Selasa, 03 September 2013

Sedekah Canda dan Tawa Kian Merambah Kemana-mana


Sedekah Canda Tawa (SENDAWA) adalah bentuk sosialisasi komunitas @sedekahharian dengan menggunakan medium standup comedy.  Setelah Ramadhan 1434 lalu sukses di gelar di beberapa sekolah SMU di sekitaran Jabodetabek, di antaranya SMU Suluh Jakarta Selatan, SMU al Mudattsiriyah Jakarta Pusat,  SMP/SMU Cendekia Bogor, SMU 2 Depok dan SMIT Al Marjan, Pondok Gede Bekasi, kini SENDAWA mulai merambah kemana-mana.
Kami Siap #SedekahSehariSeribu !!!

Tak sebatas hadir di sekolah, SENDAWA juga hadir di komunitas rumah baca DALUANG, Bedahan Depok. Selain menghibur dalam rangka launching Rumah Baca Daluang, Atrahus juga memperkenalkan program #sedekahsehari seribu kepada komunitas baca Daluang. Selain itu SENDAWA juga ikut meramaikan suasana Pesantren Remaja Mesjid Nurul Mu-min Depok, pada akhir Juli 2013 lalu.
Serius menyimak SENDAWA

Segala usia meriahkan SENDAWA

Suasana agak sedikit berbeda terjadi saat Atrahus menghibur warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Salemba, ketika buka puasa bersama Sedekah Harian dan lembaga kemanusiaan lainnya. Ada rasa tegang, grogi, dan khawatir karena menghibur mereka yang sekian lama mendekam di rumah tahanan tanpa pernah tersentuh oleh hiburan.
Mereka yang butuh hiburan dari lembaga pemasyarakatan

Setelah Idul Fitri, SENDAWA hadir mengisi Halal bi Halal yang diselenggarakan sebuah partai dakwah di salah satu tempat wisata di Ragunan, Pasar Minggu.   Acara tersebut dihadiri ratusan ibu-ibu dan bapak-bapak serta anak-anak, juga  itu dihadiri oleh Anggota DPR RI, Pak Igo Ilham, serta anggota DPRD DKI Jakarta , Ibu Rifkoh Abriani.

standup comedian bergaya ustad
ibu-ibu yang heboh menyimak SENDAWA



daftar program #SedekahSehari5ribu
SENDAWA terus bergulir dan menjangkau lapisan yang lebih luas lagi. Undangan mengisi SENDAWA juga datang dari ISTB (Indonesian School of Technology and Bussines). Di kala kegiatan OSPEK yang melelahkan, seluruh mahasiswa baru kampus ISTB berhasil dibuat tertawa. Bahkan dari kegiatan SENDAWA di sana, ada beberapa mahasiswa dan dosen yang mendaftar ikut program #SdekahSehariSeribu. 
petugas melayani donatur sedekah on the spot
OSPEK yang dihibur SENDAWA



