Selasa, 15 Oktober 2013

Wanita Itu Bernama Irma Kusumasari


                18 Juni 2006, aku renggut dia dari keluarganya. Berbekal kemampuanku menaklukkan wanita, entah kenapa dia langsung percaya. Aku yang tak punya apa-apa, bahkan tak bermodal apa-apa berani-beraninya mengajaknya mengarungi bahtera rumah tangga.
                Dia tinggalkan dan tanggalkan kenikmatan, kelapangan, kebahagiaan yang didapat dari keluarganya hanya untuk hidup bersamaku. Padahal aku belum bisa memberinya masa depan. Aku baru setahun lulus kuliah, bahkan pekerjaan pertamaku atas budi baiknya. Tapi tekadku sudah bulat, apalagi calon mertua selalu menanyakan, “ Bapak gak mau loh, liat kalian berdua-berduaan terus..bapak takut dosa!” kemudian sambungnya dengan logat Sunda yang kental beliau berujar, “Sok atuh, Tata disegerakan!”
                Akhirnya dengan mengucap bismillahi rahmannir rahiim, lisanpun berkata, “saya terima nikahnya Irma Kusumasari binti Ali Thoyib dengan mas kawin emas 10gr dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!”  Seketika itu pula bersahutan orang berkata, “sah..sah..sah!!!”
                Kini tujuh tahun telah berlalu, suka dan duka telah kami jalani. Khusus untuk bagian ini saya tak ingin cerita panjang lebar. Sebab terlalu banyak yang mesti dikisahkan. Seperti yang sudah disinggung semula, Irma Kusumasari telah rela menanggalkan semua kesenangan pribadinya semasa gadis hanya untuk bersamaku. Hidupnya bahagia, apa yang diinginkannya bisa segera terpenuhi, kemauannya selalu mudah dituruti. Ia tidak mengenal kata nanti, besok ya kalau ada, atau janji-janji surga sebatas penenang gusarnya.
 Sementara bersamaku, ia sudah terbiasa termakan janji. Pernah suatu ketika, ia ingin sekali dibelikan sepatu, tapi aku belum ada uang aku cuma punya janji, “nanti yah, kalau ayah ada uang!” aku mencoba menenangkannya. Ia jarang sekali ku belikan baju bagus, bahkan beli baju bisa dihitung dengan jari. Padahal semasa gadisnya dahulu, setiap minggu sekali ia selalu ganti koleksi sepatu, tas dan baju. Uang jajannya kala itu, untuk ukuran mahasiswa sebayanya tergolong yang paling besar. Duaratus ribu tiap minggu.  Bahkan karena dahulu belum banyak tersedia mesin ATM setor tunai, petugas teller bank sampai hafal wajah supir ayahnya karena setiap minggu, ia selalu ditugasi menyetor uang untuk putri kesayangannya nun jauh di sana.    
                Irma Kusumasari rela menanggalkan segala gemerlap kehidupannya bersamaku, -Suharta Ristian Dwiputra- orang yang banyak harta sebatas di nama.  Hebatnya Irma, meski baju yang dipunya adalah koleksi-koleksinya semasa gadis, namun ia pandai memadupadankan. Tak terlihat seperti baju usang karena ia pandai memainkan warna. Merombak bentuk, memodifikasi bahkan tak jarang tambal sulam sehingga tercipta suatu kreasi pakaian yang baru. Bahkan ada kawan yang berseloroh, “wah Irma glamor nih pakaiannya bagus-bagus….!” Dalam hati istriku bergumam, “Hhmm, gak tau aja lo,, ini baju bekas semua…mana bisa suamiku beliin baju-baju bagus”.
 Bersamaku, Irma tak lagi mencari baju di mal terkenal atau pusat perbelanjaan mewah. Percaya atau tidak, ia lebih sering mengaduk-mengaduk keranjang baju diskon, itupun di toko baju sisa eksport atau yang lebih dikenal sebagai baju inang-inang yang selembarnya seharga lima ribuan.
