Rabu, 01 September 2010

Melebarnya Masalah Pelebaran Jalan

Hari Sabtu dan Minggu biasanya aku habiskan untuk mengajak anak dan istriku ke luar rumah. Sebagai pekerja yang sangat sibuk, terkadang hari Sabtu dan Minggu memang sangat berharga bila dinikmati hanya untuk keluarga. Aku tak punya anggaran khusus mengajak mereka ke tempat rekreasi, paling banter ya mengajak mereka ke mal atau pusat perbelanjaan.

Namun impian menikmati hari libur justru buyar bila begitu keluar rumah sudah terjebak kemacetan. Seperti kala itu ketika kami berencana pergi ke salah satu pusat perbelanjaan di kota Depok. Posisi rumah kami terletak di pinggiran kota Depok, yaitu Sawangan, praktis kami tak punya jalur alternatif menuju episentrum Kota Depok kecuali melalui jalan ini.

Meskipun kami menikmati perjalanan dengan kendaraan bermotor, perjalanan cukup memakan waktu lama. Pasalnya semenjak tersohornya Masjid Kubah Emas yang menjadi bagian dari ikon kota ini telah menyedot peziarah-peziarah dari luar kota. Mereka tak hanya menggunakan kendaraan pribadi namun juga bus-bus besar dengan jumlah rombongan yang tidak sedikit.

Memang kini Kota Depok -sebagai salah satu kota penyangga ibukota- telah mengalami percepatan pembangunan yang luar biasa. Tingginya minat masyarakat untuk tinggal di Depok telah membuat kota ini berbenah menyiapkan segala perangkat pendukung aktivitas warganya termasuk kebutuhan transportasi dan sarana jalan
Beragam upaya telah dilakukan Pemkot Depok guna meningkatkan kenyamanan warganya dalam berkendara. Hampir setiap ruas jalan utama di wilayah Depok telah mengalami perbaikan, misalnya dengan betonisasi, pengaspalan tambal sulam, atau pelebaran jalan, terrmasuk jalan Raya Sawangan yang sekarang tengah kami lewati ini

Selepas melewati jalan Raya Sawangan dengan menyisakan kejengkelan yang luar biasa, kami pun hampir tiba di lokasi yang di tuju. Namun alangkah kagetnya kami melihat berjubelnya pengunjung mal yang bersebelahan dengan Terminal Depok ini. Melalui sedikit negosiasi dengan istri akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi mal lain yang memang menjamur di sepanjang jalan Margonda Raya.

Perhatianku tertuju pada suasana jalan Margonda Raya yang kini terlihat lebih lapang. Geliat pembangunan di Kota Depok setidaknya tercermin dari hiruk-pikuk pekerja yang sedang melebarkan jalan sepanjang 5 km lebih ini. Kepulan asap kendaraan bercampur debu dan teriknya matahari siang itu telah menurunkan mood kami untuk menikmati akhir pekan ini.

Bagaimana tidak, sepanjang jalan tak lagi ku temui hamparan pohon rindang yang meneduhkan kota ini. Rupanya upaya perbaikan jalan, baik melalui betonisasi maupun pelebaran jalan menyisakan masalah yang cukup besar. Lihatlah jalan Margonda yang merupakan landmark Kota Depok yang kini terkesan gersang. Proyek pelebaran jalan Margonda Raya yang dibiayai APBD Provinsi Jabar telah merenggut ratusan pohon-pohon hijau di sepanjang jalan Margonda Raya. “Apakah tak ada upaya dari pemkot untuk mencari alternatif dengan menanam pohon pengganti?” gumamku dalam hati.

Sepeda motor tuaku masih mencoba mencari celah menghindari angkot-angkot yang seenaknya ngetem. Auhg..hampir saja ku lindas kaki seorang pejalan kaki. Maklum, akibat pelebaran jalan ini trotoar yang merupakan hak pejalan kaki akhirnya tergerus. Aku yang mencoba mengambil arah putar balik di kolong putaran UI melihat jelas sepanjang jalan Margonda Raya dari arah Jakarta mulai dari gerbang selamat datang hingga depan kampus Gunadarma tidak kutemukan trotoar sama sekali. Aku hanya bisa mengelus dada dan bertanya dalam hati “ Di mana rasa kemanusiaan pemerintah kota ini kepada warganya sendiri?”