Senin, 02 September 2013

Menanti Sosok JK Muda


Menarik untuk memulai membicarakan siapa pengganti Yudhoyono mulai saat ini. Setelah pada periode-periode sebelumnya, episode suksesi kepemimpinan kita selalu melahirkan juara karbitan.
Mengapa juara karbitan selayaknya acara reality show pencarian bakat? Ini faktanya,  pasca reformasi rakyat  seketika tersihir dan menentukan pilihan pada calon pemimimpinnya berdasarkan dahsyatnya pencitraan yang mereka ciptakan.
Kita ingat, bagaimana  Abdurahhman Wahid terpilih sebagai presiden karena dicitrakan sebagai  pemersatu, padahal partainya senediri bukan pemenang pemilu kala itu. Selepas Gus Dur dilengserkan, Megawati yang lantas menggantikannya beberapa tahun kemudian juga mendapat pencitraan sebagai pemenang pemilu yang dikelabui dan pada akhinya mengundang simpati. Pun demikian dengan Yudhoyono yang langsung menyabet perhatian dan menjungkirbalikkan logika publik lewat aktingnya yang memikat sebagai jenderal berkelakuan anak  kecil, begitu sesumbar (alm) Taufik Kiemas kala itu. Yudhoyono piawai memainkan drama dan seolah berada di pihak protagonist sebagai korban pendzaliman. Ia pun akhirnya menuai simpati pemirsa layar kaca kita yang sebagian besar ibu-ibu pencandu sinetron.
Apakah kita punya pemimpin yang lahir bukan dari hasil pencitraan? Jawabannya ada.   Dan satu nama yang mengemuka di kepala saya adalah Jusuf Kalla.  Secara pribadi saya bisa mengatakan bahwa dalam kurun waktu 13 tahun reformasi ini saya hanya  memiliki presiden yang kebetulan diwakili saat itu oleh Jusuf Kalla. 
Semenjak kemunculannya sebagai menteri di era Abdurrahman Wahid, beliau termasuk tokoh yang terkenal memiliki prinsip. Hingga itu yang membuatnya tersingkir sebagai menteri di kabinet Gus Dur karena tuduhan keterlibatan KKN yang hingga kini tidak terbukti.  Jusuf Kalla kembali diangkat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat di bawah pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan tidak mengalami suatu masalah apapun. Kemundurannya dari kabinet hanya semata  ingin  maju sebagai calon wakil presiden, mendampingi calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala itu.
Kepiawaian JK dalam urusan kepemimpinan ditengarai dari kiprahnya pada bisnis keluarga yang diwarisi dari ayahnya Hadji Kalla. Usaha Hadji Kalla tersebut meliputi beberapa kelompok perusahaan di berbagai bidang industri. Tahun 1968, Jusuf Kalla muda menjadi CEO dari NV Hadji Kalla. Di bawah kepemimpinannya, NV Hadji Kalla berkembang dari sekedar bisnis ekspor-impor, meluas ke bidang-bidang perhotelan, konstruksi, pejualan kendaraan, perkapalan, real estate, transportasi, peternakan udang, kelapa sawit, dan telekomunikasi.
Tak heran saat menjadi wapres di era Yudhoyono banyak keputusan-keputusan berkaitan dengan pembangunan inftrastruktur, kebijakan dan rencana pembangunan melibatkan sentuhan tangan dingin Kalla. Kita pasti ingat kebijakan Kalla menambah pasokan listrik Jawa Bali 100.000 MW dengan pembangunan beberapa PLTU, kemudian Kalla begitu gencar mempertahankan Blok Cepu, konversi minyak tanah yang begitu ditentang namun kini perlahan terasa manfaatnya, menolak pembelian pesawat dari Xian Aircraft yang penuh aroma kolusi dan sederet keputusan penting lainnya. Bahkan beberapa wartawan istana wapres pernah menyebutnya presiden sesungguhnya untuk sekadar menunjukkan bahwa beliau sangat tahu betul bagaimana caranya mengurus negara.
Pada beberapa kesempatan sosok kenegarawanan JK justru muncul dari sikapnya yang menunjukkan “orang kebanyakan” seperti menanggalkan safari dan lebih memilih mengenakan pakaian resmi wapres sebuah kemeja lengan pendek warna putih tanpa dimasukkan, memperlihatkan sepatunya yang buatan Cibaduyut, selalu berpidato tanpa teks dan diselingi guyonan khas ala JK, rajin bertemu dan menyapa rakyat di pasar, terminal, lingkungan sekitar Teuku Umar tempat ia biasa melakukan jogging, dan sebanyak mungkin menghindari protokoler demi semata menikmati diri sebagai orang biasa.
Sayang, pada tahun 2009 JK gagal menyandang gelar presiden –meski ia pun tak begitu silau dengan gelar itu-.  Kedekatannya pada basis massa Islam dan pilihannya bersanding dengan Wiranto ditengarai menjadi batu sandungan bagi langkahnya menuju RI-1.  Saat itu sentimen  agama begitu kental memengaruhi pilihan publik. Poster JK-Win yang bersanding dengan istri masing-masing yang berjilbab menjadi amunisi bagi lawan politik melakukan propaganda. Pun demikian dengan status Wiranto sebagai tokoh yang bertanggung jawab terhadap tragedi HAM di tanah air menjadi sasaran empuk lawan politk untuk melakukan black campaign. Padahal seandainya JK benar-benar menjadi presiden mungkin keadaan akan jauh lebih baik.
Kini menjelang suksesi kepemimpinan.2014, sosok JK secara fisik mungkin sudah tidak dapat diharapkan.  Lelaki kelahiran Watampone, 15 Mei 1942 ini telah menginjak usia yang tidak muda lagi. Meski kegesitannya masih nampak saat memimpin rombongan PMI mengunjungi Mentawai saat dilanda tsunami di tahun lalu. Padahal seharusnya sang presiden yang mengayomi rakyatnya-lah yang semestinya datang jauh-hauh hari.
Kepiawaiannya memimpin Dewan Mesjid Indonesia memberi banyak memberikan inpsirasi bagi kemajuan jutaan masjid di seluruh Indonesia. Begitupun saat menjadi Ketua Delegasi Indonesia dan berhasil menembus Junta Militer Myanmar untuk menyampaikan bantuan bagi pengungsi muslim Rohingya adalah bukti bahwa tipikal pemimpin yang mampu memberi solusi ada pada sosok JK.
Bangsa ini memerlukan sosok pemikir dan pengambil keputusan seperti JK namun dalam casing yang lebih muda. Bangsa ini perlu sosok yang segar, cerdas, santun, low profile, memiliki jaringan yang luas baik di dalam maupun di luar negeri. Semoga regenerasi kepemimpinan bangsa ini berjalan dengan track yang benar sehingga tak lagi muncul figur-figur karbitan gaya Indonesia Idol atau Artis You Tube yang terkenal sesaat lalu cepat dilupakan. 


