Senin, 28 November 2011

Menjadi Guru Inspiratif : Refleksi Hari Guru, 25 November 2011

Guru adalah profesi yang mulia. Berdasarkan survey di acara Metro 10, profesi guru mendapat tempat kedua di bawah profesi seorang dokter. Masyarakat kita juga masih banyak menaruh hormat pada sosok guru. Mendengar kata “guru” tentu membuat hati kita begitu respect, namun jika mendengar kata “menggurui” mengapa perasaan menjadi tak enak?

Menggurui dalam bahasa Indonesia mengandung makna menasehati, mengajari, memberi tahu namun sering dikonotasikan negatif. Menggurui mendapat perubahan makna peyoratif, yaitu kata yang pada awalnya berkesan positif namun lambat laun nilai rasa/kesan dari kata itu menjadi makin terkesan negatif, jelek dan kasar.

Mengapa kita begitu risih mendengar kata menggurui? Jika mengacu pada UU N0 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Maka menggurui adalah proses pemberian ilmu, pengajaran, pembimbingan, pengarahan, penilaian dari seorang subjek yaitu guru kepada objeknya yaitu murid. Kata menggurui mendapat kesan negatif karena dipengaruhi oleh paradigma proses terjadinya kegiatan berguru tadi.

Pada masa lalu orang mendapat ilmu atau pengajaran dari seseorang yang dianggap lebih banyak tahu, seperti seorang filsuf atau budayawan, merekalah yang disebut guru. Mereka berkeliling dari satu tempat ke tempat lain untuk memberikan penerangan, orang-orang yang mendengarnya merasa tercerahkan dan memberi imbalan ala kadarnya. Ini yang disebut Eric Ashby sebagai revolusi pendidikan gelombang pertama. Pada perkembangannya para filsuf tadi tidak lagi nomaden tapi menetap di suatu tempat dan orang-orang yang ingin menerima pengajaran menetap di tempat guru tersebut.

Itulah cikal bakal sekolah di masa-masa awalnya. Celakanya, proses pembelajaran yang terjadi di lembaga-lembaga pendidikan tadi masih dipengaruhi oleh cara para filsuf menjelaskan pengetahuannya. Proses transfer ilmu pengetahuan tadi didominasi oleh tradisi lisan para filsuf. Maka siswa diibaratkan sebagai gelas kosong yang dituangkan air dari sebuah teko. Padahal seharusnya pikiran anak selayaknya api yang mesti dinyalakan bukan sebuah wadah yang mesti diisi. Guru akhirnya menjadi satu-satunya pemegang otoritas kebenaran yang membuat istilah menggurui terterima sebagai sebuah istilah yang wajar.

Menarik juga untuk menyimak pengertian guru pada periode sejarah di masa lalu, khususnya di Indonesia. Sosok guru yang merupakan pejabat strukrtural di pemerintahan menjadikan guru disejajarkan dengan aparatur pemerintahan. Boleh anda simak pengertian guru di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Bukan sebuah kebetulan jika istilah pamong juga melekat pada sosok guru dan aparatur pemerintah. Menurut KBBI istilah pamong berarti pengasuh, pendidik (guru), atau pengurus.
Nah, celakanya karena merasa bagian dari aparatur pemerintah (baca:pamong praja) sikap guru cenderung mengikuti gaya penguasa atau siapa yang memerintah.

Alhasil kultur feodal menjangkiti mental sebagaian guru kita kala itu. Pamong praja kita –guru dan aparatur pemerintah- muncul menjadi penguasa-penguasa di ranah kehidupannya masing-masing. Aparat sangat berkuasa di berbagai bidang kehidupan, guru amat sangat berkuasa di kehidupan sekolah. Sayangnya, rakyat pun telah lebih dahulu memaknai pamong praja sebagai penguasa. Mereka keseleo lidah dan salah membedakan arti pamong praja dan pangreh praja.

Hal itu tak terlepas pula akibat kultur masyarakat agraris bangsa ini yang mengagung-agungkan para penyelenggara pemerintahan (ambtenaar) pada masa kolonial. Ketika itu para penyelenggara pemerintah dikenal juga dengan istilah pangréh praja yang berarti penguasa lokal untuk menangani daerah jajahan kolonial. Padahal jelas sekali beda antara pamong praja dan pangreh praja.