                Banyak perempuan yang bersedia hidup bersama laki-laki dalam keadaan sulit. Tapi jarang sekali ada perempuan yang masih bersedia hidup dalam kesulitan bersama laki-laki yang telah mengkhianatinya. Namun, kenyataannya masih ada wanita yang bersedia untuk itu. Dan itu ada pada diri Irma Kusumasari. Betapa tidak, dalam kesulitan hidup, menanggalkan kebahagiaan yang semestinya bisa ia dapat dari keluarganya, Irma malah mendapat perlakuan buruk dari lelakinya. Ya, aku berkhianat. Membuatnya sakit hati dan menodai rumah tangga ini. Noktah merah sudah tertulis, tidak sekali, bahkan hingga berulang kali.  Semestinya ia bisa memilih untuk pergi dan mencari kebahagiaan lain di sana. Tapi ia masih bertahan, bertahan hingga kini.
                Jika banyak wanita lain memilih pergi sebab sudah punya cukup alasan, tapi tidak dengan Irma.  Aku sempat kehilangan pekerjaan. Tidak bisa memberinya nafkah, bahkan ia sudah berulangkali dikhianati, disakiti, dan lain sebagainya. Sebenarnya sudah cukup alasan bagi Irma untuk meninggalkanku dan pergi kepada orang lain yang bisa membahagiakannya, melindunginya, mencukupinya, menghargainya dan lain sebagainya.  
                Saat aku kehilangan pekerjaan dalam waktu yang mendadak, aku panik. Bulan ini berarti tidak ada penghasilan, anak istriku bagaimana? Sewaktu masih bekerja saja banyak kebutuhannya yang tak bisa kupenuhi, bagaimana jika sekarang tidak ada pekerjaan sama sekali???. Aku hampir stress, walaupun aku sudah stress dari dulu, tapi syukurnya Irma tidak tahu itu.
Dari bibirnya yang mungil lantas keluarlah dengan tenang sebuah ucapan “Sudah ga usah sedih, coba hubungi Azis minta kerjaan sama dia, mungkin dia bisa bantu”. Aku lantas menghubungi Azis, Presiden Sedekah Harian, kami memang beberapa bulan terakhir aktif menjadi relawannya. Mendengar berita aku yang sudah jobless, Azis mencoba mencarikan solusi. Ia menyuruhku bertemu rekannya Edisman Adiguna, aku belum kenal siapa dia. Kata Azis, “Pokoknya ente ketemu aja dulu orang ini, kalo bisa besok ke Cikini, ini alamatnya” begitu pesan Azis melalui pesan di facebook.
Singkatnya, bertemulah aku dengan Edisman. Tak lupa pula aku mengajak istriku. Bukan apa-apa, sebab jika berduaan bertemu dengan yang bukan mahromnya, maka yang ketiga setan. Beruntung di tempat pertemuan itu tidak hanya bertiga, tapi ada rekan-rekan yang lain dari Sedekah Harian. Syukurlah, akhirnya tidak ada di antara kami yang dianggap setan, karena jumlah yang hadir lebih dari tiga. Pertemuan itu berlangsung padat, karena ternyata itu adalah pertemuan Badan Pengurus Harian Sedekah Harian. Jadi mereka membahas rapat rutin dan di akhir rapat yang panjang itu, diberikanlah kesempatan aku untuk bicara. Edisman pun memperkenalkan aku dan istriku, setelah itu Edisman angkat bicara “Saudara kita ini, seorang standup comedian dan kita membutuhkan kemampuannya untuk membantu kita mensosialisasikan Gerakan #SedekahSehariSeribu melalui komunitas kita Sedekah Harian!!”
Aku gugup, tidak menyangka bakal secepat itu. Belum sempat aku berkata, Edisman melanjutkan ucapannya, “Oke di antara kalian ada yang ingin bertanya?” wajahnya menatap ke seluruh peserta yang hadir.
