Kamis, 15 Desember 2011

Kisah Humaira dan Susu Kambingnya

Saya Suharta Ristian Dwiputra (30) telah menikah dengan Irma Kusumasari (30) kira-kira 6 tahun yang lalu. Alhamdulillah istri saya termasuk yang cukup subur karena setelah tiga bulan menikah sudah ada tanda-tanda jabang bayi di kandungannya. Sembilan bulan kemudian lahirlah putri pertama kami, Nayrta Qaula Azkaira. Nama Nayrta berarti aNAknYa iRma dan SuharTA, kebetulan saat itu sedang booming nama anak adalah nama kombinasi ayah dan ibunya. Alhamdulillah setahun kemudian istri saya hamil lagi, kali ini bukan karena istri saya yang terlalu subur tapi mungkin karena saya yang terlalu nafsu. Sembilan kemudian lahirlah kembali bayi perempuan cantik Kami agak kebingungan memberi nama si jabang bayi. Bukan apa-apa, agar tidak ada diskriminasi kami pun sepakat akan mencantumkan kombinasi nama kami berdua pada si jabang bayi ini. Setelah berdiskusi panjang lebar maka didapatlah nama Fidela Humaira. Fidela diambil dari bahasa Latin yang artinya perempauan jujur. Sementara Humaira kami cuplik dari nama Arab,yaitu panggilan sayang Aisyah –Istri Nabi Muhammad yang berarti pipi yang kemerah-merahan-. Kami harap dengan penggabungan Latin dan Arab ini dapat memadamkan konflik berkepanjangan antara Arab dan Latin yang selama ini berseteru. “Nah lantas bagaimana mengenai kombinasi nama kalian berdua?” salah seorang rekan saya iseng bertanya, saya yakin juga termasuk anda. Saya biasanya langsung menjawab, “Itu tuh kan nama Humaira ada kombinasi nama kita berdua?” “Maksudnya?” Iya nama Humaira itu singkatannya Hasil Usaha irMA dan suhaRtA
Suharta bersama Humaira (si pipi yang kemerah-merahan)
Khusus Humaira, kami punya cerita yang tak kalah serunya. Mungkin gara-gara nama adalah doa, nama Humaira yang berarti juga pipi yang kemerah-merahan menyebabkan anak kami yang kedua mengidap alergi sehingga pipinya merah-merah selalu. Berdasarkan diagnosa dokter, Fidela Humaira terduga alergi intoleran laktosa (maaf kalau menggunakan istilah kedokteran agar lebih terlihat intelek). Bahasa sehari-harinya ialah alergi susu sapi dan produk-produk turunan sapi. Setiap muncul alerginya kepalanya langsung gatal-gatal. Bahkan terkadang sampai menimbulkan koreng, akibatnya ia rutin digunduli setiap bulan. Parasnya yang cantik bak putri akhirnya harus tersamar karena mahkotanya tergadai. Ia seolah putri yang ditukar (maaf itu judul sinetron). Ia lebih mirip laki-laki karena tak ada perempuan yang gundul kecuali (alm) Sukma Ayu. Kami pun bersedih hati, apalagi harga susu kedelai jauh lebih mahal daripada susu sapi formula. Setelah itu saya dikenalkan oleh rekan saya akan manfaat Susu Kambing. Saya pun mengikuti seminar Mukjizat Susu kambing yang diadakan oleh Farmasi Islam HPA International. berikut petikan hasil seminar yang disampaikan oleh Dr. Zaidul Akbar, MM dan H.Ismail Bin H Ahmad, Owner HPA international.
Susu Kambing Radix Goat Milk