Namun sangat disayangkan bahwa banyak di antara guru kita masih bermental penguasa atau setidaknya terlalu akrab bersama penguasa. Pada level pengurus PGRI misalnya, kebayakan didominasi oleh pejabat struktural di lingkungan dinas pendidikan kabupatan/kota. Sudah menjadi rahasia umum bahwa organisasi profesi guru hanya dijadikan tunggangan politik oleh orang-orang tertentu. Guru tak bisa kreatif di organisasi karena selalu menghamba pada juklak dan juknis yang notabene adalah perintah atasannya di tingkat struktural. Kita tak bisa membedakan gerak langkah organisasi macam PGRI sebagai kekuatan penyeimbang pemerintah (bargaining power) karena banyak dari pengurusnya adalah bagian dari struktur pemerintahan itu sendiri.

Epilog
Mustahil mendapatkan guru-guru terbaik apalagi inspiratif jika mentalnya masih bermental penguasa. Padahal kita sudah sangat mahfum dengan pameo yang mengatakan `The mediocre teacher tells, the good teacher explains.
The superior teacher demonstrates, the great teacher inspires
'. Terjemahan bebasnya kira-kira begini; guru yang biasa-biasa saja (cenderung) mengajarkan, guru yang baik memberikan penjelasan, guru yang di atas rata-rata (cenderung) memperagakan dan guru yang hebat adalah yang menginspirasi.

Guru yang masih bermental penguasa selalu menempatkan dirinya lebih baik di atas murid-muridnya, ia akan berlaku superior sehingga wataknya tak jauh dari instruksi alias perintah. Maklum akrena masih bertabiat penguasa/pemerintah jadi kerjanya suka memerintah. Kegiatan yang dialkukannya di kelas sebatas mengajarkan, memberi tahu, atau memperagakan. Semuanya itu berpusat pada sang guru tersebut semetara siswa cuma dijadikan objek.

Guru dikatakan sebagai sumber inspirasi tatkala pikiran, ucapan, dan
tindak tanduknya menjadi anutan bagi anak didik dalam memaknai
peristiwa-peristiwa yang ada di sekitarnya dan mamapu menggerakkan siswa untuk melakukan perubahan positif dalam kehidupannya di masyarakat

Mari kita tengok cerita seorang guru yang mampu menginspirasi siswanya. Cerita ini saya cuplik dari tulisan Titik Firawati yang bertajuk “Mencegah Kekerasan Guru” yang mengisahkan kisah inspiratif Prof Emil Salim yang sangat peduli terhadap pelestarian lingkungan karena terinspirasi dari guru-gurunya terdahulu.

Kepeduliannya itulah yang membuat beliau dipercaya menjabat sebagai menteri lingkungan hidup selama tiga periode berturut-turut (1978-1993).
Suatu ketika salah satu guru Emil Salim, seseorang berkebangsaan Belanda yang sangat peduli terhadap alam, mengajak murid-muridnya, termasuk Emil kecil, pergi ke hutan.

Sesaat hendak menyeberangi sungai, mereka dikejutkan
sekawanan lintah yang akhirnya mengacaukan perjalanan mereka. Dengan ketelatenannya, guru tersebut mengajak murid-muridnya berhenti sejenak untuk memahami apa makna dari pertanda alam itu. Diletakkannya seekor lintah di atas daun, kemudian, ia meminta murid-muridnya memperhatikan perilaku pacet tersebut. Alhasil, kepala pacet itu selalu bergerak-gerak menghadap ke arah datangnya sinar matahari.

Lantas, ia menjelaskan sembari berpesan agar murid-murid tidak perlu
khawatir setiap kali tersesat di hutan karena pacet bisa dijadikan
sebagai kompas alami.

Kecintaannya terhadap alam dan ketelatenannya mendidik murid-murid
membuat Emil kecil menaruh rasa hormat pada gurunya. Bahkan, Emil kecil
dan teman-temannya semakin menyayangi guru tersebut yang telah berhasil
membukakan alam pikiran dan mata hati mereka dalam memaknai peristiwa
peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Dedikasi guru itulah yang juga mengantarkan Emil kecil menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh dalam bidang lingkungan hidup di Indonesia.

Jumat, 25 November 2011

Membantu Siswa Memaknai Kesetiakawanan Sosial

Siswa-siswi SDI Binakheir Depok saat Charity Day
Banyak di antara kita mungkin sering mendengar istilah HKSN yang meupakan kependekan dari Hari Kesetiakawanan Sosial. Sejarah telah mencatat bahwa cikal bakal munculnya istilah HKSN ini bemula dari rentetan peristiwa di sekitar perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.

