APBD Provinsi Jabar telah merenggut ratusan pohon-pohon hijau di sepanjang jalan Margonda Raya. “Apakah tak ada upaya dari pemkot untuk mencari alternatif dengan menanam pohon pengganti?” gumamku dalam hati.

Sepeda motor tuaku masih mencoba mencari celah menghindari angkot-angkot yang seenaknya ngetem. Auhg..hampir saja ku lindas kaki seorang pejalan kaki. Maklum, akibat pelebaran jalan ini trotoar yang merupakan hak pejalan kaki akhirnya tergerus. Aku yang mencoba mengambil arah putar balik di kolong putaran UI melihat jelas sepanjang jalan Margonda Raya dari arah Jakarta mulai dari gerbang selamat datang hingga depan kampus Gunadarma tidak kutemukan trotoar sama sekali. Aku hanya bisa mengelus dada dan bertanya dalam hati “ Di mana rasa kemanusiaan pemerintah kota ini kepada warganya sendiri?”

Bisa dikatakan, sepanjang jalan Margonda Raya tersebut tidak memiliki bahu jalan, karena batas tepi jalan raya sangat mepet dengan tanah warga. Ini tentu sangat membahayakan tidak hanya bagi pejalan kaki namun juga pengendara kendaraan bermotor, seperti aku dan mungkin banyak pengguna kendaraan lainnya.
Semestinya Pemkot Depok memiliki komitmen untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang berpihak pada lingkungan hidup dan kemanusiaan, seperti yang sudah dijalani di beberapa daerah lain sebagai bagian dari komitmen terhadap kesepakatan perubahan iklim di Bali beberapa tahun lalu. Apalagi jalan Margonda Raya sebagai ikon kota Depok menjadi semacam etalase yang mencerminkan sikap dan perilaku warga dan pemerintah Kota Depok.

Aku lantas melambungkan ingatanku kepada suasana di jalan Sudirman atau Thamrin di Kota Jakarta yang masih terlihat hijau dan teduh karena masih memiliki pohon-pohon yang rindang. Selain itu di sepanjang Jalan Sudirman dan Thamrin memiliki trotoar yang amat luas bagi pejalan kaki. Belum lagi jika mengenang suasana Jakarta di hari tanpa kendaraan dan menikmati berjalan-jalan di sepanjang jalan itu. Ooh alangkah nyamannya…

Namun lamunanku kembali buyar karena mendadak ada angkot yang berhenti tiba-tiba. “Huff..hampir saja,” gumamku. Istriku pun akhirnya angkat bicara, “Ayah, gimana sih bawa motornya ngelamun melulu makanya jangan ngeliatin cewek terus mentang-mentang lewat kampus…” Bisingnya suara istriku mirip bising knalpot motorku yang tak lulus uji emisi.

Memang harus kuakui dengan pelebaran jalan ini telah membuat masalah kepadatan lalu lintas di Margonda Raya dapat diurai terutama pada jam-jam sibuk. Setelah jam sibuk pada pagi dan menjelang sore hari praktis jalan Margonda Raya memang terlihat cukup lancar, namun pada hari-hari libur seperti Sabtu dan Minggu justru kemacetan terjadi utamanya di sekitar pusat-pusat perbelanjaan yang terbentang sepanjang jalan Margonda Raya. Dengan demikian pelebaran jalan menjadi kontraproduktif dan malah menimbulkan masalah baru.

Tak terasa perjalananku telah mencapai tujuan. Selintas ku menatap baliho besar bergambar pak walikota yang selalu tersenyum. Entahlah yang pasti senyumannya seolah menertawai penderitaanku. Kabarnya selepas ini pejabat yang dijuluki “walikota baliho” akan maju lagi dalam pemilukada tahun ini. Aku sendiri tak yakin apakah kehadirannya kembali memimpin kota ini mampu menata kota ini jauh lebih baik puluhan tahun ke depan.
Apalagi jika jajaran pejabat di bawahnya hanya berpikir pragmatis mengurai masalah kota dengan pendekatan simsalabim. Seperti misalnya mengurai masalah kemacetan dengan menjadikan penambahan ruas jalan atau pelebaran jalan sebagai fokus utama.

Buatku yang terpenting adalah bagaimana pemerintah menyiapkan sarana transportasi massal yang aman dan nyaman bagi warganya, bukan sekedar menambah ruas jalan. Sehingga banyak warga akan beralih dari kendaraan pribadi dan memilih menggunakan transportasi umum. Kalaupun pada akhirnya memilih pelebaran jalan sebagai solusi semestinya juga diiringi oleh pelebaran ruang publik dan tanpa menebang pohon-pohon di sepanjang jalan yang diperlebar. Hal itu merupakan cerminan keberpihakan pemerintah kota kepada lingkungan hidup dan kemanusiaan.

