Rabu, 14 April 2010

Wajib Belajar atau Wajib Sekolah?

Beberapa tahun lalu sebenarnya saya tergelitik dengan slogan “Ayo Sekolah” yang bertujuan meningkatkan partispasi masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Melalui program BOS kini secara tak langsung pemerintah kembali menghimbau anak-anak agar tetap bersekolah, terlebih lagi program wajib belajar 9 tahun masih juga populer di kalangan pemangku kepentingan pendidikan nasional.
Pemerintah begitu yakinnya bahwa program wajib belajar 9 tahun di beberapa daerah terbilang sukses. Bahkan ada beberapa pemerintah daerah yang menggulirkan program wajib belajar 12 tahun. Berlabel sekolah gratis, para pemangku kepentingan pendidikan di daerah ramai-ramai menggiring anak-anak masuk sekolah hingga ke tingkat yang lebih tinggi lagi.
Berdasarkan interaksi penulis selama ini dengan banyak kepala sekolah dan guru di daerah yang telah menempuh segala macam untuk membawa anak-anak ke sekolah. Apabila diketahui di dalam salah satu keluarga ada anak usia sekolah yang tidak/belum bersekolah maka seketika itu pula mereka menghampirinya ke rumah, membujuk dengan iming-iming sekolah gratis, dan memberikan penyadaran kepada orang tuanya.
Pemerintah pusat melalui pemerintah daerah juga telah menginstruksikan kepada perangkat desa dan kelurahan agar mendata anak-anak yang tidak bersekolah. Ini semua agar program wajib belajar 9 tahun sukses terselenggara. Hanya semata-mata memenuhi standar indeks pembangunan manusia.
Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah dosakah jika anak kita tidak bersekolah? Apakah sebuah aib jika ternyata ketahuan ada salah satu keluarga kita yang tidak mau bersekolah?
Seharusnya pemerintah -dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional- bercermin sudah tepatkah mereka “memaksa” anak-anak masuk sekolah? Apakah yang sudah di dapat anak-anak kita hari ini dari sistem sekolah yang telah pemerintah ciptakan?
Menarik untuk kita simak realitas berikut; citra kebanyakan sekolah kita setidaknya terekam pada acara Snapshot di salah satu televisi swasta (Selasa, 20 November 2007). Kamera tersembunyi telah menangkap basah perilaku sebagian pelajar berseragam yang bolos sekolah. Di antara dari mereka tertangkap tangan tengah merokok, main kartu bahkan pacaran hingga melanggar batas kesusilaan. Hal tersebut dilakukan terang-terangan di sebuah taman kota.
Saat reporter menanyakan mengapa mereka bolos sekolah, jawabannya rata-rata kompak, “bosan sekolah..” timpal mereka dengan santainya. Ada lagi peristiwa yang membuat saya geregetan dibuatnya. Pasalnya, saat menonton tayangan infotainment yang memberitakan penangkapan aktor kawakan Roy Marten karena kasus narkoba, ia berujar “Mungkin saya harus sekolah lagi!” saat didesak wartawan ketika akan digelandang ke tahanan.
Benarlah adanya kalau sekolah telah dipersepsikan layaknya penjara. Edward T Hall –seorang pendidik- pernah menyampaikan bahwa duduk diam di tempat terbatas adalah salah satu hukuman paling berat yang dapat dijatuhkan kepada manusia. Celakanya inilah yang terjadi di sekolah-sekolah kita. Berjam-jam siswa harus duduk diam untuk mendengar ceramah dari guru. Murid yang paling diam dianggap baik sementara murid yang banyak bicara karena kritis harus dihukum.
Kegiatan paling utama yang terjadi di sebuah intitusi sekolah adalah belajar. Sayangnya belajar sebatas dipahami sebagai transfer of knowledge dan diperparah pula oleh belenggu budaya feodal yang memosisikan guru sebagai satu-satunya pemegang otoritas kebenaran di sekolah.
Masih saja ada guru bertingkah pangreh praja bukan menjadi pamong praja. Pamong adalah pelayan, abdi, fasilitator sementara pangreh adalah penguasa, pemegang otoritas. Jadilah murid menjadi subordinat para guru sehingga mereka tidak tumbuh menjadi pribadi besar karena tidak mendapat ruang untuk berkembang. Gejala ini tumbuh subur dalam iklim dan kultur feodal yang masih menggelayuti paradigma pendidikan kita.
