Kamis, 16 Desember 2010

Mimpi-mimpi Garuda

“Garuda di dadaku, garuda kebanggaanku….
ku yakin hari ini pasti menang.....................
kobarkan semangatmu, tunjukkan sportivitasmu
ku yakin hari ini pasti menang..........................”

Lirik lagu tersebut hari-hari belakangan ini nyaris menghiasi layar kaca pemirsa televisi kita. Segenap perhatian publik kini tertuju pada punggawa-punggawa kebanggaan bangsa di lapangan hijau. Tua muda, besar kecil, lelaki perempuan tumpah ruah memenuhi stadion GBK tatkala timnas bertanding saat penyisihan Piala AFF beberapa pekan lalu.
Kemenangan demi kemenangan yang diraih pasukan di bawah asuhan Alfred Riedl memunculkan sebuah harapan baru akan kebangkitan tim nasional sepakbola kita yang sekian lama miskin prestasi. Pelan tapi pasti perubahan yang diberikan pelatih asal Austria ini telah memberikan pengaruh yang positif bagi para pemain.
Tak dapat dipungkiri, selain berkat tangan dingin Riedl, keberhasilan tim nasional juga tak lepas dari peran supporter setianya. Jutaan pendukung merah Putih dengan lantang selalu menyanyikan lagu ”Garuda di Dadaku”. Lirik yang penuh motivasi dan dibawakan dengan ritme lagu bernada semangat telah melecut perjuangan Firman Utina dkk memberikan hasil terbaik bagi bangsanya.
Perhatikan bait demi bait lagu tersebut terutama pada lirik “ku yakin hari ini pasti menang” yang diulang dua kali. Sekian lama lagu itu telah dinyanyikan jauh sebelum kemenangan yang didapat hari-hari belakangan ini. Di setiap pertandingan atau turnamen resmi pendukung setia Merah Putih tak pernah iseng atau mengubah lirik itu dengan nada mengejek seperti misalnya, ”apakah hari ini kita menang?” atau ”kapan ya timnas kita bisa menang?”. Meski pada kenyataannya hasil yang didapat pada pertandingan itu tim nasional memang tidak memetik kemenangan, lagu itu tetap berkumandang dengan gempitanya.
Pelajaran apa yang dapat kita petik dari fenomena ini? Mimpi untuk mendapat kemenangan memang tak boleh pupus dari ingatan kita. Ingat apa yang terjadi pada tim nasional Jepang? Jauh sebelum Piala Dunia 2002, Jepang telah memimpikan tim nasionalnya bisa berlaga di piala dunia. Maka dibuatlah film animasi Tsubasa yang bercerita tentang mimpi seorang anak Jepang yang ingin bermain bersama negaranya di piala dunia sepakbola. Kita semua tahu pada waktu itu sepakbola bukan merupakan olahraga populer di kalangan rakyat Jepang. Melalui film animasi Tsubasa, anak-anak jepang diberikan harapan bahwa suatu saat nanti tim nasional mereka bisa tampil di piala dunia. Kenyataan pun terbukti, walau tampil di piala dunia karena menjadi tuan rumah namun penampilan pemain Jepang juga tidak mengecewakan. Hidetoshi Nakata adalah salah satu bintang yang bersinar kala itu. Selepas Piala Dunia 2002, Jepang selalu menjadi langganan peserta piala dunia dua kali berturut-turut yaitu pada tahun 2006 dan 2010.
Sudah seharusnya lagu Garuda di Dadaku terus berkumandang memberikan semangat bagi pemain tim nasional. Lagu yang penuh mantra berisi motivasi. Lagu yang mengajarkan kita untuk terus memupuk keyakinan bahwa kemenangan pasti hari ini akan terjadi. Banyak ahli pengembangan diri menguraikan pentingnya memupuk impian. Sandy Mc Gregor dalam bukunya Piece of Mind mengatakan bahwa otak akan bekerja maksimal dalam frekuensi Alpha. Frekuensi Alpha dalam gelombang otak terjadi pada saat manusia dalam keadaan bermimpi, dengan kata lain antara tidur dan sadar.
Bermimpi tidak sama dengan menghayal. Impian adalah salah satu vitamin penting bagi otak yang akan memacu seluruh organ tubuh untuk bekerja, bergerak dan memberikan hasil yang maksimal. Tak heran, ulama sekaliber Hasan Al Banna juga berujar, ”Kenyataan hari ini adalah mimpi kemarin dan mimpi hari ini adalah kenyataan esok hari!” Biarkanlah garuda terbang bersama mimpi-mimpinya. Asal jangan mimpinya terbang bersama harapannya.

