Rabu, 14 April 2010

Empat Puluh Satu Pedoman Efisiensi dalam Rapat/Musyawarah

Empat Puluh Satu Pedoman Efesiensi Waktu dalam Rapat/ Musyawarah
1. Adakan rapat hanya jika rapat itu merupakan jalan terbaik untuk mencapai tujuan. Telusuri semua alternatif lain sebelum memanggil orang lain untuk rapat.
2. Buat rapat Anda sesingkat mungkin! Kebanyakan manager mengatakan bahwa setidaknya separuh dari waktu rapat mereka terbuang sia-sia. Waktu yang terbuang rata-rata 5 jam per minggu, 250 jam per tahun untuk tiap orang yang terlibat dalam rapat. Wow! Dalam mengadakan rapat, jadikanlah pemangkasan waktu sebagai salah satu tujuan. Jika saja setiap peserta rapat telah siap sebelum mereka hadir, maka kebanyakan rapat dapat diselesaikan separuh waktu saja.
3. Tulislah tujuan rapat dan jadwal waktu rapat di papan atau flip chart sebelum peserta rapat tiba. Ini akan membuat rapat tetap fokus dan menghilangkan stres yang disebabkan oleh rapat yang terlalu lama.
4. Jika Anda memimpin rapat, duduklah di ujung depan meja, jadi Anda dapat mengendalikan alur rapat.

