Menarik
untuk memulai membicarakan siapa pengganti Yudhoyono mulai saat ini. Setelah
pada periode-periode sebelumnya, episode suksesi kepemimpinan kita selalu melahirkan
juara karbitan.
Mengapa
juara karbitan selayaknya acara reality show pencarian bakat? Ini
faktanya, pasca reformasi rakyat seketika tersihir dan menentukan pilihan pada
calon pemimimpinnya berdasarkan dahsyatnya pencitraan yang mereka ciptakan.
Kita
ingat, bagaimana Abdurahhman Wahid terpilih
sebagai presiden karena dicitrakan sebagai
pemersatu, padahal partainya senediri bukan pemenang pemilu kala itu.
Selepas Gus Dur dilengserkan, Megawati yang lantas menggantikannya beberapa
tahun kemudian juga mendapat pencitraan sebagai pemenang pemilu yang dikelabui
dan pada akhinya mengundang simpati. Pun demikian dengan Yudhoyono yang
langsung menyabet perhatian dan menjungkirbalikkan logika publik lewat
aktingnya yang memikat sebagai jenderal berkelakuan anak kecil, begitu sesumbar (alm) Taufik Kiemas
kala itu. Yudhoyono piawai memainkan drama dan seolah berada di pihak
protagonist sebagai korban pendzaliman. Ia pun akhirnya menuai simpati pemirsa
layar kaca kita yang sebagian besar ibu-ibu pencandu sinetron.
Apakah kita punya pemimpin yang lahir
bukan dari hasil pencitraan? Jawabannya ada.
Dan satu nama yang mengemuka di kepala saya adalah Jusuf Kalla. Secara pribadi saya bisa mengatakan bahwa
dalam kurun waktu 13 tahun reformasi ini saya hanya memiliki presiden yang kebetulan diwakili
saat itu oleh Jusuf Kalla.
Semenjak kemunculannya sebagai menteri
di era Abdurrahman Wahid, beliau termasuk tokoh yang terkenal memiliki prinsip.
Hingga itu yang membuatnya tersingkir sebagai menteri di kabinet Gus Dur karena
tuduhan keterlibatan KKN yang hingga kini tidak terbukti. Jusuf
Kalla kembali diangkat sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat di
bawah pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan tidak
mengalami suatu masalah apapun. Kemundurannya dari kabinet hanya semata ingin maju sebagai calon wakil presiden, mendampingi
calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala itu.
Kepiawaian
JK dalam urusan kepemimpinan ditengarai dari kiprahnya pada bisnis keluarga yang
diwarisi dari ayahnya Hadji Kalla. Usaha Hadji Kalla tersebut meliputi beberapa
kelompok perusahaan di berbagai bidang industri. Tahun 1968, Jusuf Kalla muda menjadi
CEO dari NV Hadji Kalla. Di bawah kepemimpinannya, NV Hadji Kalla berkembang
dari sekedar bisnis ekspor-impor, meluas ke bidang-bidang perhotelan,
konstruksi, pejualan kendaraan, perkapalan, real estate, transportasi, peternakan
udang, kelapa sawit, dan telekomunikasi.
Tak
heran saat menjadi wapres di era Yudhoyono banyak keputusan-keputusan berkaitan
dengan pembangunan inftrastruktur, kebijakan dan rencana pembangunan melibatkan
sentuhan tangan dingin Kalla. Kita pasti ingat kebijakan Kalla menambah pasokan
listrik Jawa Bali 100.000 MW dengan pembangunan beberapa PLTU, kemudian Kalla
begitu gencar mempertahankan Blok Cepu, konversi minyak tanah yang begitu
ditentang namun kini perlahan terasa manfaatnya, menolak pembelian pesawat dari
Xian Aircraft yang penuh aroma kolusi dan sederet keputusan penting lainnya.
Bahkan beberapa wartawan istana wapres pernah menyebutnya presiden sesungguhnya
untuk sekadar menunjukkan bahwa beliau sangat tahu betul bagaimana caranya
mengurus negara.
Pada
beberapa kesempatan sosok kenegarawanan JK justru muncul dari sikapnya yang
menunjukkan “orang kebanyakan” seperti menanggalkan safari dan lebih memilih
mengenakan pakaian resmi wapres sebuah kemeja lengan pendek warna putih tanpa
dimasukkan, memperlihatkan sepatunya yang buatan Cibaduyut, selalu berpidato
tanpa teks dan diselingi guyonan khas ala JK, rajin bertemu dan menyapa rakyat
di pasar, terminal, lingkungan sekitar Teuku Umar tempat ia biasa melakukan
jogging, dan sebanyak mungkin menghindari protokoler demi semata menikmati diri
sebagai orang biasa.
Sayang,
pada tahun 2009 JK gagal menyandang gelar presiden –meski ia pun tak begitu
silau dengan gelar itu-. Kedekatannya
pada basis massa Islam dan pilihannya bersanding dengan Wiranto ditengarai
menjadi batu sandungan bagi langkahnya menuju RI-1. Saat itu sentimen agama begitu kental memengaruhi pilihan
publik. Poster JK-Win yang bersanding dengan istri masing-masing yang berjilbab
menjadi amunisi bagi lawan politik melakukan propaganda. Pun demikian dengan
status Wiranto sebagai tokoh yang bertanggung jawab terhadap tragedi HAM di
tanah air menjadi sasaran empuk lawan politk untuk melakukan black campaign. Padahal seandainya JK
benar-benar menjadi presiden mungkin keadaan akan jauh lebih baik.
Kini
menjelang suksesi kepemimpinan.2014, sosok JK secara fisik mungkin sudah tidak
dapat diharapkan. Lelaki kelahiran Watampone, 15 Mei
1942 ini telah menginjak usia yang tidak muda lagi. Meski kegesitannya masih
nampak saat memimpin rombongan PMI mengunjungi Mentawai saat dilanda tsunami di
tahun lalu. Padahal seharusnya sang presiden yang mengayomi rakyatnya-lah yang
semestinya datang jauh-hauh hari.
Kepiawaiannya memimpin Dewan Mesjid
Indonesia memberi banyak memberikan inpsirasi bagi kemajuan jutaan masjid di
seluruh Indonesia. Begitupun saat menjadi Ketua Delegasi Indonesia dan berhasil
menembus Junta Militer Myanmar untuk menyampaikan bantuan bagi pengungsi muslim
Rohingya adalah bukti bahwa tipikal pemimpin yang mampu memberi solusi ada pada
sosok JK.
Bangsa ini memerlukan sosok pemikir
dan pengambil keputusan seperti JK namun dalam casing yang lebih muda. Bangsa ini perlu sosok yang segar, cerdas,
santun, low profile, memiliki jaringan
yang luas baik di dalam maupun di luar negeri. Semoga regenerasi kepemimpinan
bangsa ini berjalan dengan track yang
benar sehingga tak lagi muncul figur-figur karbitan gaya Indonesia Idol atau Artis
You Tube yang terkenal sesaat lalu cepat dilupakan.