Selain itu pemerintah juga perlu membatasi kepemilikan kendaraan pribadi atau menetapkan pajak yang besar sehingga tak banyak kendaran wara-wari di sepanjang jalan. Apa gunanya jalan di perlebar kalau kendaraan juga makin banyak, iya khan?
Hentakan gas motorku terasa semakin berat, psstt…pssst.. terdengar sayup ban motorku kempes. Oalah…gara-gara banyak jalan hanya dibeton saja tanpa diaspal, ban vulkanisir motorku kini jadi semakin menipis. Aku pun menepikan motor dan menikmati akhir pekan di tempat tambal ban. Beruntung istriku tak lagi menggerutu karena masih asyik update status dari handphone baru pemberianku.

Melebarnya Masalah Pelebaran Jalan

Hari Sabtu dan Minggu biasanya aku habiskan untuk mengajak anak dan istriku ke luar rumah. Sebagai pekerja yang sangat sibuk, terkadang hari Sabtu dan Minggu memang sangat berharga bila dinikmati hanya untuk keluarga. Aku tak punya anggaran khusus mengajak mereka ke tempat rekreasi, paling banter ya mengajak mereka ke mal atau pusat perbelanjaan.

Namun impian menikmati hari libur justru buyar bila begitu keluar rumah sudah terjebak kemacetan. Seperti kala itu ketika kami berencana pergi ke salah satu pusat perbelanjaan di kota Depok. Posisi rumah kami terletak di pinggiran kota Depok, yaitu Sawangan, praktis kami tak punya jalur alternatif menuju episentrum Kota Depok kecuali melalui jalan ini.

Meskipun kami menikmati perjalanan dengan kendaraan bermotor, perjalanan cukup memakan waktu lama. Pasalnya semenjak tersohornya Masjid Kubah Emas yang menjadi bagian dari ikon kota ini telah menyedot peziarah-peziarah dari luar kota. Mereka tak hanya menggunakan kendaraan pribadi namun juga bus-bus besar dengan jumlah rombongan yang tidak sedikit.

Memang kini Kota Depok -sebagai salah satu kota penyangga ibukota- telah mengalami percepatan pembangunan yang luar biasa. Tingginya minat masyarakat untuk tinggal di Depok telah membuat kota ini berbenah menyiapkan segala perangkat pendukung aktivitas warganya termasuk kebutuhan transportasi dan sarana jalan
Beragam upaya telah dilakukan Pemkot Depok guna meningkatkan kenyamanan warganya dalam berkendara. Hampir setiap ruas jalan utama di wilayah Depok telah mengalami perbaikan, misalnya dengan betonisasi, pengaspalan tambal sulam, atau pelebaran jalan, terrmasuk jalan Raya Sawangan yang sekarang tengah kami lewati ini

Selepas melewati jalan Raya Sawangan dengan menyisakan kejengkelan yang luar biasa, kami pun hampir tiba di lokasi yang di tuju. Namun alangkah kagetnya kami melihat berjubelnya pengunjung mal yang bersebelahan dengan Terminal Depok ini. Melalui sedikit negosiasi dengan istri akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi mal lain yang memang menjamur di sepanjang jalan Margonda Raya.

Perhatianku tertuju pada suasana jalan Margonda Raya yang kini terlihat lebih lapang. Geliat pembangunan di Kota Depok setidaknya tercermin dari hiruk-pikuk pekerja yang sedang melebarkan jalan sepanjang 5 km lebih ini. Kepulan asap kendaraan bercampur debu dan teriknya matahari siang itu telah menurunkan mood kami untuk menikmati akhir pekan ini.

Bagaimana tidak, sepanjang jalan tak lagi ku temui hamparan pohon rindang yang meneduhkan kota ini. Rupanya upaya perbaikan jalan, baik melalui betonisasi maupun pelebaran jalan menyisakan masalah yang cukup besar. Lihatlah jalan Margonda yang merupakan landmark Kota Depok yang kini terkesan gersang. Proyek pelebaran jalan Margonda Raya yang dibiayai APBD Provinsi Jabar telah merenggut ratusan pohon-pohon hijau di sepanjang jalan Margonda Raya. “Apakah tak ada upaya dari pemkot untuk mencari alternatif dengan menanam pohon pengganti?” gumamku dalam hati.

Sepeda motor tuaku masih mencoba mencari celah menghindari angkot-angkot yang seenaknya ngetem. Auhg..hampir saja ku lindas kaki seorang pejalan kaki. Maklum, akibat pelebaran jalan ini trotoar yang merupakan hak pejalan kaki akhirnya tergerus. Aku yang mencoba mengambil arah putar balik di kolong putaran UI melihat jelas sepanjang jalan Margonda Raya dari arah Jakarta mulai dari gerbang selamat datang hingga depan kampus Gunadarma tidak kutemukan trotoar sama sekali. Aku hanya bisa mengelus dada dan bertanya dalam hati “ Di mana rasa kemanusiaan pemerintah kota ini kepada warganya sendiri?”