Kamis, 09 Desember 2010

Konsultasi Tukang Mie

Beratnya beban hidup membuat kami berfikir untuk mancari jalan keluar. Himpitan ekonomi dan sesaknya pikiran kami atas beragam masalah kehidupan telah membuat rumah tangga kami nyaris berantakan. Ribut soal kecil bisa merembet menjadi hal yang besar. Awalnya bukan gara-gara kami kurang uang, namun kami kurang kepercayaan satu sama lain. Sehingga masalah uang menjadi titik kulminasi dari segala debat kusir selama ini.
Kami pun berfikir untuk meperbaiki keadaan rumahtangga ini dengan memulai dari memperbaiki keadaan ekonomi. Selintas pikiran untuk berdagang muncul kemudian. Ingatan kami pun melambung pada sosok yang kami anggap menjadi figur sukses dalam bidang usaha. Kebetulan kami berdua penggemar mie ayam. Tepat di pinggir Jl. Raya Pahlawan Rempoa, Gintung Tangsel, ada satu pedagang mie ayam yang amat terkenal sejak istriku masih kecil, namanya Mie Ayam Kumis.
Mie ayam kumis memang laiknya seperti mie ayam yang di jual di gerobak pinggir jalan. Tak ada yang istimewa dari penampilan fisiknya, gerobak tua, beberapa kursi kayu memanjang dan terpal biru yang hampir robek. Namun banyak orang menggilai mie ayam ini.
Mie ayam kumis baru buka menjelang Ashar dan biasanya sudah habis menjelang isya. Terkadang bila suasana sedang ramai, anda datang maghrib pun sudah tak kebagian. Setelah banyak mencicipi mie ayam, saya memang menyium aroma berbeda dari mie ayam kumis, belum lagi taburan daging ayamnya yang diiris besar-besar serta mienya yang lentur membuat air liur kerap keluar saat membayangkannya.
Sore itu selepas menyantap mie ayam terakhir buatan Kumis-begitu biasa ia kami sapa- ada keinginan untuk mengobrol dengannya mengenai bisnis kuliner yang ia geluti. Awalnya agak ragu juga memulai pembicaraan namun akhirnya kami memberanikan diri.
"Mis, gue pengen ngobrol nih"
"Ngobrol apaan, dah sana pulang udah abis mie ayam gue mau beberes!" ujarnya santai
"Gue mau ngajak kerjasama bisnis" aku mencoba merayunya
"Bisnis apaan? MLM? nggak ah gua nggak tertarik, mending lu pulang aja" kali ini Kumis agak ketus
Aku pun sempat down namun istriku yang sudah faham karakter kumis menanggapinya dengan santai. "iya nih gue mau buka mie ayam juga"
Namun raut muka Kumis masih belum berubah antusias.
Hujan pun turun. Aku yang sedari tadi sudah ilfeel dengan gelagat Kumis hanya bisa mengelus dada. Dalam hati berkecamuk, "sombong nian ini orang"
aku dan istri kembali berteduh di bawah tenda mie ayam Kumis. tak disangka Kumis menghampiri dan berkata, "lo serius mau kerjasama sama gue?"
"Iyalah Mis, masa gue becanda!" senyum kami sontak mengembang
"Tapi lo mau nggak belajar?" tanya Kumis
"Ilmu dagang kaya begini mesti dipelajari, lo siap nggak?" katanya lagi
"Iyah Mis, gue siap!!" jawab kami
"Jangan siap,,siap doang loe"
"Loe pikir dagang itu enak??? lu dah ngerasain prihatin belon?"
"Loe jangan liat gue yang sekarang, emang loe pikir dagang itu gampang!"