Selamat Tinggal Demokrat!



Atrahus[1]
Membicarakan pemilu di Indonesia terasa menarik jika yang dibahas adalah suksesi kepemimpinan. Meski nyatanya, proses pemilu diawali dengan pemilihan anggota egislatif, jauh-jauh hari justru yang santer terdengar adalah hiruk pikuk memilih calon presiden dan wakil presiden. Artinya, pemilu di Indonesia dikesankan hanya mencari sosok pemimpin nasional di lembaga eksekutif. 
Maka tak heran, hingar bingar politik di Indonesia terus bergejolak di sekitaran figur siapa yang bakal menjadi presiden. Semua mahfum, bila pemimpin partai di Indonesia –entah itu ketua umum atau presiden partai-  selalu digadang-gadang menjadi presiden dan wakil presiden.  
Setidaknya sudah muncul beberapa nama yang mengemuka, seperti Joko Widodo, Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Wiranto, hingga Jusuf Kalla. Tragisnya tidak ada nama yang muncul dari Partai Demokrat, partai yang mengantarkan SBY menjadi presiden dua periode.
Demokrat sepertinya sedang kebakaran jenggot.. Kisruh partai yang diawali dari kasus Nazaruddin yang akhirnya menjungkalkan Anas, soliditas partai yang terpecah menjadi banyak faksi, hingga tak jelasnya arah dan tujuan partai dalam menyikapi kasus-kasus yang menderanya menjadikan Demokrat seperti masuk angin.
Suka atau tidak suka, harus diakui Demokrat dibangun atas dasar figur. Sebagai partai berbasis figure, Demokrat jelas akan kehilangan pamor selepas SBY pensiun. Beberapa pengamat malah lebih ekstrim menyebut bahwa Demokrat adalah sekumpulan fans SBY. Kelahiran Partai Demokrat kala itu memang tak lepas dari peran SBY dan keberhasilannya pun semata karena figuritasnya. Hingga kini Demokrat belum menampakkan jago yang siap dielus-elus. Penyebutan nama Ibu Any Yudhoyono sebagai capres juga sebatas kosmetik politik, pun demikian dengan keterlibatan Ibas putra bungsu SBY ataupun Pramono Edhi tak lebih dari simbol penerus trah Yudhoyono.  Nyatanya sebagai sekjen atau anggota DPR pun Ibas tak banyak menonjol, begitu juga Pramono Edhi belum nyata betul teruji. 
Demokrat terus memutar otak menaikkan elektabilitas, hingga ditemui satu solusi yaitu dengan menggelar konvensi. Sudah banyak yang menduga, konvensi ini hanya akal-akalan belaka. Bahkan yang lebih parah beberapa tokoh besar dari luar partaipun sudah menyatakan ogah mengikuti konvensi.
Rakyat sepertinya sudah mulai cerdas. Ide untuk konvensi tak lebih dari sekedar pencitraan semata. Memang selama 15 tahun suksesi kepemimpinan di negeri ini dibumbui drama layaknya opera sabun mandi atau ajang pencarian bakat yang menguras emosi dan mendatangkan simpati. Juara yang terpilih pun kualitasnya belum teruji, untuk tidak dikatakan juara karbitan asal jadi.
Tiga periode kepemimpinan yang lalu memang selayaknya acara reality show pencarian bakat, publik seketika tersihir menentukan pilihan pemenang hanya karena dahsyatnya pencitraan. Abdurahhman Wahid terpilih sebagai presiden karena dicitrakan sebagai  pemersatu, Megawati yang lantas menggantikannya beberapa tahun kemudian juga mendapat pencitraan sebagai pemenang pemilu yang dikelabui dan pada akhinya mengundang simpati, pun demikian dengan Yudhoyono yang langsung menyabet perhatian dan menjungkirbalikkan logika publik lewat aktingnya yang memikat sebagai “jenderal berkelakuan anak  kecil,”  sesumbar (alm) Taufiq Kiemas kala itu. 
Cukup sudah tiga periode suksesi kepemimpinan kita diselimuti oleh sandiwara dan tumpahan air mata buaya. Semoga kali ini rakyat tidak tersihir oleh parodi konvensi yang semata untuk mengaburkan imaji.




[1] Guru, Standup Comedian, Pekerja Sosial tinggal di Depok