Pameo mengatakan pengalaman adalah guru terbaik. Kenyataannya di sekolah-sekolah formal banyak anak tidak mendapatkan pengalaman belajar apa-apa. Guru selalu memosisikan pikiran siswa selayaknya gelas kosong yang siap dituang beragam informasi. Padahal seharusnya guru sadar bahwa pikiran siswa ibarat api yang mesti dinyalakan. Pembelajaran pun dilakukan searah. Guru menganggap dirinya baik jika siswa telah mengerti apa yang telah disabdakannya. Jawaban kreatif sisiwa selalu dianggap pembangkangan atau melawan arus utama. Akhirnya siswa tidak mendapatkan pengalaman belajar apa-apa.
Melihat kenyataan itu adilkah jika pemerintah bersikukuh memaksakan anak kita masuk dalam sebuah sistem yang kita tidak setujui? Sedangkan masuk di sekolah terbaik berlabel sekolah plus, sekolah alam, sekolah rumah dan lain sebagainya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Oleh karena itu penulis perlu menyampaikan gagasan tentang citra baru sekolah yang berani melawan arus utama ini, yaitu sekolah yang bebas pakem. Sekolah bebas pakem ini semoga dapat menjadi solusi atas permasalahan pendidikan kita khususnya fenomena kekerasan yang terjadi di sekolah
Sebenarnya apa itu sekolah yang BEBAS PAKEM? Apa sekolah yang benar-benar keluar dari pakem (mainstream) dan bebas dari belenggu-belenggu aturan formal? BEBAS PAKEM di sini maksudnya bukan bebas dari rem/aturan-aturan dan hantam kromo sana-sini melainkan sebuah konsep belajar berbasis aneka sumber (BEBAS) dengan metode (pembelajaran) Positif, Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM).
Belajar berbasis aneka sumber (Bebas) adalah sebuah paradigma baru dalam proses pembelajaran yang tidak memusatkan belajar pada guru (teacher centered learning), artinya jika tanpa guru tidak terjadi proses belajar. Miarso (2004) menyampaikan bahwa belajar berbasis aneka sumber memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik/warga belajar untuk memilih dan menentukan sendiri sumber yang digunakannya untuk belajar. Dengan demikian guru berperan sebagai fasilitator yang bertugas menumbuhkan motivasi, memberikan bantuan dalam pemilihan dan penentuan sumber belajar dan tidak lagi menjadi satu-satunya pemegang otoritas kebenaran. Diharapkan peserta didik/warga belajar menjadi lebih mandiri, belajar secara kooperatif dengan teman sejawat dan lingkungannya. Belajar berbasis aneka sumber akan memunculkan proses dialogis antara guru dengan murid atau murid dengan murid yang akan bermuara pada munculnya sikap saling menghargai satu sama lain.
PAKEM dipahami sebagai sebuah metode dan model pembelajaran yang menerapkan prinsip-prinsip positif, aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Suasana pembelajaran dibangun lebih humanis dan demokratis. Guru dapat membuka ruang dialog seluas-luasnya kepada siswa. Guru juga perlu menghindari melabel anak didik dengan statement-statement negatif tentang siswa misalnya menyebut siswa bodoh, nakal, trouble maker dsb. Guru perlu memulai mengganti statement negatifnya menjadi kalimat-kalimat positif yang lebih bertujuan memotivasi bukan memvonis siswa.
Sementara itu guru harus menyediakan sarana belajar untuk menjadikan anak menjadi seorang pembelajar sepanjang hayat yang mampu berpikir kritis, cerdas, berorientasi solusi, kominikator yang efektif, pekerja kelompok mandiri. Oleh karena itulah guru dituntut kreatif mengemas metode pembelajaran, penataan ruangan dan kreativitas penugasan. Diharapkan belajar akan jauh lebih efektif karena banyak hal yang dialami oleh siswa di samping suasana pembelajaran yang menyenangkan telah mendukung terciptanya efektivitas pembelajaran itu sendiri.
Nah apabila hal tersebut sudah tercipta di sekolah-sekolah pemerintah tak berlebihan kiranya jiika pemerintah memaksa anak-anak wajib hukumnya masuk sekolah. Namun jika potret sekolah kita masih seperti yang dulu, tak usah malu jika anak kita tidak bersekolah. Masyarakat perlu diberi penyadaran bahwa anak tidak bersekolah bukan merupakan suatu aib. Justru aib terbesar terjadi jika anaknya bersekolah tapi tidak belajar apa-apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

follow @atrahus