Salah seorang mengangkat tangan, “Jadi ngapain tugasnya saudara kita ini???” tanyanya dengan penasaran.
 “Nah, itulah mengapa saya undang saudara kita ini kemari, biar bisa menjelaskan!!!” Aku tersentak mendengar ucapan Edisman, makin tersentak lagi ketika telunjuknya mengarah ke wajahku. “Boro-boro mau presentasi program, lah disuruh ke Cikini aja kupikir bakal dikasih sedekah buat menyambung hidup, lah ini malah disuruh presentasi,” aku terus bergumam. Aku pun bicara ngalor-ngidul sekenanya, bahkan bukan cuma soal apa yang akan aku kerjakan nanti, sessi itu malah lebih mirip curhat masalah keluarga. Dari situ gagasan #SENDAWA pun dimulai. Hingga akhirnya aku harus memperbaiki usulanku dalam bentuk yang lebih terstruktur lagi lewat medium powerpoint, untuk dipresentasikan pada pertemuan selanjutnya.    
SENDAWA (Sedekah & Canda Tawa) adalah inisiatif program yang dibuat olehku berdasarkan arahan dari Edisman. Bentuknya sederhana, aku hanya diminta standup comedy dengan diselingi ajakan untuk mengenal komunitas @sedekahharian dan ikut program #sedekahsehariseribu. Tentu jika ingin mengajak orang, kita dahulu harus memulainya. Maka dari itu, aku pun akhirnya ikut gerakan #sedekahsehariseribu sambil aku terus mensosialisasikannya lewat medium standup comedy yang ku bisa lakukan. SENDAWA mulai merambah kemana-mana, tidak hanya dipublikasi lewat social media atau jalur online, tapi juga dikenal melalui media offline.http://suc.metrotvnews.com/article/kolom/71
SENDAWA tidak berbayar. Aku juga bingung bagaimana nanti nasib periuk nasiku jika program ini gratisan. Secara pragmatis demikianlah kalkulasi kita sebagai manusia di atas kertas. Bagi Allah SWT ternyata tidak demikian. Benarlah janji Allah SWT, “barang siapa yang menolong agama, niscaya Allah SWT akan menolongnya”. Anggap saja aku sedang bertransaksi, berjual-beli dengan Allah. Dan ternyata berjual beli dengan Allah SWT tidak pernah ada ruginya.
Keyakinan itu terus aku tanam, tak lupa pula istriku menguatkan. Sedikit demi sedikit jadwal SENDAWA mulai berjalan. Hampir setiap bulan, ada saja panggilan mengisi acara #SENDAWA, entah itu di sekolah, kampus, komunitas remaja mesjid, komunitas hobi, mal dan perkantoran. Terkadang, selepas acara SENDAWA ada saja yang memanggil untuk mengisi di tempat lain. Contoh, saat mengisi di sekolah, ternyata ada guru yang melihat dan guru ini aktivis partai tertentu, akhirnya aku diminta mengisi di acara partai.http://www.pkspasarminggu.org/2013/08/gallery-halal-bi-halal-dpc-pks-pasar.html Nah, peserta yang hadir di acara partai tersebut, ada saja simpatisan yang memiliki jabatan di kantor atau menjadi pengusaha, membutuhkan seorang standup comedian, akhirnya aku pun bertukar kartu nama. Dan sepanjang bulan itu selepas aku tidak bekerja, aku hampir tidak pernah ingat bahwa ternyata kami tidak pernah kelaparan. Terus menerus rezeki menghampiri. Kekhawatiran akan tidak punya uang sirna. Bahkan aku sampai harus bingung mengatur jadwal. Hingga  schedule untuk bulan berikut dan dua bulan berikutnya sudah ada yang booking. Alhamdulillah, aku tidak hanya merambah di kegiatan off air tapi juga kini mendapat tawaran mengisi on air di radio, hingga bisa punya acara sendiri.