Diantara beberapa jenis susu, susu kambing merupakan salah satu jenis susu yang paling banyak manfaatnya bagi kesehatan manusia. Kelebihan susu kambing dibandingkan dengan susu dari ternak lainnya adalah : (1) Mempunyai sifat antiseptik alami dan bisa membantu menekan pembiakan bakteri dalam tubuh. Hal ini di sebabkan adanya Flourin yang kadarnya 10-100 kali lebih besar dari pada susu sapi. (2) Bersifat basa (Alkaline Food) sehingga aman bagi tubuh dan cocok untuk mereka yang mengalami gangguan perut dan pencernaan . Dalam kondisi lambung bersuasana asam, susu kambing bisa menetralkannya. (3) Proteinnya lembut dan efek laktasenya ringan, sehingga tidak menyebabkan diare. (4) Lemaknya mudah dicerna karena mempunyai tekstur yang lembut dan halus lebih kecil dibandingkan dengan butiran lemak susu sapi atau susu lainya. Dan juga bersifat homogen alami. Hal ini mempermudah untuk di cerna dan diserap oleh tubuh sehingga menekan timbulnya reaksi-reaksi alergi dan dapat diminum oleh bayi diatas enam bulan, manula, dan baik bagi penderita radang usus. (5) Dengan adanya kandungan Sodium (Na), Fluorin (F), Kalsium (C), dan Fosfor (P) sebagai elemen kimia yang dominan serta kandungan nutrisi lainnya, maka susu kambing berkhasiat : (a) Menyembuhkan reaksi-reaksi alergi pada kulit, saluran nafas dan pencernaan, (b) Menyembuhkan bermacam-macam penyakit paru-paru, seperti Asma, TBC, serta infeksi akut lainnya pada paru-paru. (c) Menyembuhkan beberapa kelainan ginjal,seperti Nepbrotic Syndrom infeksi-infeksi ginjal serta asam urat tinggi. (d) Menambah vitalitas dan daya tahan tubuh (6) Berdasarkan beberapa penelitian di Amerika, susu kambing terbukti mempunyai efek anti kanker. (7) Kandungan gizi dalam susu kambing dapat meningkatkan pertumbuhan bayi dan anak-anak serta membantu menjaga keseimbangan metabolisme, mendukung pertumbuhan tulang dan gigi, serta membantu pembentukan sel-sel darah dan jaringan tubuh. Disamping itu, kandungan berbagai mineral dalam susu kambing memperlambat osteoporosis. PERBANDINGAN KOMPOSISI Susu Kambing - Sapi - ASI Air 83 –87,5 87,2 88,3 Hidrat Arang 4,6 4,7 6,9 Energi KCL 67 66 69,1 Protein 3,3 –4,9 3,3 1 Lemak 4,0 –7,3 3,7 4,4 Ca (mg) 129 117 33 P (mg) 106 151 14 Fe (mg) 0,05 0,05 0,05 Vit. A (mg) 185 138 240 Thiamin (mg) 0,04 0,03 0,01 Rhiboflamin 0,14 0,17 0,04 Niacin (mg) 0,3 0,08 0,2 Vit. B-12 0,07 0,36 0,84 Alhamdulillah kini Fidela Humaira tampil cantik dan sehat serta nafsu makannya bertambah. tentu itu semua berkat ia rajin mengkonsumsi RAdix Goat Milk. selain bergizi juga halal dan Thoyyib karena diproduksi di perusahaan Farmasi islam yang jelas-jelas memperjuangkan terciptanya produk muslim yang halal dan thoyyib...
Azka dan Aira sehat karena rajin mengkonsumsi Radix Goat Milk
Dapatkan produk susu kambing Radix di nomor 021-94479931/085719698379 1 box isi 10 sachet@25gram HANYA Rp 80.000,00..Sehat adalah anugerah maka bersyukurlah dengan memberi tubuh kita dari makanan dan minuman yang halal dan thoyyib.

