Jumat, 03 Juni 2011

Mari Bekerja!

“Ayah kapan punya penghasilan lagi?” rengek istriku di ambang sore. Aku menatap sorot matanya yang beku sambil kuseruput secangkir teh yang rasanya ternyata agak pahit. Bukan ini kali saja ia mengungkapkan hal itu, bukan pula maksudnya meminta tambahan uang belanja, dalam hatinya sebenarnya ia hanya ingin menanyakan dan memastikan kapan aku bekerja lagi.

Empat bulan sudah aku tidak menyandang status sebagai pekerja. Konsekuensinya aku tak punya penghasilan tetap yang mesti kusetor di akhir bulan. Setidaknya itu dalam pandangan istriku. Aku sendiri tidak menganggap diriku pengangguran. Selepas berhenti jadi pekerja tetap, seorang kawan lama memberi kabar dari ujung telepon “Ta, bisa ngajar di tempat bimbel gue nggak? Satu sessi satu setengah jam honornya Rp 50.000,00” Tak banyak komentar aku hanya menjawab Alhamdulillah dalam hati, “iya..gue bisa Za!”

Hari-hari pertama tanpa status sebagai seorang “pekerja” memang agak janggal bagiku. Tak ada kesibukan di pagi hari, tak ada bunyi mesin motor yang biasa kupanaskan. Aku malah sibuk bermain bersama kedua putriku yang masih kecil, “Ayah hari ini libur ya! Asyik de, kita bisa main bareng ayah..”. Aku hanya terdiam mendengar celetukan Kaka, putri sulungku. Celetukannya bagai kerikil yang mengganjal kerongkongan sehingga membuatku terdiam membisu. Lama kelamaan Kaka dan Dede tak lagi menanyakan “hari ini ayah libur ya?” karena saking terbiasanya kami menghabiskan waktu bersama.

Sebagai pengajar lepas di lembaga bimbingan belajar, honorku tergantung banyaknya jam mengajar. Beruntung kala itu aku banyak mendapat jatah karena siswa-siswi sedang sibuk menjelang ujian nasional. Namun selepas ujian nasional, kelas bimbel pun jadi sepi. Itu artinya tak ada lembaran rupiah yang mampir di sakuku. Ini jelas berbeda ketika aku masih punya pekerjaan tetap. Lembaran rupiah yang baru saja kuterima mengingatkanku pada kenangan empat-lima bulan sebelumnya.

“Andai ku tak membuat kesalahan fatal kala itu, tentu nasibku tak seperti ini” gumamku dalam hati. Memang seringkali dianggap klise jika desakan ekonomi membuat orang tak berpikir jernih. Itu pula yang kualami di tempat kerjaku yang dahulu. Penyesalan hadir menyeruak namun aku tak ingin terlalu lama larut dalam kesedihan. Aku menanggapi hal ini secara positif. Belajar memang selalu tidak diambil dari contoh yang benar, belajar dari contoh yang salah bahkan jauh lebih berkesan dan meninggalkan pengalaman yang tak terlupakan. “Orang yang berprestasi tinggi di bidangnya telah mendapatkan keuntungan dari kesalahannya dan mencoba lagi dengan cara yang berbeda, “ ungkap Dale Carniege seorang moivator dan pencetus gerakan sukses. Kata-kata itu jadi makin berarti bagiku kini.

Selain menjadi pengajar freelance, aku punya aktivitas lain. Kebetulan ada seorang kawan lama yang memintaku menyebarkan proposal ke sekolah-sekolah. Ia memintaku menawarkan program pelatihan guru dan beberapa produk yang mungkin dibutuhkan sekolah.

Pagi itu aku berangkat ke luar rumah walau masih gelap mesti ke mana. “Pokoknya ke luar rumah! Bergerak… berbuat sesuatu” Hati kecilku menguatkan. “Ayah mau kemana?” Tanya istriku. “Mau membuktikan ke dunia ‘Bun kalau aku hidup karena bergerak adalah salah satu tanda kehidupan!” lantang suaraku berharap meredakan kegelisahannya.

“Tapi hari ini bawa uang? Beras kita sudah habis loh” Tanyanya lagi. Rupanya kata-kataku belum mampu meredam kegelisahannya.

“Duh Gusti, aku mesti bilang apa?????” aku membisu, bibirku seolah enggan bergerak. Aku seolah kena skak mat.

“Kok diam? Berarti perginya belum bawa bekal tawakal…Inget ‘ga tausyiah kemarin kalau kalian bertawakal kepada Alloh dengan sebenar-benarnya, niscaya Alloh akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana burung diberi rezeki, dia berangkat pagi-pagi dengan perut kosong dan kembali sore hari dengan perut terisi, hadist riwayat Tirmidzi” papar istriku diiringi senyuman.

“Tawakal memang perlu tapi ini juga jangan lupa dibawa…” lanjutnya seraya menyodorkan helm.

“Terima kasih, Bun…dorongannya membuat langkah ini jadi ringan, terasa naik motor yang baru di tune up!” Aku menyodorkan tangan yang lantas disambutnya dengan ucapan, “hati-hati Yah!!”