Diawali dari pembentukan Kementerian Sosial sebagai salah satu lembaga yang dibentuk pasca proklamasi 17 Agustus 1945 yang bertugas mengurusi masalah-masalah yang berhubungan dengan kesejahteraan rakyat. Founding father kita juga telah menaruh perhatian terhadap masalah sosial di antaranya soal fakir miskin dan anak terlantar yang harus dipelihara oleh negara seperti yang tertuang pada pasal 34 UUD 1945 hasil rumusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) kala itu.

Setelah republik berdiri dan masih tertatih akibat agresi militer kedua pada 19 Desember 1948, pemerintahan darurat berlangsung di Yogyakarta. Sehari setelah agresi itu tepatnya tanggal 20 Desember 1948 ribuan rakyat berbondong-bondong mengerahkan segala daya upaya untuk mempertahankan berdirinya republik. Petani di desa memberikan dukungan logistik, menampung pengungsi dari kota, menyediakan rumahnya sebagai markas komando gerilya bahkan ikut serta berperang.
Kaum Ibu dan gadis belia menyelenggarakan dapur umum lapangan bagi para pejuang maupun pengungsi, mendirikan pos-pos kesehatan, menjadi perawat bahkan ikut sebagai anggota kelaskaran.

Mereka yang tidak ikut berperang membantu menyediakan logistik dan permakanan, apa saja yang mereka miliki dipersembahkan secara tulus ikhlas, seperti menyediakan kendi dan nasi bungkus, jagung dan umbi-umbian yang mereka miliki, para pelajar ikut bertempur, mulai sebagai kurir, petunjuk jalan bahkan menjadi mata-mata bagi pejuang, prinsipnya berjuang terus mempertahankan republik tercinta.

Berangkat dari peristiwa itulah tanggal 20 Desember diperingati sebagai Hari Sosial, lalu berubah menjadi Hari Kebaktian Sosial Nasional dan belakangan ketika Menterinya dijabat oleh Nani Soedarsono, S.H. berubah menjadi Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN).

Kesetiakawanan Masa Kini

Jaman telah berubah, Indonesia kini tak lagi berada dalam keadaaan darurat perang. Bercermin dari peristiwa sejarah, setidaknya ada beberapa nilai-nilai yang masih relevan dalam konteks kekinian yaitu semangat persatuan, kesatuan, kegotongroyongan dan kekeluargaan rakyat Indonesia

Saat ini bangsa Indonesia mengalami masalah sosial yang tak penah habis yakni berkaitan dengan kesejahteraan terutama kemiskinan. Jumlah penduduk miskin yang kian meningkat, tumbuh suburnya kriminalitas karena tiadanya lahan pekerjaan dan perilaku sebagian masyarakat yang memamerkan kemewahan dengan telanjang di hadapan rakyat yang masih miskin dan kelaparan.

Lihatlah perilaku sebagian anggota DPR yang tidak lagi mencerminkan sebagai wakil rakyat. Mustahil bila rakyatnya miskin -tak bisa makan beras pulen hanya bisa makan nasi aking- sementara wakilnya mengendarai mobil mewar sekelas Bentley dan Hammer yang harganya mendekati angka milyaran rupiah. Logikanya rakyat harus lebih sejahtera dibanding wakilnya sebab direktur lebih tinggi gajinya daripada wakil direktur, presiden lebih sejahtera dibanding wakil presiden jadi jamak bila rakyat harus lebih sejahtera hidupnya daripada wakil rakyatnya sendiri.

Mr.Tata sedang bercerita di depan murid-murid
Sebagai seorang pendidik, mengajarkan nilai kesetiakawanan pada saat ini memang penuh dengan tantangan. Sebab apa yang tertera di buku seringkali tidak nyambung dengan realitas sehari-hari. Sehingga mengajarkan kesetiakwanan sosial tak melulu mengkhotbahkan sejarah asal muasal lahirnya hari kesetiakawanan sosial atau sekedar menugaskan siswa membuat kliping.