Senin, 28 November 2011

Menjadi Guru Inspiratif : Refleksi Hari Guru, 25 November 2011

Guru adalah profesi yang mulia. Berdasarkan survey di acara Metro 10, profesi guru mendapat tempat kedua di bawah profesi seorang dokter. Masyarakat kita juga masih banyak menaruh hormat pada sosok guru. Mendengar kata “guru” tentu membuat hati kita begitu respect, namun jika mendengar kata “menggurui” mengapa perasaan menjadi tak enak?

Menggurui dalam bahasa Indonesia mengandung makna menasehati, mengajari, memberi tahu namun sering dikonotasikan negatif. Menggurui mendapat perubahan makna peyoratif, yaitu kata yang pada awalnya berkesan positif namun lambat laun nilai rasa/kesan dari kata itu menjadi makin terkesan negatif, jelek dan kasar.

Mengapa kita begitu risih mendengar kata menggurui? Jika mengacu pada UU N0 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Maka menggurui adalah proses pemberian ilmu, pengajaran, pembimbingan, pengarahan, penilaian dari seorang subjek yaitu guru kepada objeknya yaitu murid. Kata menggurui mendapat kesan negatif karena dipengaruhi oleh paradigma proses terjadinya kegiatan berguru tadi.

Pada masa lalu orang mendapat ilmu atau pengajaran dari seseorang yang dianggap lebih banyak tahu, seperti seorang filsuf atau budayawan, merekalah yang disebut guru. Mereka berkeliling dari satu tempat ke tempat lain untuk memberikan penerangan, orang-orang yang mendengarnya merasa tercerahkan dan memberi imbalan ala kadarnya. Ini yang disebut Eric Ashby sebagai revolusi pendidikan gelombang pertama. Pada perkembangannya para filsuf tadi tidak lagi nomaden tapi menetap di suatu tempat dan orang-orang yang ingin menerima pengajaran menetap di tempat guru tersebut.

Itulah cikal bakal sekolah di masa-masa awalnya. Celakanya, proses pembelajaran yang terjadi di lembaga-lembaga pendidikan tadi masih dipengaruhi oleh cara para filsuf menjelaskan pengetahuannya. Proses transfer ilmu pengetahuan tadi didominasi oleh tradisi lisan para filsuf. Maka siswa diibaratkan sebagai gelas kosong yang dituangkan air dari sebuah teko. Padahal seharusnya pikiran anak selayaknya api yang mesti dinyalakan bukan sebuah wadah yang mesti diisi. Guru akhirnya menjadi satu-satunya pemegang otoritas kebenaran yang membuat istilah menggurui terterima sebagai sebuah istilah yang wajar.

Menarik juga untuk menyimak pengertian guru pada periode sejarah di masa lalu, khususnya di Indonesia. Sosok guru yang merupakan pejabat strukrtural di pemerintahan menjadikan guru disejajarkan dengan aparatur pemerintahan. Boleh anda simak pengertian guru di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Bukan sebuah kebetulan jika istilah pamong juga melekat pada sosok guru dan aparatur pemerintah. Menurut KBBI istilah pamong berarti pengasuh, pendidik (guru), atau pengurus.
Nah, celakanya karena merasa bagian dari aparatur pemerintah (baca:pamong praja) sikap guru cenderung mengikuti gaya penguasa atau siapa yang memerintah.

Alhasil kultur feodal menjangkiti mental sebagaian guru kita kala itu. Pamong praja kita –guru dan aparatur pemerintah- muncul menjadi penguasa-penguasa di ranah kehidupannya masing-masing. Aparat sangat berkuasa di berbagai bidang kehidupan, guru amat sangat berkuasa di kehidupan sekolah. Sayangnya, rakyat pun telah lebih dahulu memaknai pamong praja sebagai penguasa. Mereka keseleo lidah dan salah membedakan arti pamong praja dan pangreh praja.

Hal itu tak terlepas pula akibat kultur masyarakat agraris bangsa ini yang mengagung-agungkan para penyelenggara pemerintahan (ambtenaar) pada masa kolonial. Ketika itu para penyelenggara pemerintah dikenal juga dengan istilah pangréh praja yang berarti penguasa lokal untuk menangani daerah jajahan kolonial. Padahal jelas sekali beda antara pamong praja dan pangreh praja.

Namun sangat disayangkan bahwa banyak di antara guru kita masih bermental penguasa atau setidaknya terlalu akrab bersama penguasa. Pada level pengurus PGRI misalnya, kebayakan didominasi oleh pejabat struktural di lingkungan dinas pendidikan kabupatan/kota. Sudah menjadi rahasia umum bahwa organisasi profesi guru hanya dijadikan tunggangan politik oleh orang-orang tertentu. Guru tak bisa kreatif di organisasi karena selalu menghamba pada juklak dan juknis yang notabene adalah perintah atasannya di tingkat struktural. Kita tak bisa membedakan gerak langkah organisasi macam PGRI sebagai kekuatan penyeimbang pemerintah (bargaining power) karena banyak dari pengurusnya adalah bagian dari struktur pemerintahan itu sendiri.

Epilog
Mustahil mendapatkan guru-guru terbaik apalagi inspiratif jika mentalnya masih bermental penguasa. Padahal kita sudah sangat mahfum dengan pameo yang mengatakan `The mediocre teacher tells, the good teacher explains.
The superior teacher demonstrates, the great teacher inspires
'. Terjemahan bebasnya kira-kira begini; guru yang biasa-biasa saja (cenderung) mengajarkan, guru yang baik memberikan penjelasan, guru yang di atas rata-rata (cenderung) memperagakan dan guru yang hebat adalah yang menginspirasi.