“Assalamu’alaikum”

“Wa ‘alaikum salam”

Sepanjang perjalanan aku terus melantunkan lagu memompa semangat. Aku mampir sebentar di sebuah masjid. Meredakan ketegangan, kuputuskan untuk sholat dhuha. Selepas dua rokaat kulanjutkan dengan tilawah Al Waqiah dan Yassin, sesuai petuah ayah mertua yang katanya manjur membantu kita keluar dari beragam masalah.

Aku pun mengecek nama-nama di phone book telepon selularku. Beberapa nama akhirnya kutemukan dan segera kukirim pesan singkat untuk bertemu. Alhamdulillah ada beberapa yang langsung memberi respon dan menyediakan waktu bertemu. Minimal proposal ini tersebar, urusan deal atau tidak biar Alloh yang menentukan. Waktu dhuha ini ternyata tak hanya memberiku rehat namun membuka pikiranku yang semula gelap. Aku bisa menelepon beberapa teman, mencari peluang prospek, atau sekedar menjalin kembali silaturahmi. Lucunya beberapa yang kuhubungi selalu membuka pembicaraan dengan bertanya, “sekarang kerja di mana? Lo lagi di mana nih, di kantor….?”. Aku biasanya tersenyum dan menjawab dengan formalitas, “oh gue sekarang wiraswasta, iya nih lagi di tempat kerja”. Padahal sebenarnya mereka tidak tahu, masjid, halte bis, atau warung pinggir jalan kini bisa menjadi tempat kerjaku. Dari sini aku bisa mengendalikan diriku, dari tempat-tempat itu kadang aku merencanakan langkah-langkah selanjutnya. Kini aku merasa tak jauh berbeda dengan pekerja-pekerja lainnya, meski dileherku tak tergantung sebuah ID Card atau identitas lain layaknya pekerja.

Percaya atau tidak aku mulai menikmati kegiatan ini. Aku bahagia bukan kepalang. Seperti petuah seorang bijak, “Bukan kesuksesan yang membuat orang bahagia, kebahagiaanlah yang membuat orang menjadi sukses”. Itu yang kurasakan kini. Perlahan aku mulai melupakan kegelisahan menyandang status sebagai seorang jobless meski kata sukses kini jadi perdebatan dalam batinku.
Memang ada perasaan iri menyaksikan kisah-kisah sukses teman-teman yang setidaknya terlihat ketika ku iseng membuka facebook. Melalui foto profil atau lewat update status mereka aku menengarai bahwa mereka telah sukses, setidaknya dalam urusan pekerjaan.

Lagi-lagi aku dihadapkan pada kegelisahan, “Aku ini sekarang apa? Sudah jadi apa aku? Wah hebat ya si fulan? Dan sederet pertanyaan lain yang makin menenggelamkanku dalam penyesalan. Ya, penyesalan tentang caraku dalam bekerja. Betapa dahulu aku tak pernah menyadari bahwa sebenarnya tak ada jalan istimewa untuk mendapatkan kemenangan. Jalan yang harus ditempuh adalah rute lama, yang menuntut kerajinan dan ketekunan, begitu pesan Dr. Orison Sweet Marden Guru sukses pencetak guru-guru sukses semacam Dale Carniege, Anthony Robbins dan Stephen R Covey.

Aku beberapa kali pindah bekerja karena ketidaksabaran menapaki karir secara bertahap. Padahal bila lima tahun telah terlalu selepas aku lulus dari kampus, setidaknya aku kini menduduki jabatan setingkat supervisor di tempat kerjaku yang dahulu. Tapi apa lacur, dorongan menggebu untuk mendapatkan kemenangan tanpa diimbangi ketekunan dan kerajinan menyeretku ke pinggir jurang kegagalan.
Semestinya dahulu kurenungi dalam-dalam pesan penyair sentimentil Amerika Serikat, Hendry Wadworth Longfellow, “Ketinggian yang dicapai dan dipelihara oleh orang-orang besar tidaklah diperoleh dengan tiba-tiba. Ketika orang-orang lain terlelap, mereka bekerja keras di tengah malam”.

Bahkan kutipan Thomas Alfa Edison yang kerap kali kubaca, bahwa 90% keberhasilan ditentukan oleh kerja keras dan ketekunan, sementara 1% sisanya ditentukan oleh bakat dan kecerdasan nyatanya tak pernah meresap dalam sanubariku. Ia hanya jadi penghias kamarku sekedar pemanis ruangan.

Perjalananku hari ini terhenti ketika adzan dzhuhur memanggil. Hari mulai beranjak separuh penghabisan. Khusyuk kubermunajat jauh lebih dalam dari biasanya. Naluri manusia memang begitu adanya. Selalu benar-benar merasakan kehadiran Alloh dalam situasi sempit dan terjepit. Beruntung dalam suasana kebatinan yang tertekan ini aku masih merasakan butuhnya pertolongan Tuhan. Sementara di luar sana mungkin banyak yang mengambil jalan pintas, menyelesaikan hidup dengan cara konyol berharap bisa terlepas dari beban masalah. Tugasku kini menata kembali semangat, memperbaiki performa, dan fokus pada tujuan supaya kelak kehidupanku makin baik. Seperti petuah bijak seorang sufi terkemuka imam Al Qusayairi, “Siapa saja yang menduga bahwa apabila seseorang mencurahkan tenaganya untuk mencapai tujuan, berarti ia tertolong. Barangsiapa yang menduga tanpa jerih payah ia akan meraih tujuannya, berarti ia hanya berangan-angan”