5. Pastikan setiap rapat benar-benar merupakan kebutuhan. Rapat rutin bukanlah investasi yang bagus kecuali memang dapat membantu mencapai tujuan Anda.
6. Carilah alternatif lain selain rapat. Jika Anda dapat mencapai tujuan Anda dengan hanya menelpon, maka hematlah waktu semua orang dan rencanakan conference call.
7. Gabungkan rapat-rapat Anda yang saling berhubungan.
8. Minimalkan pertemuan face-to-face, dan mulai dari sekarang!
9. Setiap rapat harus memiliki undangan rapat yang dapat menjawab beberapa pertanyaan berikut dengan jelas: Mengapa saya menginvestasikan waktu dalam rapat ini? Berapa lama akan berjalan? Siapa saja yang hadir? Apa yang diharapkan dari rapat ini?
10. Jika rapat tidak dimulai tepat pada waktunya, bertanggungjawablah untuk mengatakan, “Hey, sekarang sudah jam.9 tepat. Ayo kita mulai saja rapatnya. Sudah waktunya rapat dimulai.”
11. Hanya undang orang yang memiliki sesuatu untuk dikontribusikan sesuai tujuan rapat. Tidak seharusnya ada pelancong atau orang yang suka mengelakkan pekerjaan di meja rapat.
12. Pertimbangkan untuk membubarkan peserta rapat setelah mereka menyelesaikan rapat dalam bagian mereka – selama mereka tidak perlu untuk mendengarkan apa yang dijadwalkan di dalam rapat berikutnya
13. Jika Anda diminta mewakili seseorang dalam sebuah rapat, bicarakan dengan pemimpin rapat bahwa Anda hanya akan terlibat dalam porsi rapat yang terkait urusan orang yang Anda wakili. Saat Anda sudah menyelesaikan tugas “menjadi pendengar yang baik,” tanyakan adakah keperluan yang lain yang dibutuhkan dari Anda. Jika tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, ucapkan permisi dan segera kembali kepada pekerjaan utama Anda.
14. Tentukan waktu rapat yang tidak biasa. Orang biasanya lebih mudah mengingat jadwal rapat dengan undangan yang tertulis dimulai pukul
15. Kebanyakan orang memberikan waktu tambahan (pada kenyataannya dimulai pukul 9:40) ketika waktu rapatnya dibulatkan menjadi per setengah jam, dan kebanyakan orang akan menjadi merasa dirinya harus tepat waktu ketika melihat bahwa waktu rapat dimulai pada waktu yang tidak biasa (aneh). Cari tahu waktu-waktu tersebut dan cobalah!
16. Biasakan memiliki handouts ekstra bagi peserta rapat. Lebih baik memiliki terlalu banyak daripada menyendat waktu untuk menyalin handout.
17. Mulailah tepat pada waktunya. Jika rapat dimulai pukul 8:38, maka mulailah 8:38. Satu pengeluaran terbesar yang tidak pernah muncul dalam income statement adalah biaya rapat. Ketahuilah bahwa Anda menghabiskan waktu pegawai sebesar $400 dalam rapat selama 4 jam (Empat pegawai dengan bayaran $50.000 per tahun, 8 jam kerja). Hormatilah investasi yang dibutuhkan oleh rapat Anda.
18. Waktu terbaik bagi rapat adalah pagi hari. Orang masih dalam kondisi lebih segar, tantangan terbesar hari itu masih belum muncul, dan anehnya, tingkat ketepatan waktu hadir semua orang semakin membaik.
19. Jangan memberi ikhtisar pembicaraan yang telah dilakukan kepada orang yang terlambat. Hiraukan mereka ketika mereka datang, dan teruskan rapat. Jika Anda memberi ikhtisar atas apa yang telah dibicarakan, maka Anda menghargai orang yang terlambat dan menghukum orang lain yang tiba tepat pada waktunya.
20. Bicarakan pertama kali agenda yang paling penting dalam rapat Anda. Jika ada beberapa hal yang tidak terselesaikan, pastikan Anda menyelesaikan masalah terpenting yang menjadi alasan Anda mengadakan sebuah rapat.
21. Buatlah batasan waktu bagi peserta rapat untuk ‘menjual’ poin mereka. Pembuang waktu terbesar adalah orang yang memaksa terus bertempur dalam pertempuran yang telah dimenangkan orang lain. Pasang batasan waktu yang diperbolehkan dalam pembahasan tiap item, dan terus lanjutkan rapat sesuai agenda dan batasan.
22. Jangan menyajikan sarapan dan rapat dalam waktu bersamaan. Donat atau jajanan lain tidak pernah menambah produktivitas sebuah rapat. Jika rapat dimulai pukul 9:00 a.m., sajikan sarapan pada 8:30 a.m.
23. Jika rapat dilaksanakan hingga makan siang, maka pada saat ini bicarakan masalah umum yang tidak terlalu membutuhkan fokus perhatian. Lebih produktif memberikan waktu rehat makan siang 30 menit ketimbang tetap mempertahankan perhatian peserta rapat sementara menyajikan/memakan hidangan. Jika tujuan Anda adalah menciptakan suasana perekatan ikatan sosial, alokasikan waktu makan Anda untuk mengejar tujuan tersebut.