Guru yang masih bermental penguasa selalu menempatkan dirinya lebih baik di atas murid-muridnya, ia akan berlaku superior sehingga wataknya tak jauh dari instruksi alias perintah. Maklum akrena masih bertabiat penguasa/pemerintah jadi kerjanya suka memerintah. Kegiatan yang dialkukannya di kelas sebatas mengajarkan, memberi tahu, atau memperagakan. Semuanya itu berpusat pada sang guru tersebut semetara siswa cuma dijadikan objek.

Guru dikatakan sebagai sumber inspirasi tatkala pikiran, ucapan, dan
tindak tanduknya menjadi anutan bagi anak didik dalam memaknai
peristiwa-peristiwa yang ada di sekitarnya dan mamapu menggerakkan siswa untuk melakukan perubahan positif dalam kehidupannya di masyarakat

Mari kita tengok cerita seorang guru yang mampu menginspirasi siswanya. Cerita ini saya cuplik dari tulisan Titik Firawati yang bertajuk “Mencegah Kekerasan Guru” yang mengisahkan kisah inspiratif Prof Emil Salim yang sangat peduli terhadap pelestarian lingkungan karena terinspirasi dari guru-gurunya terdahulu.

Kepeduliannya itulah yang membuat beliau dipercaya menjabat sebagai menteri lingkungan hidup selama tiga periode berturut-turut (1978-1993).
Suatu ketika salah satu guru Emil Salim, seseorang berkebangsaan Belanda yang sangat peduli terhadap alam, mengajak murid-muridnya, termasuk Emil kecil, pergi ke hutan.

Sesaat hendak menyeberangi sungai, mereka dikejutkan
sekawanan lintah yang akhirnya mengacaukan perjalanan mereka. Dengan ketelatenannya, guru tersebut mengajak murid-muridnya berhenti sejenak untuk memahami apa makna dari pertanda alam itu. Diletakkannya seekor lintah di atas daun, kemudian, ia meminta murid-muridnya memperhatikan perilaku pacet tersebut. Alhasil, kepala pacet itu selalu bergerak-gerak menghadap ke arah datangnya sinar matahari.

Lantas, ia menjelaskan sembari berpesan agar murid-murid tidak perlu
khawatir setiap kali tersesat di hutan karena pacet bisa dijadikan
sebagai kompas alami.

Kecintaannya terhadap alam dan ketelatenannya mendidik murid-murid
membuat Emil kecil menaruh rasa hormat pada gurunya. Bahkan, Emil kecil
dan teman-temannya semakin menyayangi guru tersebut yang telah berhasil
membukakan alam pikiran dan mata hati mereka dalam memaknai peristiwa
peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Dedikasi guru itulah yang juga mengantarkan Emil kecil menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh dalam bidang lingkungan hidup di Indonesia.

Jumat, 25 November 2011

Membantu Siswa Memaknai Kesetiakawanan Sosial

Siswa-siswi SDI Binakheir Depok saat Charity Day
Banyak di antara kita mungkin sering mendengar istilah HKSN yang meupakan kependekan dari Hari Kesetiakawanan Sosial. Sejarah telah mencatat bahwa cikal bakal munculnya istilah HKSN ini bemula dari rentetan peristiwa di sekitar perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.

Diawali dari pembentukan Kementerian Sosial sebagai salah satu lembaga yang dibentuk pasca proklamasi 17 Agustus 1945 yang bertugas mengurusi masalah-masalah yang berhubungan dengan kesejahteraan rakyat. Founding father kita juga telah menaruh perhatian terhadap masalah sosial di antaranya soal fakir miskin dan anak terlantar yang harus dipelihara oleh negara seperti yang tertuang pada pasal 34 UUD 1945 hasil rumusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) kala itu.

Setelah republik berdiri dan masih tertatih akibat agresi militer kedua pada 19 Desember 1948, pemerintahan darurat berlangsung di Yogyakarta. Sehari setelah agresi itu tepatnya tanggal 20 Desember 1948 ribuan rakyat berbondong-bondong mengerahkan segala daya upaya untuk mempertahankan berdirinya republik. Petani di desa memberikan dukungan logistik, menampung pengungsi dari kota, menyediakan rumahnya sebagai markas komando gerilya bahkan ikut serta berperang.
Kaum Ibu dan gadis belia menyelenggarakan dapur umum lapangan bagi para pejuang maupun pengungsi, mendirikan pos-pos kesehatan, menjadi perawat bahkan ikut sebagai anggota kelaskaran.

