Selasa, 18 Agustus 2009

Guru Dilarang Menggurui


Guru adalah profesi yang mulia. Berdasarkan survey di acara Metro 10, profesi guru mendapat tempat kedua dibawah profesi seorang dokter. Masyarakat kita juga masih banyak menaruh hormat pada sosok guru. Mendengar kata “guru” tentu membuat hati kita begitu respect, namun jika mendengar kata “menggurui” mengapa perasaan menjadi tak enak?
Menggurui dalam bahasa Indonesia mengandung makna menasehati, mengajari, memberi tahu namun sering dikonotasikan negatif. Menggurui mendapat perubahan makna kata yang pada awalnya berkesan positif namun lambat laun nilai rasa/kesan dari kata itu menjadi makin terkesan negatif, jelek dan kasar. Dalam ilmu semantik proses tersebut dinamakan ameliorasi.
Sebagai seorang guru tentu saya sangat terusik dengan kata menggurui. Dari sudut pandang ilmu bahasa, kata menggurui berasal dari kata dasar guru dan mendapat imbuhan me-i sehingga menghasilkan satu istilah menggurui. Kata guru berarti orang yang mengajarkan suatu ilmu, memberi tahu, mendidik. Jika mengacu pada UU N0 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Maka menggurui adalah proses pemberian ilmu, pengajaran, pembimbingan, pengarahan, penilaian dari seorang subjek yaitu guru kepada objeknya yaitu murid.


Kata menggurui mendapat kesan negatif karena dipengaruhi oleh paradigma proses terjadinya kegiatan berguru tadi. Pada masa lalu orang mendapat ilmu atau pengajaran dari seseorang yang dianggap lebih banyak tahu, seperti seorang filsuf atau budayawan, merekalah yang disebut guru. Mereka berkeliling dari satu tempat ke tempat lain untuk memberikan penerangan, orang-orang yang mendengarnya merasa tercerahkan dan memberi imbalan ala kadarnya. Ini yang disebut Eric Ashby sebagai revolusi pendidikan gelombang pertama. Pada perkembangannya para filsuf tadi tidak lagi nomaden tapi menetap di suatu tempat dan orang-orang yang ingin menerima pengajaran menetap di tempat guru tersebut. Inilah cikal bakal sekolah di masa-masa awalnya.
Celakanya, proses pembelajaran yang terjadi di lembaga-lembaga pendidikan tadi masih dipengaruhi oleh cara para filsuf menjelaskan pengetahuannya. Proses transfer ilmu pengetahuan tadi didominasi oleh tradisi lisan para filsuf. Maka siswa diibaratkan sebagai gelas kosong yang dituangkan air dari sebuah teko. Padahal seharusnya pikiran anak selayaknya api yang mesti dinyalakan bukan sebuah wadah yang mesti diisi. Guru akhirnya menjadi satu-satunya pemegang otoritas kebenaran yang membuat istilah menggurui terterima sebagai sebuah istilah yang wajar.

Dimuat di Jurnal Bogor, 14 Agustus 2009