24. Selesaikan semua agenda pembicaraan di dalam rapat Anda sebelum melakukan pembicaraan ke arah topik yang tidak terkait. Letakkan perihal penting yang tidak terjadwal dalam rapat di dalam ‘areal parkir’ flip chart untuk didiskusikan kemudian. Isu-isu di dalam areal parkir harus menjadi bagian dalam notulen rapat ketika notulen tersebut dikirimkan kepada para peserta rapat.
25. Tunjuk orang yang terakhir hadir di dalam rapat untuk menjadi penanggung jawab notulen rapat. Saya bertaruh bahwa mereka akan muncul tepat waktu pada rapat berikutnya!
26. Ingin mempersingkat rapat? Jalankan rapat Anda dengan sesi berdiri. Singkirkan kursi-kursi dan letakkan semacam podium di ruangan. Anda dijamin mendapati peserta rapat tidak akan mengantuk dan ingin langsung ke pokok masalah dengan cepat.
27. Gunakan buku catatan spiral untuk mencatat semua catatan rapat. Ini mengurangi waktu yang terbuang untuk mencari apa yang telah dibicarakan di dalam rapat sebelumnya.
28. Sediakan pena dan/atau kertas tambahan untuk menghindarkan Anda dari lamanya waktu menunggu peserta rapat yang kembali ke ruangan/kantor mereka hanya untuk mengambil alat tulis mereka.
29. Jangan pernah berbicara sembari menulis di flip chart. Tunggu hingga Anda menghadap kepada peserta rapat, sehingga Anda tidak perlu mengulang apa yang telah Anda katakan.
30. Gunakan flip chart untuk mengendalikan arah rapat, dan untuk mencatat siapakah yang bertanggung jawab untuk menindaklanjuti permasalahan yang telah dibahas.
31. Hargailah peserta rapat yang mengatakan hal yang sebenarnya. Jika ‘para nabi’ itu ‘ditembak’ karena mengatakan kebenaran, tidak akan ada ‘nabi yang jujur’ yang akan datang dalam rapat berikutnya.
32. Sebelum meninggalkan rapat, jangan mengasumsikan apapun! Apa Anda benar-benar berpikir bahwa setiap orang tahu apa yang harus mereka lakukan berikutnya? Ikhtisarlah sehingga tiap orang tahu siapa yang bertanggung jawab untuk langkah selanjutnya, kapan hal itu dilakukan, dan bagaimana hasilnya dikomunikasikan.
33. Akhiri rapat tepat pada waktunya atau AKHIRI LEBIH CEPAT! Setiap menit yang Anda habiskan melebihi waktu yang dijadwalkan akan menaikkan tingkat stres dan menurunkan tingkat perhatian. Setiap orang menikmati kejutan ini: selesai lebih cepat.
34. Tertatalah! Telepon setiap peserta sehari sebelumnya dan konfirmasikan kehadiran mereka. Mungkin ini terlihat tidak berguna dalam penghematan waktu dan sepertinya itu sudah layaknya tanggung jawab peserta rapat sendiri. Namun, akan semakin banyak waktu yang terbuang saat hanya ada satu orang saja yang hadir dalam rapat Anda, dan Anda bersusah payah hanya untuk bertemu dengan satu orang tersebut.
35. Jangan biarkan waktu dalam rapat Anda gunakan untuk memecahkan masalah senilai USD 100, sementara Anda menghabiskan ribuan USD untuk mengadakan rapat (lihat poin 82). Fokuslah kepada halhal yang penting.
36. Rapat tidak berakhir hingga notulen dibagikan (dalam dua hari kerja), dan semua tindak lanjut selesai dijalankan.
37. Jangan pernah meninggalkan sebuah rapat dengan keraguan mengapa Anda menginvestasikan waktu Anda untuk menghadiri rapat tersebut. Jika tujuan-tujuannya tidak tercapai, cari tahu apa yang dapat dilakukan dengan cara berbeda untuk memastikan bahwa rapat berikutnya tidak akan berakhir dengan cara yang sama.
38. Bagikan pre-work kepada para peserta rapat. Jika setiap orang dapat melakukan penelitian bagi semua peserta rapat lainnya, Anda dapat menghemat waktu yang cukup besar bagi rapat secara keseluruhan.
39. Sebelum meninggalkan rapat, buatlah rencana kerja (action plan) bagi semua keputusan yang telah dibuat di dalam rapat.
40. Kendalikan peserta rapat yang dominan dengan menekankan bahwa Anda memahami posisi mereka dan mintalah kepada orang tersebut untuk mendengarkan pandangan peserta lainnya sehingga semua pihak dapat menciptakan serangkaian tindakan.
41. Jadikan setiap rapat unik. Lakukan sesuatu yang berbeda untuk setiap rapat seperti merubah lokasi, waktu, atau desain ruangan. Kadang kala perubahan kecil akan menambahkan energi kepada kelompok kerja.
Tulisan di atas diambil dari buku berjudul “175 Tips Efisiensi Waktu Dalam Bekerja” Karya David Cottrell dan Mark C. Layton