Mereka yang tidak ikut berperang membantu menyediakan logistik dan permakanan, apa saja yang mereka miliki dipersembahkan secara tulus ikhlas, seperti menyediakan kendi dan nasi bungkus, jagung dan umbi-umbian yang mereka miliki, para pelajar ikut bertempur, mulai sebagai kurir, petunjuk jalan bahkan menjadi mata-mata bagi pejuang, prinsipnya berjuang terus mempertahankan republik tercinta.

Berangkat dari peristiwa itulah tanggal 20 Desember diperingati sebagai Hari Sosial, lalu berubah menjadi Hari Kebaktian Sosial Nasional dan belakangan ketika Menterinya dijabat oleh Nani Soedarsono, S.H. berubah menjadi Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN).

Kesetiakawanan Masa Kini

Jaman telah berubah, Indonesia kini tak lagi berada dalam keadaaan darurat perang. Bercermin dari peristiwa sejarah, setidaknya ada beberapa nilai-nilai yang masih relevan dalam konteks kekinian yaitu semangat persatuan, kesatuan, kegotongroyongan dan kekeluargaan rakyat Indonesia

Saat ini bangsa Indonesia mengalami masalah sosial yang tak penah habis yakni berkaitan dengan kesejahteraan terutama kemiskinan. Jumlah penduduk miskin yang kian meningkat, tumbuh suburnya kriminalitas karena tiadanya lahan pekerjaan dan perilaku sebagian masyarakat yang memamerkan kemewahan dengan telanjang di hadapan rakyat yang masih miskin dan kelaparan.

Lihatlah perilaku sebagian anggota DPR yang tidak lagi mencerminkan sebagai wakil rakyat. Mustahil bila rakyatnya miskin -tak bisa makan beras pulen hanya bisa makan nasi aking- sementara wakilnya mengendarai mobil mewar sekelas Bentley dan Hammer yang harganya mendekati angka milyaran rupiah. Logikanya rakyat harus lebih sejahtera dibanding wakilnya sebab direktur lebih tinggi gajinya daripada wakil direktur, presiden lebih sejahtera dibanding wakil presiden jadi jamak bila rakyat harus lebih sejahtera hidupnya daripada wakil rakyatnya sendiri.

Mr.Tata sedang bercerita di depan murid-murid
Sebagai seorang pendidik, mengajarkan nilai kesetiakawanan pada saat ini memang penuh dengan tantangan. Sebab apa yang tertera di buku seringkali tidak nyambung dengan realitas sehari-hari. Sehingga mengajarkan kesetiakwanan sosial tak melulu mengkhotbahkan sejarah asal muasal lahirnya hari kesetiakawanan sosial atau sekedar menugaskan siswa membuat kliping.

Seperti yang Sekolah Bina Kheir telah lakukan pada pekan ini yaitu mengadakan beragam kegiatan untuk menanamkan rasa kesetiakawanan sosial. Kelas 6 berinisiatif mengadakan bazaar buku dan alat tulis yang mereka jual dengan harga amat murah kepada siswa-siswa di salah satu madrasah dekat sekolah mereka.
Mereka membentuk kepanitiaan, menyiapkan segala macam keperluan hingga melaksanakan acara pada hari-H-nya. Berikut penuturan Haekal, salah satu panitia “ Menurutku hidup itu harus selalu berbagi karena berbagi itu jalan pintas kita. Kalau kita kesusahan, sedikitpun berbagi kita akan dikasih sama Allah lebih banyak lagi..”. lain lagi cerita Ervani, “Arti kesetiakawanan bagiku adalah bisa membantu satu sama lain, bisa mendukung dari belakang, selalu bisa bantu apa yang saya bisa lakukan..”.

Siswa kelas 6 Berjualan buku murah
Melihat refleksi yang ditulis anak-anak, sebagai guru saya tentu bangga dan yakin bahwa mereka telah belajar tentang kesetiakawanan sosial. Tidak hanya mengerti tentang makna kesetiakawanan sosial namun juga mendefinisikannya menjadi hal-hal yang jauh lebih konkret dan dekat dengan kehidupan mereka. Asumsi ini dikuatkan dengan pernyataan Putri Ketty, salah satu siswa, yang menuliskan, “…Hari ini aku seneng banget karena aku tadi pergi ke MI. Aku melakukan bakti sosial atau bazaar murah. Yang kita lakukan dalah bagian dari memperingati hari kesetiakawanan sosial. Kita membantu kawan-kawan dalam bentuk sosial dengan mengadakan bakti sosial kita jadi lebih bisa meringankan beban kawan-kawan kita. Aku jadi lebih mengerti tentang kesetiakawanan. Jadi kita bisa bantu saudara-saudara kita dengan bakti sosial…”
Putri dan Firdha berbahagia bisa berbagi