Dari sinilah aku tersadar, tak ada ruginya jika berjual beli pada Allah SWT. Aku menangis membaca QS Al HAdid :11 “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak” bergetarlah hatiku. Ingatanku seolah melambung pada dua-tiga bulan sebelum ini. Kegalauan, kegelisahan, kebingungan karena tidak memiliki pekerjaan tiba-tiba mendadak hilang ketika aku memutuskan kerja hanya untuk Allah SWT.  Aku pun teringat ucapan Azis, Edisman dan rekan-rekan lainnya di Sedekah Harian, “kami ga bisa kasih apa-apa loh…semuanya di sini kerja hanya untuk Allah,, jangan harap dapat apa-apa ya dari sedekah harian..” dan pesan itu terus terngiang, terus terngiang, hingga meresap ke dalam relung hati. Aku pinjamkan waktuku untuk Allah, aku pinjamkan tenagaku untuk Allah, aku pinjamkan keahlianku untuk Allah dan ternyata aku mendapat balasan yang berlipat, padahal waktuku, keahlianku, tenagaku juga sebenarnya milik Allah… aku termenung. Aku terdiam. Ternyata Allah SWT tengah menunjukkan sifat Maha Rahman dan Rahimnya. Dia yang memberikan segalanya untuk kita, tubuh kita, tenaga kita, keahlian kita, hakikatnya bukan punya kita, melainkan punya Dia. Seharusnya tanpa diminta pun kita wajib mengembalikannya, tapi Allah SWT hanya meminta kita meminjamkan sesuatu yang sebenarnya milik Dia. Anehnya, Allah SWT malah memberikan balasan atas pinjaman itu bahkan pahala berlipat atas sesuatu pinjaman yang  hakikatnya milikNya juga. Sampai sini bingung ‘kan kalian? Saya juga bingung pada logika ini. Secara hitungan ekonomis jelas ngawur, mengikuti hukum fisika kesetimbangan jelas ngaco, apalagi hukum aksi dan reaksi dari ilmu kimia.
Tanpa bermaksud riya (padahal sedekah cuma Rp 30.000 tidak pantas disebut riya), tadi sempat saya singgung bahwa selain ber SENDAWA (Sedekah & Canda Tawa), saya juga ikut program #SedekahSehariSeribu. Jadi sebulan saya sedekah ke @sedekahharian sebesar Rp 30.000, sebuah angka yang kecil. Dan anda tahu berapa penghasilan yang saya dapat selama berSENDAWA ke sana ke mari? Setelah saya hitung ternyata angkanya menembus dua setengah juta rupiah. Bahkan kadang angkanya bisa melebihi dari itu. Saya tercengang kembali..benarlah yang disampaikan Allah SWT dalam firmanNya, “perumpamaan (infak yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan butir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah Melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui “ (QS, Al Baqarah : 261). Jadi, keherananku soal munculnya rezeki dua juta setengah dari sedekah tigapuluh ribu terjawab sudah!
Perlahan aku mulai menemukan titik terang. Kehidupan ekonomi dan sosialku kembali membaik. Aku pun kembali bersemangat menata hidup. Apalagi kini aku mengerjakan sesuatu bidang pekerjaan yang merupakan kesenanganku. Aku siaran pagi di radio bahana 101,8 FM jam 6-10 pagi. Pada siang harinya di hari rabu aku siaran di radio kanal KPK membawakan program komedi. Setelah itu aku pulang. Sabtu-Minggu, ngemsi atau standup comedy baik komersial maupun social. Praktis “resminya” jadwal kerjaku setiap hari cuma siaran 4 jam, ya kerjaku cuma 4 jam untuk dunia. 20 jam nya lagi harus untuk Allah. Aku berSENDAWA, berSedekah Canda Tawa. Ini yang 20 jam sehari aku lakukan.

Betapa sempurnanya hidup. Dan hidupku jadi lebih sempurna, karena seorang Irma Kusumasari. Ia tidak saja sanggup menemaniku bertahun-tahun dalam penderitaan, namun ia jua yang menuntunku pada Sedekah Harian.