Wajib Belajar atau Wajib Sekolah?

Beberapa tahun lalu sebenarnya saya tergelitik dengan slogan “Ayo Sekolah” yang bertujuan meningkatkan partispasi masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Melalui program BOS kini secara tak langsung pemerintah kembali menghimbau anak-anak agar tetap bersekolah, terlebih lagi program wajib belajar 9 tahun masih juga populer di kalangan pemangku kepentingan pendidikan nasional.
Pemerintah begitu yakinnya bahwa program wajib belajar 9 tahun di beberapa daerah terbilang sukses. Bahkan ada beberapa pemerintah daerah yang menggulirkan program wajib belajar 12 tahun. Berlabel sekolah gratis, para pemangku kepentingan pendidikan di daerah ramai-ramai menggiring anak-anak masuk sekolah hingga ke tingkat yang lebih tinggi lagi.
Berdasarkan interaksi penulis selama ini dengan banyak kepala sekolah dan guru di daerah yang telah menempuh segala macam untuk membawa anak-anak ke sekolah. Apabila diketahui di dalam salah satu keluarga ada anak usia sekolah yang tidak/belum bersekolah maka seketika itu pula mereka menghampirinya ke rumah, membujuk dengan iming-iming sekolah gratis, dan memberikan penyadaran kepada orang tuanya.
Pemerintah pusat melalui pemerintah daerah juga telah menginstruksikan kepada perangkat desa dan kelurahan agar mendata anak-anak yang tidak bersekolah. Ini semua agar program wajib belajar 9 tahun sukses terselenggara. Hanya semata-mata memenuhi standar indeks pembangunan manusia.
Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah dosakah jika anak kita tidak bersekolah? Apakah sebuah aib jika ternyata ketahuan ada salah satu keluarga kita yang tidak mau bersekolah?
Seharusnya pemerintah -dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional- bercermin sudah tepatkah mereka “memaksa” anak-anak masuk sekolah? Apakah yang sudah di dapat anak-anak kita hari ini dari sistem sekolah yang telah pemerintah ciptakan?
Menarik untuk kita simak realitas berikut; citra kebanyakan sekolah kita setidaknya terekam pada acara Snapshot di salah satu televisi swasta (Selasa, 20 November 2007). Kamera tersembunyi telah menangkap basah perilaku sebagian pelajar berseragam yang bolos sekolah. Di antara dari mereka tertangkap tangan tengah merokok, main kartu bahkan pacaran hingga melanggar batas kesusilaan. Hal tersebut dilakukan terang-terangan di sebuah taman kota.
Saat reporter menanyakan mengapa mereka bolos sekolah, jawabannya rata-rata kompak, “bosan sekolah..” timpal mereka dengan santainya. Ada lagi peristiwa yang membuat saya geregetan dibuatnya. Pasalnya, saat menonton tayangan infotainment yang memberitakan penangkapan aktor kawakan Roy Marten karena kasus narkoba, ia berujar “Mungkin saya harus sekolah lagi!” saat didesak wartawan ketika akan digelandang ke tahanan.
Benarlah adanya kalau sekolah telah dipersepsikan layaknya penjara. Edward T Hall –seorang pendidik- pernah menyampaikan bahwa duduk diam di tempat terbatas adalah salah satu hukuman paling berat yang dapat dijatuhkan kepada manusia. Celakanya inilah yang terjadi di sekolah-sekolah kita. Berjam-jam siswa harus duduk diam untuk mendengar ceramah dari guru. Murid yang paling diam dianggap baik sementara murid yang banyak bicara karena kritis harus dihukum.
Kegiatan paling utama yang terjadi di sebuah intitusi sekolah adalah belajar. Sayangnya belajar sebatas dipahami sebagai transfer of knowledge dan diperparah pula oleh belenggu budaya feodal yang memosisikan guru sebagai satu-satunya pemegang otoritas kebenaran di sekolah.
Masih saja ada guru bertingkah pangreh praja bukan menjadi pamong praja. Pamong adalah pelayan, abdi, fasilitator sementara pangreh adalah penguasa, pemegang otoritas. Jadilah murid menjadi subordinat para guru sehingga mereka tidak tumbuh menjadi pribadi besar karena tidak mendapat ruang untuk berkembang. Gejala ini tumbuh subur dalam iklim dan kultur feodal yang masih menggelayuti paradigma pendidikan kita.