Lain lagi yang dilakukan oleh siswa kelas 4, mereka berkunjung ke rumah singah di permukiman kumuh dengan banyak membawa hadiah dan bingkisan. Awalnya mereka sempat bertanya-tanya, apa itu rumah singgah dan membayangkan sebuah tempat yang nyaman untuk disinggahi. Rupanya bayangan mereka jauh dari kenyataan, rumah singahnya ternyata sebuah bangunan semi permanen yang dinding batanya sebatas dada orang dewasa sementara sisanya hingga ke atas adalah triplek dan papan-papan kayu. Belum lagi bangunan itu hanya beratap seng tanpa langit-langit sehingga terasa sekali mereka seolah sedang mandi sauna sebab hanya satu buah kipas angin yang menggantung dan berputar perlahan di atas sana.


Siswa kelas 4 tanpa canggung dan malu berbaur dengan anak-anak dari pemukiman kumuh. Mereka melakukan aktivitas bermain bersama, berkenalan, mewarnai dan salah satu siswa membacakan cerita buat seluruh penghuni rumah singgah. Tawa ceria bergema di sana, tak ada lagi jarak yang memisahkan mereka. Simak perasaan yang dikemukakan oleh Nabila, “Perasaanku senang dan juga sedih. Senang bisa bertemu dengan mereka tapi melihat keadaan di rumah singgah itu aku merasa sedih dan kasihan. Aku ingin sekali bertemu dengan mereka lagi dan membangun kembali itu biar kakak-kakak dan adik-adik bisa belajar lebih tenang”
Sungguh terharu rasanya melihat penuturan siswa-siswa yang mereka tuangkan dalam bentuk tulisan refleksi. Tanpa dijejali teori-teori sosial yang njelimet secara tidak sadar mereka telah mendapatkan pengetahuan tentang kesetiakawanan sosial.
Pengertian Kesetiakawanan Sosial seperti yang tertulis pada Undang-undang nomor 11 tahun 2009 adalah nilai, sikap dan perilaku masyarakat yang dilandasi pengertian, kesadaran, tanggungjawab, kesetaraan, partispasi sosial untuk mengatasi dan menanggulangi berbagai masalah sosail sesuai dengan kemampuan masing-masing dengan semangat kebersamaan, kekeluargaan dan kerelaan berkorban tanpa pamrih. Tentu bagi siswa hal ini sangat abstrak dan jauh dari jangkauan pikiran mereka. Oleh karena itulah tugas guru mendekatkan pengertian tersebut menjadi sebuah kegiatan yang konkret. Kegiatan inilah yang pada akhirnya memberikan pengalaman belajar seperti yang siswa-siswa tadi telah alami.

Jumat, 03 Juni 2011

Mari Bekerja!

“Ayah kapan punya penghasilan lagi?” rengek istriku di ambang sore. Aku menatap sorot matanya yang beku sambil kuseruput secangkir teh yang rasanya ternyata agak pahit. Bukan ini kali saja ia mengungkapkan hal itu, bukan pula maksudnya meminta tambahan uang belanja, dalam hatinya sebenarnya ia hanya ingin menanyakan dan memastikan kapan aku bekerja lagi.

Empat bulan sudah aku tidak menyandang status sebagai pekerja. Konsekuensinya aku tak punya penghasilan tetap yang mesti kusetor di akhir bulan. Setidaknya itu dalam pandangan istriku. Aku sendiri tidak menganggap diriku pengangguran. Selepas berhenti jadi pekerja tetap, seorang kawan lama memberi kabar dari ujung telepon “Ta, bisa ngajar di tempat bimbel gue nggak? Satu sessi satu setengah jam honornya Rp 50.000,00” Tak banyak komentar aku hanya menjawab Alhamdulillah dalam hati, “iya..gue bisa Za!”

Hari-hari pertama tanpa status sebagai seorang “pekerja” memang agak janggal bagiku. Tak ada kesibukan di pagi hari, tak ada bunyi mesin motor yang biasa kupanaskan. Aku malah sibuk bermain bersama kedua putriku yang masih kecil, “Ayah hari ini libur ya! Asyik de, kita bisa main bareng ayah..”. Aku hanya terdiam mendengar celetukan Kaka, putri sulungku. Celetukannya bagai kerikil yang mengganjal kerongkongan sehingga membuatku terdiam membisu. Lama kelamaan Kaka dan Dede tak lagi menanyakan “hari ini ayah libur ya?” karena saking terbiasanya kami menghabiskan waktu bersama.

