Rabu, 30 September 2009

Guru Bukan Tukang Ketok Magic

Suharta Ristian Dwiputra S.Pd

Pegiat Makmal Pendidikan LPI DD

Pernah mendengar istilah ketok magic? Jika mobil anda penyok, tergores atau lecet maka datanglah ke tukang ketok magic dan tak lama berselang mobil anda mulus kembali. Satu hal yang menarik, bengkel ketok magic selalu tertutup rapat. Ini mungkin salah satu syarat dari ritual ketok magic sehingga tak seorangpun yang boleh tahu bagaimana terjadinya proses perbaikan itu.

Lantas apa kaitannya dengan guru di sekolah? Penulis tertarik mengambil istilah ketok magic sebagai gambaran dari fenomena cara guru mengajar di sekolah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar guru terutama di sekolah negeri hanya terbiasa mengajar sendiri di kelas mereka. Tak ada guru partner atau guru assisten yang mendampingi di kelas. Akibatnya, guru tersebut tidak pernah dilihat oleh rekan sejawatnya. Sepanjang hidupnya tentu guru merasa telah berbuat terbaik di kelasnya. Alih-alih merefleksikan performa diri setiap hari, sharing bersama rekan sejawat dalam forum gurupun mungkin setahun sekali dilakukan.

Kenyataan pun terbukti saat Makmal Pendidikan melakukan observasi bagi guru-guru di sekolah pendampingan. Melalui rekaman video, kami bersama guru membahas segala aspek yang terjadi ketika beliau mengajar di kelas. Bagaimana terlihat sekelompok siswa yang mengantuk di sudut belakang, mengapa pembagian kelompok tidak maksimal sampai pengaturan waktu yang tidak sesuai dengan rencana. Namun ada juga beberapa kelebihan yang menonjol pada sosok guru tersebut. Sang guru pun agak takjub juga melihat melihat tayangan dirinya sendiri di layar monitor. “Ternyata saya cukup pede juga ya pak!” sahut sang guru mengomentari dirinya sendiri.

Kami pun merefleksikan apa yang sudah kami lihat bersama. Tujuannya bukan untuk menelanjangi kesalahan sang guru, kami hanya memberi masukan bagaimana sebaiknya membuat penampilan mengajar mereka jauh lebih baik lagi. Satu hal yang menarik yang kami tangkap dari ucapan guru tersebut, “Pak terima kasih sudah mengobservasi saya, terus terang pengawas sekolah jarang melakukan seperti ini. Mereka memang pernah datang, tapi itupun cuma sekali hanya untuk memeriksa administrasi” Guru tersebut merasakan grogi pada awalnya, namun selepas diobservasi dan merefleksikan apa yang telah dilakukannya ternyata muncul gairah baru yang luar biasa.

Kegiatan yang dilakukan oleh Makmal Pendidikan tersebut adalah salah satu bagian dari lesson study yang telah ratusan tahun dikembangkan di Jepang. Hakikatnya lesson study memberi ruang kepada guru di sekolah untuk sama-sama belajar bagaimana sebaiknya mengajar. Mulai proses perencanaan (plan), melakukan (do) hingga merefleksikan (see), semuanya melibatkan komunitas guru di sekolah.

Bila hal ini rutin dilakukan, tak tertutup kemungkinan bahwa setiap guru akan saling mengobservasi rekan sejawatnya. Sehingga proses pengajaran yang dilakukan oleh masing-masing guru mendapat kontrol dari rekan yang lain. Pada akhirnya akan ada banyak guru merasa senang dan berterima kasih telah diobservasi. Kelasnya terbuka bagi siapa saja yang ingin melihat, tak ada lagi sekat atau penghambat.

Bila masih banyak di antara rekan sejawatnya yang merasa enggan diamati, kebal dari koreksi dan sulit berkompromi silahkan disarankan untuk berganti profesi menjadi tukang ketok magic saja.

Selasa, 18 Agustus 2009

Guru Dilarang Menggurui


Guru adalah profesi yang mulia. Berdasarkan survey di acara Metro 10, profesi guru mendapat tempat kedua dibawah profesi seorang dokter. Masyarakat kita juga masih banyak menaruh hormat pada sosok guru. Mendengar kata “guru” tentu membuat hati kita begitu respect, namun jika mendengar kata “menggurui” mengapa perasaan menjadi tak enak?
Menggurui dalam bahasa Indonesia mengandung makna menasehati, mengajari, memberi tahu namun sering dikonotasikan negatif. Menggurui mendapat perubahan makna kata yang pada awalnya berkesan positif namun lambat laun nilai rasa/kesan dari kata itu menjadi makin terkesan negatif, jelek dan kasar. Dalam ilmu semantik proses tersebut dinamakan ameliorasi.
Sebagai seorang guru tentu saya sangat terusik dengan kata menggurui. Dari sudut pandang ilmu bahasa, kata menggurui berasal dari kata dasar guru dan mendapat imbuhan me-i sehingga menghasilkan satu istilah menggurui. Kata guru berarti orang yang mengajarkan suatu ilmu, memberi tahu, mendidik. Jika mengacu pada UU N0 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Maka menggurui adalah proses pemberian ilmu, pengajaran, pembimbingan, pengarahan, penilaian dari seorang subjek yaitu guru kepada objeknya yaitu murid.


Kata menggurui mendapat kesan negatif karena dipengaruhi oleh paradigma proses terjadinya kegiatan berguru tadi. Pada masa lalu orang mendapat ilmu atau pengajaran dari seseorang yang dianggap lebih banyak tahu, seperti seorang filsuf atau budayawan, merekalah yang disebut guru. Mereka berkeliling dari satu tempat ke tempat lain untuk memberikan penerangan, orang-orang yang mendengarnya merasa tercerahkan dan memberi imbalan ala kadarnya. Ini yang disebut Eric Ashby sebagai revolusi pendidikan gelombang pertama. Pada perkembangannya para filsuf tadi tidak lagi nomaden tapi menetap di suatu tempat dan orang-orang yang ingin menerima pengajaran menetap di tempat guru tersebut. Inilah cikal bakal sekolah di masa-masa awalnya.
Celakanya, proses pembelajaran yang terjadi di lembaga-lembaga pendidikan tadi masih dipengaruhi oleh cara para filsuf menjelaskan pengetahuannya. Proses transfer ilmu pengetahuan tadi didominasi oleh tradisi lisan para filsuf. Maka siswa diibaratkan sebagai gelas kosong yang dituangkan air dari sebuah teko. Padahal seharusnya pikiran anak selayaknya api yang mesti dinyalakan bukan sebuah wadah yang mesti diisi. Guru akhirnya menjadi satu-satunya pemegang otoritas kebenaran yang membuat istilah menggurui terterima sebagai sebuah istilah yang wajar.

Dimuat di Jurnal Bogor, 14 Agustus 2009