Pameo mengatakan pengalaman adalah guru terbaik. Kenyataannya di sekolah-sekolah formal banyak anak tidak mendapatkan pengalaman belajar apa-apa. Guru selalu memosisikan pikiran siswa selayaknya gelas kosong yang siap dituang beragam informasi. Padahal seharusnya guru sadar bahwa pikiran siswa ibarat api yang mesti dinyalakan. Pembelajaran pun dilakukan searah. Guru menganggap dirinya baik jika siswa telah mengerti apa yang telah disabdakannya. Jawaban kreatif sisiwa selalu dianggap pembangkangan atau melawan arus utama. Akhirnya siswa tidak mendapatkan pengalaman belajar apa-apa.
Melihat kenyataan itu adilkah jika pemerintah bersikukuh memaksakan anak kita masuk dalam sebuah sistem yang kita tidak setujui? Sedangkan masuk di sekolah terbaik berlabel sekolah plus, sekolah alam, sekolah rumah dan lain sebagainya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Oleh karena itu penulis perlu menyampaikan gagasan tentang citra baru sekolah yang berani melawan arus utama ini, yaitu sekolah yang bebas pakem. Sekolah bebas pakem ini semoga dapat menjadi solusi atas permasalahan pendidikan kita khususnya fenomena kekerasan yang terjadi di sekolah
Sebenarnya apa itu sekolah yang BEBAS PAKEM? Apa sekolah yang benar-benar keluar dari pakem (mainstream) dan bebas dari belenggu-belenggu aturan formal? BEBAS PAKEM di sini maksudnya bukan bebas dari rem/aturan-aturan dan hantam kromo sana-sini melainkan sebuah konsep belajar berbasis aneka sumber (BEBAS) dengan metode (pembelajaran) Positif, Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM).
Belajar berbasis aneka sumber (Bebas) adalah sebuah paradigma baru dalam proses pembelajaran yang tidak memusatkan belajar pada guru (teacher centered learning), artinya jika tanpa guru tidak terjadi proses belajar. Miarso (2004) menyampaikan bahwa belajar berbasis aneka sumber memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik/warga belajar untuk memilih dan menentukan sendiri sumber yang digunakannya untuk belajar. Dengan demikian guru berperan sebagai fasilitator yang bertugas menumbuhkan motivasi, memberikan bantuan dalam pemilihan dan penentuan sumber belajar dan tidak lagi menjadi satu-satunya pemegang otoritas kebenaran. Diharapkan peserta didik/warga belajar menjadi lebih mandiri, belajar secara kooperatif dengan teman sejawat dan lingkungannya. Belajar berbasis aneka sumber akan memunculkan proses dialogis antara guru dengan murid atau murid dengan murid yang akan bermuara pada munculnya sikap saling menghargai satu sama lain.
PAKEM dipahami sebagai sebuah metode dan model pembelajaran yang menerapkan prinsip-prinsip positif, aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Suasana pembelajaran dibangun lebih humanis dan demokratis. Guru dapat membuka ruang dialog seluas-luasnya kepada siswa. Guru juga perlu menghindari melabel anak didik dengan statement-statement negatif tentang siswa misalnya menyebut siswa bodoh, nakal, trouble maker dsb. Guru perlu memulai mengganti statement negatifnya menjadi kalimat-kalimat positif yang lebih bertujuan memotivasi bukan memvonis siswa.
Sementara itu guru harus menyediakan sarana belajar untuk menjadikan anak menjadi seorang pembelajar sepanjang hayat yang mampu berpikir kritis, cerdas, berorientasi solusi, kominikator yang efektif, pekerja kelompok mandiri. Oleh karena itulah guru dituntut kreatif mengemas metode pembelajaran, penataan ruangan dan kreativitas penugasan. Diharapkan belajar akan jauh lebih efektif karena banyak hal yang dialami oleh siswa di samping suasana pembelajaran yang menyenangkan telah mendukung terciptanya efektivitas pembelajaran itu sendiri.
Nah apabila hal tersebut sudah tercipta di sekolah-sekolah pemerintah tak berlebihan kiranya jiika pemerintah memaksa anak-anak wajib hukumnya masuk sekolah. Namun jika potret sekolah kita masih seperti yang dulu, tak usah malu jika anak kita tidak bersekolah. Masyarakat perlu diberi penyadaran bahwa anak tidak bersekolah bukan merupakan suatu aib. Justru aib terbesar terjadi jika anaknya bersekolah tapi tidak belajar apa-apa.