Sebagai pengajar lepas di lembaga bimbingan belajar, honorku tergantung banyaknya jam mengajar. Beruntung kala itu aku banyak mendapat jatah karena siswa-siswi sedang sibuk menjelang ujian nasional. Namun selepas ujian nasional, kelas bimbel pun jadi sepi. Itu artinya tak ada lembaran rupiah yang mampir di sakuku. Ini jelas berbeda ketika aku masih punya pekerjaan tetap. Lembaran rupiah yang baru saja kuterima mengingatkanku pada kenangan empat-lima bulan sebelumnya.

“Andai ku tak membuat kesalahan fatal kala itu, tentu nasibku tak seperti ini” gumamku dalam hati. Memang seringkali dianggap klise jika desakan ekonomi membuat orang tak berpikir jernih. Itu pula yang kualami di tempat kerjaku yang dahulu. Penyesalan hadir menyeruak namun aku tak ingin terlalu lama larut dalam kesedihan. Aku menanggapi hal ini secara positif. Belajar memang selalu tidak diambil dari contoh yang benar, belajar dari contoh yang salah bahkan jauh lebih berkesan dan meninggalkan pengalaman yang tak terlupakan. “Orang yang berprestasi tinggi di bidangnya telah mendapatkan keuntungan dari kesalahannya dan mencoba lagi dengan cara yang berbeda, “ ungkap Dale Carniege seorang moivator dan pencetus gerakan sukses. Kata-kata itu jadi makin berarti bagiku kini.

Selain menjadi pengajar freelance, aku punya aktivitas lain. Kebetulan ada seorang kawan lama yang memintaku menyebarkan proposal ke sekolah-sekolah. Ia memintaku menawarkan program pelatihan guru dan beberapa produk yang mungkin dibutuhkan sekolah.

Pagi itu aku berangkat ke luar rumah walau masih gelap mesti ke mana. “Pokoknya ke luar rumah! Bergerak… berbuat sesuatu” Hati kecilku menguatkan. “Ayah mau kemana?” Tanya istriku. “Mau membuktikan ke dunia ‘Bun kalau aku hidup karena bergerak adalah salah satu tanda kehidupan!” lantang suaraku berharap meredakan kegelisahannya.

“Tapi hari ini bawa uang? Beras kita sudah habis loh” Tanyanya lagi. Rupanya kata-kataku belum mampu meredam kegelisahannya.

“Duh Gusti, aku mesti bilang apa?????” aku membisu, bibirku seolah enggan bergerak. Aku seolah kena skak mat.

“Kok diam? Berarti perginya belum bawa bekal tawakal…Inget ‘ga tausyiah kemarin kalau kalian bertawakal kepada Alloh dengan sebenar-benarnya, niscaya Alloh akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana burung diberi rezeki, dia berangkat pagi-pagi dengan perut kosong dan kembali sore hari dengan perut terisi, hadist riwayat Tirmidzi” papar istriku diiringi senyuman.

“Tawakal memang perlu tapi ini juga jangan lupa dibawa…” lanjutnya seraya menyodorkan helm.

“Terima kasih, Bun…dorongannya membuat langkah ini jadi ringan, terasa naik motor yang baru di tune up!” Aku menyodorkan tangan yang lantas disambutnya dengan ucapan, “hati-hati Yah!!”

“Assalamu’alaikum”

“Wa ‘alaikum salam”

Sepanjang perjalanan aku terus melantunkan lagu memompa semangat. Aku mampir sebentar di sebuah masjid. Meredakan ketegangan, kuputuskan untuk sholat dhuha. Selepas dua rokaat kulanjutkan dengan tilawah Al Waqiah dan Yassin, sesuai petuah ayah mertua yang katanya manjur membantu kita keluar dari beragam masalah.