Bisa dikatakan, sepanjang jalan Margonda Raya tersebut tidak memiliki bahu jalan, karena batas tepi jalan raya sangat mepet dengan tanah warga. Ini tentu sangat membahayakan tidak hanya bagi pejalan kaki namun juga pengendara kendaraan bermotor, seperti aku dan mungkin banyak pengguna kendaraan lainnya.
Semestinya Pemkot Depok memiliki komitmen untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang berpihak pada lingkungan hidup dan kemanusiaan, seperti yang sudah dijalani di beberapa daerah lain sebagai bagian dari komitmen terhadap kesepakatan perubahan iklim di Bali beberapa tahun lalu. Apalagi jalan Margonda Raya sebagai ikon kota Depok menjadi semacam etalase yang mencerminkan sikap dan perilaku warga dan pemerintah Kota Depok.

Aku lantas melambungkan ingatanku kepada suasana di jalan Sudirman atau Thamrin di Kota Jakarta yang masih terlihat hijau dan teduh karena masih memiliki pohon-pohon yang rindang. Selain itu di sepanjang Jalan Sudirman dan Thamrin memiliki trotoar yang amat luas bagi pejalan kaki. Belum lagi jika mengenang suasana Jakarta di hari tanpa kendaraan dan menikmati berjalan-jalan di sepanjang jalan itu. Ooh alangkah nyamannya…

Namun lamunanku kembali buyar karena mendadak ada angkot yang berhenti tiba-tiba. “Huff..hampir saja,” gumamku. Istriku pun akhirnya angkat bicara, “Ayah, gimana sih bawa motornya ngelamun melulu makanya jangan ngeliatin cewek terus mentang-mentang lewat kampus…” Bisingnya suara istriku mirip bising knalpot motorku yang tak lulus uji emisi.

Memang harus kuakui dengan pelebaran jalan ini telah membuat masalah kepadatan lalu lintas di Margonda Raya dapat diurai terutama pada jam-jam sibuk. Setelah jam sibuk pada pagi dan menjelang sore hari praktis jalan Margonda Raya memang terlihat cukup lancar, namun pada hari-hari libur seperti Sabtu dan Minggu justru kemacetan terjadi utamanya di sekitar pusat-pusat perbelanjaan yang terbentang sepanjang jalan Margonda Raya. Dengan demikian pelebaran jalan menjadi kontraproduktif dan malah menimbulkan masalah baru.

Tak terasa perjalananku telah mencapai tujuan. Selintas ku menatap baliho besar bergambar pak walikota yang selalu tersenyum. Entahlah yang pasti senyumannya seolah menertawai penderitaanku. Kabarnya selepas ini pejabat yang dijuluki “walikota baliho” akan maju lagi dalam pemilukada tahun ini. Aku sendiri tak yakin apakah kehadirannya kembali memimpin kota ini mampu menata kota ini jauh lebih baik puluhan tahun ke depan. Apalagi jika jajaran pejabat di bawahnya hanya berpikir pragmatis mengurai masalah kota dengan pendekatan simsalabim. Seperti misalnya mengurai masalah kemacetan dengan menjadikan penambahan ruas jalan atau pelebaran jalan sebagai fokus utama.

Buatku yang terpenting adalah bagaimana pemerintah menyiapkan sarana transportasi massal yang aman dan nyaman bagi warganya, bukan sekedar menambah ruas jalan. Sehingga banyak warga akan beralih dari kendaraan pribadi dan memilih menggunakan transportasi umum. Kalaupun pada akhirnya memilih pelebaran jalan sebagai solusi semestinya juga diiringi oleh pelebaran ruang publik dan tanpa menebang pohon-pohon di sepanjang jalan yang diperlebar. Hal itu merupakan cerminan keberpihakan pemerintah kota kepada lingkungan hidup dan kemanusiaan.

Selain itu pemerintah juga perlu membatasi kepemilikan kendaraan pribadi atau menetapkan pajak yang besar sehingga tak banyak kendaran wara-wari di sepanjang jalan. Apa gunanya jalan di perlebar kalau kendaraan juga makin banyak, iya khan?
Hentakan gas motorku terasa semakin berat, psstt…pssst.. terdengar sayup ban motorku kempes. Oalah…gara-gara banyak jalan hanya dibeton saja tanpa diaspal, ban vulkanisir motorku kini jadi semakin menipis. Aku pun menepikan motor dan menikmati akhir pekan di tempat tambal ban. Beruntung istriku tak lagi menggerutu karena masih asyik update status dari handphone baru pemberianku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

follow @atrahus