Kamis, 01 April 2010

Ujian Nasional Online, Mungkinkah?

Kontroversi pelaksanaan ujian nasional tahun ini rupanya kurang mendapat tempat dalam catatan media. Selain mesti bersaing dengan kasus-kasus besar yang menyita perhatian khalayak –seperti heboh makelar kasus- ujian nasional tak lagi seksi untuk diperdebatkan. Pasalnya, pemerintah masih terus saja lenggang kangkung melaksanakan UN untuk siswa sekolah menengah di tengah hamtaman pengritiknya.
Apapun alasan pemerintah untuk tetap menggelar ujian nasional harus kita hargai seperti layaknya kita juga menghargai suara-suara yang menolak ujian nasional.
Debat kusir yang menghabiskan energi ini selayaknya diakhiri dengan menemukan satu titik persamaan. Kalaupun kebijakan ujian nasional ini sangat penting untuk melihat sejauh mana pencapaian siswa dalam menguasai materi pelajaran, sebaiknya pemerintah memperhatikan juga bahwa penentuan kelulusan siswa tidak serta merta ditentukan dari hasil UN tersebut.
Betapa tidak, ujian nasional kini menjadi satu momok yang menakutkan bagi seluruh siswa. Tentu ini sangat bertentangan dengan prinsip dasar belajar yaitu belajar akan sangat optimal apabila tanpa disertai tekanan.
Kabar terakhir datang dari Cilacap. Nurhayati, siswi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Boedi Oetomo, Kecamatan Gandrungmangu, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, meninggal dunia setelah pingsan saat mengerjakan ujian nasional (UN) Kamis (25/3). Seperti yang diberitakan Antara, berdasarkan pengakuan orang tua korban, Nurhayati belajar hingga larut malam untuk mempersiapkan diri menghadapi UN hari keempat. Selain itu Nurhayati sempat menjalani ritual puasa selama ujian sehingga hampir selama empat hari ujian itu dia tidak pernah sarapan, demikian penjelasan orang tuanya.
Fenomena ini mungkin ibarat gunung es, Nurhayati adalah satu dari banyak siswa-siswa yang harus menjadi korban ujian nasional. Di beberapa daerah ada yang mengalami pingsan, stress, tertidur di dalam kelas bahkan kesurupan. Praktis ujian nasional yang hanya mengukur aspek kognitif saja telah menimbulkan kerugian.
Belum lagi kendala lain seperti distribusi soal, kesalahan dalam penggunaan lembar jawaban komputer, kesalahan pengunaan pensil 2B membuat siswa berharap-harap cemas. Apakah lembar jawaban komputernya tidak rusak selama dalam perjalanan? apakah pensil 2B yang digunakan asli atau palsu? dan lain sebagainya. Kecemasan-kecemasan ini makin membuat siswa-siswa tidak optimal dalam mengerjakan soal-soal. Akhirnya yang muncul adalah ketidakadilan. Siswa yang secara kognitif pintar bahkan bisa gagal karena tersandung masalah teknis.
Menjadi pertanyaan adalah mungkinkah ujian nasional dapat dilakukan secara online? Model ujian secara online memang sudah banyak diterapkan di beberapa lembaga untuk tujuan sertifikasi. Mekanisme yang dilakukan memang tetap terkontrol di satu ruangan, di mana para peserta ujian menggunakan user name yang sudah ditentukan. Biasanya ujian online ini diadakan dengan peserta kurang dari seribu orang mengingat kapasitas brandwith dari server yang digunakan. Ini untuk menjaga agar setiap peserta memperoleh kecepatan mengakses data yang sama.
Kendala yang dihadapi jika ujian nasional dilakukan secara online terletak pada infrastruktur. Provider internet tentu ogah menyediakan jaringan yang begitu rumit sementara ujian nasional hanya berlangsung sekali setahun. Ini tentu berbeda dengan ujian sertifikasi online yang dalam setahun bisa berlangsung selama empat kali. Biaya investasi tentu akan jauh lebih besar.
Selain itu, jumlah peserta ujian nasional online yang bisa menembus angka jutaan orang adalah salah satu kendala tersendiri. Sebab dengan serentak mengakses ujian nasional online diperlukan kapasitas brandwith yang amat besar pula. Ini untuk menghindari kelambatan atau kegagalan dalam mengakses data. Belum lagi masalah hardware yaitu komputer. Tidak setiap sekolah memiliki laboratorium komputer sejumlah besar siswa peserta ujian nasional. Ini tentu juga merupakan suatu kendala.
Namun untuk sebuah gagasan sah-sah saja bila ujian nasional online ini layak untuk dijadikan bahan kajian.

Menjadikan Belajar Bermakna

Ujian Nasional telah membuat belajar seolah kehilangan maknanya. Siswa dipacu untuk menyelesaikan soal yang tertulis di atas kertas. Padahal sesungguhnya, tujuan belajar diharapkan membuat siswa memcahkan soal-soal dalam kehidupan nyatanya.

Mengutip pernyataan guru saya -Mas Hernowo- dalam bukunya "Mengikat makna" saya lantas tergerak untuk membuat tulisan bertajuk menjadikan belajar bermakna. Sependapat dengan beliau, apa yang terjadi dalam dunia persekolahan di Indonesia dalam kurun dua puluh tahun terakhir ini sangat jauh dari harapan.

Guru-guru tampil di depan kelas dengan persiapan seadanya. Siswa hanya dijejali lembar demi lembar latihan soal yang dicuplik dari LKS atau bank soal. Kegiatan pembelajaran miskin akan kreativitas dan sekolah hanya memikirkan ketuntasan kurikulum, bukan ketuntasan belajar siswa.