Aku pun mengecek nama-nama di phone book telepon selularku. Beberapa nama akhirnya kutemukan dan segera kukirim pesan singkat untuk bertemu. Alhamdulillah ada beberapa yang langsung memberi respon dan menyediakan waktu bertemu. Minimal proposal ini tersebar, urusan deal atau tidak biar Alloh yang menentukan. Waktu dhuha ini ternyata tak hanya memberiku rehat namun membuka pikiranku yang semula gelap. Aku bisa menelepon beberapa teman, mencari peluang prospek, atau sekedar menjalin kembali silaturahmi. Lucunya beberapa yang kuhubungi selalu membuka pembicaraan dengan bertanya, “sekarang kerja di mana? Lo lagi di mana nih, di kantor….?”. Aku biasanya tersenyum dan menjawab dengan formalitas, “oh gue sekarang wiraswasta, iya nih lagi di tempat kerja”. Padahal sebenarnya mereka tidak tahu, masjid, halte bis, atau warung pinggir jalan kini bisa menjadi tempat kerjaku. Dari sini aku bisa mengendalikan diriku, dari tempat-tempat itu kadang aku merencanakan langkah-langkah selanjutnya. Kini aku merasa tak jauh berbeda dengan pekerja-pekerja lainnya, meski dileherku tak tergantung sebuah ID Card atau identitas lain layaknya pekerja.

Percaya atau tidak aku mulai menikmati kegiatan ini. Aku bahagia bukan kepalang. Seperti petuah seorang bijak, “Bukan kesuksesan yang membuat orang bahagia, kebahagiaanlah yang membuat orang menjadi sukses”. Itu yang kurasakan kini. Perlahan aku mulai melupakan kegelisahan menyandang status sebagai seorang jobless meski kata sukses kini jadi perdebatan dalam batinku.
Memang ada perasaan iri menyaksikan kisah-kisah sukses teman-teman yang setidaknya terlihat ketika ku iseng membuka facebook. Melalui foto profil atau lewat update status mereka aku menengarai bahwa mereka telah sukses, setidaknya dalam urusan pekerjaan.

Lagi-lagi aku dihadapkan pada kegelisahan, “Aku ini sekarang apa? Sudah jadi apa aku? Wah hebat ya si fulan? Dan sederet pertanyaan lain yang makin menenggelamkanku dalam penyesalan. Ya, penyesalan tentang caraku dalam bekerja. Betapa dahulu aku tak pernah menyadari bahwa sebenarnya tak ada jalan istimewa untuk mendapatkan kemenangan. Jalan yang harus ditempuh adalah rute lama, yang menuntut kerajinan dan ketekunan, begitu pesan Dr. Orison Sweet Marden Guru sukses pencetak guru-guru sukses semacam Dale Carniege, Anthony Robbins dan Stephen R Covey.

Aku beberapa kali pindah bekerja karena ketidaksabaran menapaki karir secara bertahap. Padahal bila lima tahun telah terlalu selepas aku lulus dari kampus, setidaknya aku kini menduduki jabatan setingkat supervisor di tempat kerjaku yang dahulu. Tapi apa lacur, dorongan menggebu untuk mendapatkan kemenangan tanpa diimbangi ketekunan dan kerajinan menyeretku ke pinggir jurang kegagalan.
Semestinya dahulu kurenungi dalam-dalam pesan penyair sentimentil Amerika Serikat, Hendry Wadworth Longfellow, “Ketinggian yang dicapai dan dipelihara oleh orang-orang besar tidaklah diperoleh dengan tiba-tiba. Ketika orang-orang lain terlelap, mereka bekerja keras di tengah malam”.

Bahkan kutipan Thomas Alfa Edison yang kerap kali kubaca, bahwa 90% keberhasilan ditentukan oleh kerja keras dan ketekunan, sementara 1% sisanya ditentukan oleh bakat dan kecerdasan nyatanya tak pernah meresap dalam sanubariku. Ia hanya jadi penghias kamarku sekedar pemanis ruangan.

Perjalananku hari ini terhenti ketika adzan dzhuhur memanggil. Hari mulai beranjak separuh penghabisan. Khusyuk kubermunajat jauh lebih dalam dari biasanya. Naluri manusia memang begitu adanya. Selalu benar-benar merasakan kehadiran Alloh dalam situasi sempit dan terjepit. Beruntung dalam suasana kebatinan yang tertekan ini aku masih merasakan butuhnya pertolongan Tuhan. Sementara di luar sana mungkin banyak yang mengambil jalan pintas, menyelesaikan hidup dengan cara konyol berharap bisa terlepas dari beban masalah. Tugasku kini menata kembali semangat, memperbaiki performa, dan fokus pada tujuan supaya kelak kehidupanku makin baik. Seperti petuah bijak seorang sufi terkemuka imam Al Qusayairi, “Siapa saja yang menduga bahwa apabila seseorang mencurahkan tenaganya untuk mencapai tujuan, berarti ia tertolong. Barangsiapa yang menduga tanpa jerih payah ia akan meraih tujuannya, berarti ia hanya berangan-angan”