"Justru itu Mis, kita mau belajar dari loe" kami pun meyakinkannya
"Sekarang loe ngejalanin sholat malam dulu, paling sedikit 41 malam jangan putus, kalau sampai 60 malam lebih bagus"
"Trus selama loe sholat malam, loe minta petunjuk sama Alloh. kalo loe nggak bisa bahasa arab ya udah pake bahasa Indonesia aja!"
"Emang loe pake bahasa arab Mis? " gelitikku
"Ya nggak, mana ngarti gue bahasa Arab! sekolah aja nggak selesai!" candanya
"Minta sama Alloh, kita bisa apa sih...kan cuma bisanya minta...." pesannya seperti mnggurui kami
"Trus setelah itu jangan sampai loe berbuat nggak jujur, misal loe nemu duit, duitnya jangan loe makan, amalin aja, kasih ke pengemis kek, trus kalau ada tamu main ke rumah, barangnya ketinggalan, ya dompet keke, hape kek, pulangin. '' panjang lebar ia menjelaskan
"Loe mau sukses, mau itu kerja, apa dagang atau sekolah syaratnya sebenarnya cuma tiga yaitu; jujur, berani dan rajin"
"Nah kalau udah ada petunjuk atau ilham emang loe mesti jalannya berdagang, baru lo lakonin tuh kerjaan dengan serius..."
"Loe jangan males, kalau belum ada pembeli seharian jangan nyerah, harus sabar...."
"Inget satu hal lagi, kalo ada orang datang minta-minta loe jangan bentak, sebisanya loe kasih duit. minta doanya....doa mereka manjur, loe tau kagak?"
"Iya mis, gue tahu..gue juga belajar agama!" kami mesem-mesem
"Ah loe belajar doang nggak pernah ngamalin sih, makanya loe susah..."
"Banyak kita liat orang belajar agama nggak ada ngaruhnya ama kehidupan dia, loe tanya tuh kenapa?" ujar Kumis bernada retoris
"Bencong aja pernah gue minta doanya biar usaha gue laris....apa gue pernah pikir bencong itu bakal diterima doanya sama Alloh?..."
"Nggak gue nggak mikir ke sono, itu biar urusan dia ama Alloh aja, yang penting hari itu dia bisa dapat rezeki melalui perantaraan gue...padahal cuma gue kasih seceng" Kumis bicara amat serius.
Kami terbuai mendengar tausyiahnya, tak menyangka kalau sosok pedagang mie yang kalau bicara ceplas-ceplos bahkan terkadang menjurus porno ini bisa menasehati seperti layaknya ustad
"Insya Alloh Mis, kita siap...kita juga mau berhasil kayak loe" kami menatapnya penuh harap.
"ah loe sekarang aja ngomong begitu karena loe lagi susah...apa gue bisa jamin loe juga bakal bisa ngelakoninnya kalau loe udah sukses?"
Kami terdiam.
"Nah loe nggak bisa jawab kan?" serobot Kumis
"Banyak orang datang ke gue ngajak kerjasama juga, bukan cuma yang susah kaya loe, yang duitnya segepok juga ada!"
"Tapi begitu gue tanya kaya tadi pada diem semua!"
"Nah sekarang loe pulang.....loe ngejalanin apa yang gue bilang tadi cepet sana...nunggu apa lagi????" nadanya gusar seolah ingin mengusir kami
Kami terdiam memaku. Kata-kata Kumis sedari tadi sudah memenuhi lubuk pikiranku. Ucapannya seolah menusuk kesadaran imanku. Apa yang dilontarkannya sedari tadi seolah mengingatkanku untuk berlaku rajin, jujur dan berani...tiga hal yang sekian lama lepas dari genggamanku