Bisa dikatakan, sepanjang jalan Margonda Raya tersebut tidak memiliki bahu jalan, karena batas tepi jalan raya sangat mepet dengan tanah warga. Ini tentu sangat membahayakan tidak hanya bagi pejalan kaki namun juga pengendara kendaraan bermotor, seperti aku dan mungkin banyak pengguna kendaraan lainnya.
Semestinya Pemkot Depok memiliki komitmen untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang berpihak pada lingkungan hidup dan kemanusiaan, seperti yang sudah dijalani di beberapa daerah lain sebagai bagian dari komitmen terhadap kesepakatan perubahan iklim di Bali beberapa tahun lalu. Apalagi jalan Margonda Raya sebagai ikon kota Depok menjadi semacam etalase yang mencerminkan sikap dan perilaku warga dan pemerintah Kota Depok.

Aku lantas melambungkan ingatanku kepada suasana di jalan Sudirman atau Thamrin di Kota Jakarta yang masih terlihat hijau dan teduh karena masih memiliki pohon-pohon yang rindang. Selain itu di sepanjang Jalan Sudirman dan Thamrin memiliki trotoar yang amat luas bagi pejalan kaki. Belum lagi jika mengenang suasana Jakarta di hari tanpa kendaraan dan menikmati berjalan-jalan di sepanjang jalan itu. Ooh alangkah nyamannya…

Namun lamunanku kembali buyar karena mendadak ada angkot yang berhenti tiba-tiba. “Huff..hampir saja,” gumamku. Istriku pun akhirnya angkat bicara, “Ayah, gimana sih bawa motornya ngelamun melulu makanya jangan ngeliatin cewek terus mentang-mentang lewat kampus…” Bisingnya suara istriku mirip bising knalpot motorku yang tak lulus uji emisi.

Memang harus kuakui dengan pelebaran jalan ini telah membuat masalah kepadatan lalu lintas di Margonda Raya dapat diurai terutama pada jam-jam sibuk. Setelah jam sibuk pada pagi dan menjelang sore hari praktis jalan Margonda Raya memang terlihat cukup lancar, namun pada hari-hari libur seperti Sabtu dan Minggu justru kemacetan terjadi utamanya di sekitar pusat-pusat perbelanjaan yang terbentang sepanjang jalan Margonda Raya. Dengan demikian pelebaran jalan menjadi kontraproduktif dan malah menimbulkan masalah baru.

Tak terasa perjalananku telah mencapai tujuan. Selintas ku menatap baliho besar bergambar pak walikota yang selalu tersenyum. Entahlah yang pasti senyumannya seolah menertawai penderitaanku. Kabarnya selepas ini pejabat yang dijuluki “walikota baliho” akan maju lagi dalam pemilukada tahun ini. Aku sendiri tak yakin apakah kehadirannya kembali memimpin kota ini mampu menata kota ini jauh lebih baik puluhan tahun ke depan. Apalagi jika jajaran pejabat di bawahnya hanya berpikir pragmatis mengurai masalah kota dengan pendekatan simsalabim. Seperti misalnya mengurai masalah kemacetan dengan menjadikan penambahan ruas jalan atau pelebaran jalan sebagai fokus utama.

Buatku yang terpenting adalah bagaimana pemerintah menyiapkan sarana transportasi massal yang aman dan nyaman bagi warganya, bukan sekedar menambah ruas jalan. Sehingga banyak warga akan beralih dari kendaraan pribadi dan memilih menggunakan transportasi umum. Kalaupun pada akhirnya memilih pelebaran jalan sebagai solusi semestinya juga diiringi oleh pelebaran ruang publik dan tanpa menebang pohon-pohon di sepanjang jalan yang diperlebar. Hal itu merupakan cerminan keberpihakan pemerintah kota kepada lingkungan hidup dan kemanusiaan.

Selain itu pemerintah juga perlu membatasi kepemilikan kendaraan pribadi atau menetapkan pajak yang besar sehingga tak banyak kendaran wara-wari di sepanjang jalan. Apa gunanya jalan di perlebar kalau kendaraan juga makin banyak, iya khan?
Hentakan gas motorku terasa semakin berat, psstt…pssst.. terdengar sayup ban motorku kempes. Oalah…gara-gara banyak jalan hanya dibeton saja tanpa diaspal, ban vulkanisir motorku kini jadi semakin menipis. Aku pun menepikan motor dan menikmati akhir pekan di tempat tambal ban. Beruntung istriku tak lagi menggerutu karena masih asyik update status dari handphone baru pemberianku.