Kamis, 29 Juli 2010

Balada Dua Pamong

Mendagri Gamawan Fauzi baru-baru ini memberikan surat edaran kepada para kepala daerah yang memberi restu untuk mempersenjatai Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Kebijakan itu tentu mengundang reaksi dari banyak pihak. Gamawan berkilah bahwa di beberapa daerah, upaya-upaya penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP kerap terhalang oleh kebrutalan para warga.

Pemkot Depok yang berpegang pada tagline "Melayani dan Menyejahterakan" tentu harus merespon usulan tersebut dengan bijaksana. Satpol PP Pemkot Depok selama ini dikenal memang cukup tegas dalam melakukan tugas-tugas trantib. Tak ada berita miring yang menghinggapi korps berseragam biru ini. Apakah karena Satpol PP Depok telah benar-benar melayani masyarakat atau masyarakat Depok sudah memiliki kesadaran dalam ketertiban?

Menarik untuk disimak pengertian pamong yang dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Bukan sebuah kebetulan jika istilah pamong juga melekat pada sosok guru dan aparatur pemerintah. Menurut KBBI istilah pamong berarti pengasuh, pendidik (guru), atau pengurus. Lantas apa korelasi keduanya dalam masalah ini?

Pamong pertama (guru) tentu dikenal dari sebuah sistem bernama sekolah. Kebanyakan dari para guru kita kita masih memandang dirinya adalah sosok yang sangat tinggi tingkatannya. Istilah guru memiliki arti yang amat berharga, mulia, tinggi dan hebat. Menurut kepercayaan Hindu, guru merupakan simbol bagi suatu tempat suci yang berisi ilmu (vidya) dan juga pembagi ilmu. Bahkan dalam kepercayaan Buddha guru dipandang sebagai jelmaan Siddharta atau disebut Bodhisattva karena ia memandu muridnya dalam jalan menuju kebenaran.

Sayangnya iklim di sekolah juga menumbuhkan budaya feodal itu. Sekolah seolah memiliki hak prerogatif yang dapat menentukan akan jadi apa kelak anak didiknya. Pembentukan pribadi anak disesuaikan dengan keinginan sekolah, bukan atas dasar kesadaran masing-masing individu peserta didik. Sekolah menempatkan siswa sebagai objek. Ibarat tanah liat yang siap diplintir, dibanting, diinjak-injak tanpa reserve untuk dibuat menjadi patung sesuai keinginan si pembuatnya. Siswa dianggap sebagai objek yang menjadi sub ordinat dari guru/kepala sekolah.

Akibatnya makin tinggi jabatan di sekolah makin besarlah kekuasaannya Pendidikan kewarganegaraan yang selama ini mereka dapat di sekolah pada akhirnya tidak membekas di hati sanubari siswa. Mereka mempelajari tentang menghargai sesama manusia namun sekolah mengajarkan penindasan lewat kegiatan orientasi siswa.
Saat siswa memasuki tahun ajaran baru mereka sudah disodori serangkaian aturan berikut sangsi alias hukuman. Tak heran penegakan aturan selalu diidentikkan dengan pemberian hukuman. Posisi siswa yang menjadi sub ordinat dari guru terkadang tak bisa memberikan perlawanan atau sekedar negosiasi. Hukuman pun cenderung tidak adil karena unsur subjektivitas tadi. Sebaliknya guru menjadi pihak yang sangat berkuasa . Oleh karena sifat kekuasaan berlebihan itu, kepatuhan didapati melalui ancaman dan cenderung mengesampingkan aspek persamaan hak.

Pun demikian yang terjadi dalam urusan pemerintahan (kepamongprajaan). Kultur feodal ternyata tak hanya berlangsung di sekolah namun sudah sebelumnya merambah jajaran birokrasi. Pemerintah menempatkan rakyat juga sebagai objek bahkan ironisnya sapi perah. Rakyat dipaksa membayar pajak untuk membiayai pekerjaan pemerintah namun rakyat tak dapat dampak dari kebijakan tersebut. Rakyat pula yang dipaksa menanggung beban pemerintah dengan dalih pengurangan subsidi.

Pamong praja sejatinya memberikan layanan dan asuhan dalam urusan pemerintahan. Sayang rakyat telah lebih dahulu memaknai pamong praja sebagai penguasa. Mereka keseleo lidah dan salah membedakan arti pamong praja dan pangreh praja. Hal itu tak terlepas pula akibat kultur masyarakat agraris bangsa ini yang mengagung-agungkan para penyelenggara pemerintahan (ambtenaar) pada masa kolonial. Ketika itu para penyelenggara pemerintah dikenal juga dengan istilah pangréh praja yang berarti penguasa lokal untuk menangani daerah jajahan kolonial. Akhirnya menjadi wajar jika naluri pamong praja hingga saat ini selalu mendepankan pendekatan kekuasaan dalam melakukan pekerjaannya sebab rakyat ketika itu memberikan pembenaran.

Mental penguasa masih menggelayuti aparatur pemerintahan kita. Sehingga banyak yang mengartikan pemerintah berarti suka memerintah. Biasanya yang memerintah memiliki posisi yang jauh lebih tinggi dari yang diperintahnya.

Oleh karena itu perbaikan harus dimulai dari memperbaiki kedua pamong tersebut. Di sekolah, didiklah siswa agar menjadi warga negara yang baik (to be). Bukan sekedar mengajari tentang bagaimana menjadi warga negara yang baik (to know). Selanjutnya pegawai kelurahan, kecamatan, kabupaten hingga kementerian yang berhubungan dengan pelayanan publik harus dibekali sikap sebagai abdi rakyat bukan abdi negara. Mereka bertugas bukan mengabdi pada negara namun mengabdi buat kepentingan rakyat. Rakyat jangan lagi diajari menyebut mereka pemerintah. Panggilah mereka dengan sebutan pelayan, pengurus, pamong yang sesungguhnya.

Dengan begitu rakyat belajar menjadi warga negara yang baik dan mendapatkan contoh yang sesuai seperti yang telah mereka pelajari dari bangku sekolah. Sehingga tak perlu lagi pelayan-pelayan mereka dibekali senjata. Mungkin lebih berbahaya senjata di tangan pelayan ketimbang di tangan tuannya sendiri.