Kamis, 01 April 2010

Menjadikan Belajar Bermakna

Ujian Nasional telah membuat belajar seolah kehilangan maknanya. Siswa dipacu untuk menyelesaikan soal yang tertulis di atas kertas. Padahal sesungguhnya, tujuan belajar diharapkan membuat siswa memcahkan soal-soal dalam kehidupan nyatanya.

Mengutip pernyataan guru saya -Mas Hernowo- dalam bukunya "Mengikat makna" saya lantas tergerak untuk membuat tulisan bertajuk menjadikan belajar bermakna. Sependapat dengan beliau, apa yang terjadi dalam dunia persekolahan di Indonesia dalam kurun dua puluh tahun terakhir ini sangat jauh dari harapan.

Guru-guru tampil di depan kelas dengan persiapan seadanya. Siswa hanya dijejali lembar demi lembar latihan soal yang dicuplik dari LKS atau bank soal. Kegiatan pembelajaran miskin akan kreativitas dan sekolah hanya memikirkan ketuntasan kurikulum, bukan ketuntasan belajar siswa.

Padahal Jones, Valdez, Nowakowski, and Rasmussen (1994) jauh-jauh hari telah memberikan arahan mengenai bagaimana seharusnya pembelajaran di abad 21 dilakukan. Bukunya yang berjudul Designing Learning and Technology for Educational Reform memaparkan delapan indikator yang memandu penyelenggara pendidikan agar menjadikan pembelajaran lebih bermakna dan menarik.
Berikut indikator-indikator yang mesti perhatikan untuk mencapai pembelajaran yang bermakna;
1. Visi Belajar Bermakna
para pembelajar yang memaknai belajar harus memiliki visi yang benar tentang apa itu belajar yang bermakna. mereka telah memahami bahwa belajar adalah sebuah kebutuhannya, mereka dapat merumuskan secara mandiri apa tujuan belajar dan apa yang akan mereka dapat dari apa yang mereka pelajari. Dengan mengetahui visi itu, pada akhirnya mereka akan sangat antusias dalam belajar. Antusiasme itulah yang menjadi pembuka jalan menuju keterampilan mereka dalam memecahkan persoalan-persoalan kehidupan.

2. Penugasan Bermakna
Untuk mencapai hasil belajar yang dapat diikat maknanya oleh siswa, diperlukan jenis tagihan penugasan yang tentu bermakna pula. Penugasan yang bermakna harus sangat menantang , berbasis pada penilaian otentik melalui rubrik, dan melibatkan lintas disiplin ilmu lainnya. Penugasan ini bahkan sering meminta siswa meramu beragam pengetahuan yang telah mereka miliki sebelumnya menjadi satu kesimpulan.

3. Penilaian Bermakna
Pemberian tugas yang menghasilkan penilaian bermakna hanya dapat dilakukan dengan memberi tugas berupa penugasan pribadi maupun kelompok yang dapat diukur melalui penilaian yang adil, penugasan proyek, penyelidikan, pengamatan, mewawancarai nara sumber, dan mengujicobakan penemuannya itu dalam sebuah presentasi atau hasil karya produk. Penilaian berbasis kinerja -demikian orang biasa meyebutnya-, secara umum dapat menunjukkan sejauh mana pencapaian siswa, dari segi perencaaan, penilaian dan pelaporan hasil kerjanya.

4. Model Pembelajaran dan Strategi Belajar Bermakna
Model pembelajaran interaktif akan sangat berguna dalam membuat belajar menjadi bermakna. Pendekatan belajar yang dilakukan bukan satu arah melainkan dari berbagai arah. Guru bukanlah satu-satunya sumber belajar. Siswa dapat saling belajar dengan rekan lainnya dalam pembelajaran teman sebaya lewat diskusi kelompok, brainstroming ,problem-solving processes,dan team teaching.

5. Belajar Kontekstual
Kebermaknaan belajar dapat terjadi dalam komunitas belajar yang membangun pengetahuan. komunitas ini tidak hanya membuat anggotanya bertambah ilmu pengetahuan tapi juga membuat para anggota mempunyai tanggung jawab kelompok untuk saling mencerdaskan satu sama lain, memunculkan nilai-nilai kebersamaan dalam perspektif yang berbeda. Melalui ruang belajar yang mengakomodasi kolaborasi antar siswa, setiap siswa pada akhirnya akan terpacu mengeluarkan pertanyaan bernas, memilah dan memilih masalah, membangun opini, menetapkan tujuan belajarnya. belajar kolaboratif ternyata juga mmapu membuat sisiwa memiliki keterampilan komunikasi yang cuukup baik tidak hanaya dengan sesama siswa di lingkungan sekolah namun juga di luar sekolah.

6. Pengelompokan Siswa
Pemilihan kelompok berdasarkan heterogenitas adalah salah satu pilihhan bijak dalam membuat suasana pembelajaran menjadi lebih bermakna. Heterogenitas kelompok termasuk perbedaaan jenis kelamin, budaya, ras, agama, kemampuan individu, dan latar belakang ekonomi.

7. Guru Sebagai Role Model
Paradigma pembelajaran telah merubah peran guru yang pada awalnya sebatas pemberi informasi kini bergeser menjadi pelayan informasi. Sebagai fasilitator, guru bertugas menyediakan segala macam sumber belajar dan pengalaman belajar yang dibutuhkan oleh siswa. Guru juga terkadang berperan sebagai guide alias penunjuk jalan yang mengarahkan tujuan belajar siswa tepat pada jalurnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

follow @atrahus