Padahal Jones, Valdez, Nowakowski, and Rasmussen (1994) jauh-jauh hari telah memberikan arahan mengenai bagaimana seharusnya pembelajaran di abad 21 dilakukan. Bukunya yang berjudul Designing Learning and Technology for Educational Reform memaparkan delapan indikator yang memandu penyelenggara pendidikan agar menjadikan pembelajaran lebih bermakna dan menarik.
Berikut indikator-indikator yang mesti perhatikan untuk mencapai pembelajaran yang bermakna;
1. Visi Belajar Bermakna
para pembelajar yang memaknai belajar harus memiliki visi yang benar tentang apa itu belajar yang bermakna. mereka telah memahami bahwa belajar adalah sebuah kebutuhannya, mereka dapat merumuskan secara mandiri apa tujuan belajar dan apa yang akan mereka dapat dari apa yang mereka pelajari. Dengan mengetahui visi itu, pada akhirnya mereka akan sangat antusias dalam belajar. Antusiasme itulah yang menjadi pembuka jalan menuju keterampilan mereka dalam memecahkan persoalan-persoalan kehidupan.

2. Penugasan Bermakna
Untuk mencapai hasil belajar yang dapat diikat maknanya oleh siswa, diperlukan jenis tagihan penugasan yang tentu bermakna pula. Penugasan yang bermakna harus sangat menantang , berbasis pada penilaian otentik melalui rubrik, dan melibatkan lintas disiplin ilmu lainnya. Penugasan ini bahkan sering meminta siswa meramu beragam pengetahuan yang telah mereka miliki sebelumnya menjadi satu kesimpulan.

3. Penilaian Bermakna
Pemberian tugas yang menghasilkan penilaian bermakna hanya dapat dilakukan dengan memberi tugas berupa penugasan pribadi maupun kelompok yang dapat diukur melalui penilaian yang adil, penugasan proyek, penyelidikan, pengamatan, mewawancarai nara sumber, dan mengujicobakan penemuannya itu dalam sebuah presentasi atau hasil karya produk. Penilaian berbasis kinerja -demikian orang biasa meyebutnya-, secara umum dapat menunjukkan sejauh mana pencapaian siswa, dari segi perencaaan, penilaian dan pelaporan hasil kerjanya.

4. Model Pembelajaran dan Strategi Belajar Bermakna
Model pembelajaran interaktif akan sangat berguna dalam membuat belajar menjadi bermakna. Pendekatan belajar yang dilakukan bukan satu arah melainkan dari berbagai arah. Guru bukanlah satu-satunya sumber belajar. Siswa dapat saling belajar dengan rekan lainnya dalam pembelajaran teman sebaya lewat diskusi kelompok, brainstroming ,problem-solving processes,dan team teaching.

5. Belajar Kontekstual
Kebermaknaan belajar dapat terjadi dalam komunitas belajar yang membangun pengetahuan. komunitas ini tidak hanya membuat anggotanya bertambah ilmu pengetahuan tapi juga membuat para anggota mempunyai tanggung jawab kelompok untuk saling mencerdaskan satu sama lain, memunculkan nilai-nilai kebersamaan dalam perspektif yang berbeda. Melalui ruang belajar yang mengakomodasi kolaborasi antar siswa, setiap siswa pada akhirnya akan terpacu mengeluarkan pertanyaan bernas, memilah dan memilih masalah, membangun opini, menetapkan tujuan belajarnya. belajar kolaboratif ternyata juga mmapu membuat sisiwa memiliki keterampilan komunikasi yang cuukup baik tidak hanaya dengan sesama siswa di lingkungan sekolah namun juga di luar sekolah.

6. Pengelompokan Siswa
Pemilihan kelompok berdasarkan heterogenitas adalah salah satu pilihhan bijak dalam membuat suasana pembelajaran menjadi lebih bermakna. Heterogenitas kelompok termasuk perbedaaan jenis kelamin, budaya, ras, agama, kemampuan individu, dan latar belakang ekonomi.

7. Guru Sebagai Role Model
Paradigma pembelajaran telah merubah peran guru yang pada awalnya sebatas pemberi informasi kini bergeser menjadi pelayan informasi. Sebagai fasilitator, guru bertugas menyediakan segala macam sumber belajar dan pengalaman belajar yang dibutuhkan oleh siswa. Guru juga terkadang berperan sebagai guide alias penunjuk jalan yang mengarahkan tujuan belajar siswa tepat pada jalurnya.