Seperti yang Sekolah Bina Kheir telah lakukan pada pekan ini yaitu mengadakan beragam kegiatan untuk menanamkan rasa kesetiakawanan sosial. Kelas 6 berinisiatif mengadakan bazaar buku dan alat tulis yang mereka jual dengan harga amat murah kepada siswa-siswa di salah satu madrasah dekat sekolah mereka.
Mereka membentuk kepanitiaan, menyiapkan segala macam keperluan hingga melaksanakan acara pada hari-H-nya. Berikut penuturan Haekal, salah satu panitia “ Menurutku hidup itu harus selalu berbagi karena berbagi itu jalan pintas kita. Kalau kita kesusahan, sedikitpun berbagi kita akan dikasih sama Allah lebih banyak lagi..”. lain lagi cerita Ervani, “Arti kesetiakawanan bagiku adalah bisa membantu satu sama lain, bisa mendukung dari belakang, selalu bisa bantu apa yang saya bisa lakukan..”.

Siswa kelas 6 Berjualan buku murah
Melihat refleksi yang ditulis anak-anak, sebagai guru saya tentu bangga dan yakin bahwa mereka telah belajar tentang kesetiakawanan sosial. Tidak hanya mengerti tentang makna kesetiakawanan sosial namun juga mendefinisikannya menjadi hal-hal yang jauh lebih konkret dan dekat dengan kehidupan mereka. Asumsi ini dikuatkan dengan pernyataan Putri Ketty, salah satu siswa, yang menuliskan, “…Hari ini aku seneng banget karena aku tadi pergi ke MI. Aku melakukan bakti sosial atau bazaar murah. Yang kita lakukan dalah bagian dari memperingati hari kesetiakawanan sosial. Kita membantu kawan-kawan dalam bentuk sosial dengan mengadakan bakti sosial kita jadi lebih bisa meringankan beban kawan-kawan kita. Aku jadi lebih mengerti tentang kesetiakawanan. Jadi kita bisa bantu saudara-saudara kita dengan bakti sosial…”
Putri dan Firdha berbahagia bisa berbagi

Lain lagi yang dilakukan oleh siswa kelas 4, mereka berkunjung ke rumah singah di permukiman kumuh dengan banyak membawa hadiah dan bingkisan. Awalnya mereka sempat bertanya-tanya, apa itu rumah singgah dan membayangkan sebuah tempat yang nyaman untuk disinggahi. Rupanya bayangan mereka jauh dari kenyataan, rumah singahnya ternyata sebuah bangunan semi permanen yang dinding batanya sebatas dada orang dewasa sementara sisanya hingga ke atas adalah triplek dan papan-papan kayu. Belum lagi bangunan itu hanya beratap seng tanpa langit-langit sehingga terasa sekali mereka seolah sedang mandi sauna sebab hanya satu buah kipas angin yang menggantung dan berputar perlahan di atas sana.


Siswa kelas 4 tanpa canggung dan malu berbaur dengan anak-anak dari pemukiman kumuh. Mereka melakukan aktivitas bermain bersama, berkenalan, mewarnai dan salah satu siswa membacakan cerita buat seluruh penghuni rumah singgah. Tawa ceria bergema di sana, tak ada lagi jarak yang memisahkan mereka. Simak perasaan yang dikemukakan oleh Nabila, “Perasaanku senang dan juga sedih. Senang bisa bertemu dengan mereka tapi melihat keadaan di rumah singgah itu aku merasa sedih dan kasihan. Aku ingin sekali bertemu dengan mereka lagi dan membangun kembali itu biar kakak-kakak dan adik-adik bisa belajar lebih tenang”
Sungguh terharu rasanya melihat penuturan siswa-siswa yang mereka tuangkan dalam bentuk tulisan refleksi. Tanpa dijejali teori-teori sosial yang njelimet secara tidak sadar mereka telah mendapatkan pengetahuan tentang kesetiakawanan sosial.
Pengertian Kesetiakawanan Sosial seperti yang tertulis pada Undang-undang nomor 11 tahun 2009 adalah nilai, sikap dan perilaku masyarakat yang dilandasi pengertian, kesadaran, tanggungjawab, kesetaraan, partispasi sosial untuk mengatasi dan menanggulangi berbagai masalah sosail sesuai dengan kemampuan masing-masing dengan semangat kebersamaan, kekeluargaan dan kerelaan berkorban tanpa pamrih. Tentu bagi siswa hal ini sangat abstrak dan jauh dari jangkauan pikiran mereka. Oleh karena itulah tugas guru mendekatkan pengertian tersebut menjadi sebuah kegiatan yang konkret. Kegiatan inilah yang pada akhirnya memberikan pengalaman belajar seperti yang siswa-siswa tadi telah alami.