18
Juni 2006, aku renggut dia dari keluarganya. Berbekal kemampuanku menaklukkan
wanita, entah kenapa dia langsung percaya. Aku yang tak punya apa-apa, bahkan
tak bermodal apa-apa berani-beraninya mengajaknya mengarungi bahtera rumah
tangga.
Dia
tinggalkan dan tanggalkan kenikmatan, kelapangan, kebahagiaan yang didapat dari
keluarganya hanya untuk hidup bersamaku. Padahal aku belum bisa memberinya masa
depan. Aku baru setahun lulus kuliah, bahkan pekerjaan pertamaku atas budi
baiknya. Tapi tekadku sudah bulat, apalagi calon mertua selalu menanyakan, “
Bapak gak mau loh, liat kalian berdua-berduaan terus..bapak takut dosa!” kemudian
sambungnya dengan logat Sunda yang kental beliau berujar, “Sok atuh, Tata disegerakan!”
Akhirnya
dengan mengucap bismillahi rahmannir rahiim, lisanpun berkata, “saya terima
nikahnya Irma Kusumasari binti Ali Thoyib dengan mas kawin emas 10gr dan
seperangkat alat sholat dibayar tunai!”
Seketika itu pula bersahutan orang berkata, “sah..sah..sah!!!”
Kini
tujuh tahun telah berlalu, suka dan duka telah kami jalani. Khusus untuk bagian
ini saya tak ingin cerita panjang lebar. Sebab terlalu banyak yang mesti
dikisahkan. Seperti yang sudah disinggung semula, Irma Kusumasari telah rela
menanggalkan semua kesenangan pribadinya semasa gadis hanya untuk bersamaku. Hidupnya
bahagia, apa yang diinginkannya bisa segera terpenuhi, kemauannya selalu mudah
dituruti. Ia tidak mengenal kata nanti, besok ya kalau ada, atau janji-janji surga
sebatas penenang gusarnya.
Sementara bersamaku, ia sudah terbiasa
termakan janji. Pernah suatu ketika, ia ingin sekali dibelikan sepatu, tapi aku
belum ada uang aku cuma punya janji, “nanti yah, kalau ayah ada uang!” aku
mencoba menenangkannya. Ia jarang sekali ku belikan baju bagus, bahkan beli
baju bisa dihitung dengan jari. Padahal semasa gadisnya dahulu, setiap minggu
sekali ia selalu ganti koleksi sepatu, tas dan baju. Uang jajannya kala itu,
untuk ukuran mahasiswa sebayanya tergolong yang paling besar. Duaratus ribu
tiap minggu. Bahkan karena dahulu belum
banyak tersedia mesin ATM setor tunai, petugas teller bank sampai hafal wajah supir ayahnya karena setiap minggu,
ia selalu ditugasi menyetor uang untuk putri kesayangannya nun jauh di sana.
Irma Kusumasari rela menanggalkan
segala gemerlap kehidupannya bersamaku, -Suharta Ristian Dwiputra- orang yang
banyak harta sebatas di nama. Hebatnya Irma,
meski baju yang dipunya adalah koleksi-koleksinya semasa gadis, namun ia pandai
memadupadankan. Tak terlihat seperti baju usang karena ia pandai memainkan warna.
Merombak bentuk, memodifikasi bahkan tak jarang tambal sulam sehingga tercipta
suatu kreasi pakaian yang baru. Bahkan ada kawan yang berseloroh, “wah Irma glamor nih pakaiannya bagus-bagus….!”
Dalam hati istriku bergumam, “Hhmm, gak tau aja lo,, ini baju bekas semua…mana
bisa suamiku beliin baju-baju bagus”.
Bersamaku, Irma tak lagi mencari baju di mal
terkenal atau pusat perbelanjaan mewah. Percaya atau tidak, ia lebih sering
mengaduk-mengaduk keranjang baju diskon, itupun di toko baju sisa eksport atau
yang lebih dikenal sebagai baju inang-inang yang selembarnya seharga lima
ribuan.
Banyak
perempuan yang bersedia hidup bersama laki-laki dalam keadaan sulit. Tapi jarang
sekali ada perempuan yang masih bersedia hidup dalam kesulitan bersama
laki-laki yang telah mengkhianatinya. Namun, kenyataannya masih ada wanita yang
bersedia untuk itu. Dan itu ada pada diri Irma Kusumasari. Betapa tidak, dalam
kesulitan hidup, menanggalkan kebahagiaan yang semestinya bisa ia dapat dari
keluarganya, Irma malah mendapat perlakuan buruk dari lelakinya. Ya, aku
berkhianat. Membuatnya sakit hati dan menodai rumah tangga ini. Noktah merah
sudah tertulis, tidak sekali, bahkan hingga berulang kali. Semestinya ia bisa memilih untuk pergi dan
mencari kebahagiaan lain di sana. Tapi ia masih bertahan, bertahan hingga kini.
Jika
banyak wanita lain memilih pergi sebab sudah punya cukup alasan, tapi tidak
dengan Irma. Aku sempat kehilangan
pekerjaan. Tidak bisa memberinya nafkah, bahkan ia sudah berulangkali dikhianati,
disakiti, dan lain sebagainya. Sebenarnya sudah cukup alasan bagi Irma untuk
meninggalkanku dan pergi kepada orang lain yang bisa membahagiakannya,
melindunginya, mencukupinya, menghargainya dan lain sebagainya.
Saat
aku kehilangan pekerjaan dalam waktu yang mendadak, aku panik. Bulan ini
berarti tidak ada penghasilan, anak istriku bagaimana? Sewaktu masih bekerja
saja banyak kebutuhannya yang tak bisa kupenuhi, bagaimana jika sekarang tidak
ada pekerjaan sama sekali???. Aku hampir stress, walaupun aku sudah stress dari
dulu, tapi syukurnya Irma tidak tahu itu.
Dari bibirnya
yang mungil lantas keluarlah dengan tenang sebuah ucapan “Sudah ga usah sedih,
coba hubungi Azis minta kerjaan sama dia, mungkin dia bisa bantu”. Aku lantas
menghubungi Azis, Presiden Sedekah Harian, kami memang beberapa bulan terakhir
aktif menjadi relawannya. Mendengar berita aku yang sudah jobless, Azis mencoba mencarikan solusi. Ia menyuruhku bertemu
rekannya Edisman Adiguna, aku belum kenal siapa dia. Kata Azis, “Pokoknya ente
ketemu aja dulu orang ini, kalo bisa besok ke Cikini, ini alamatnya” begitu
pesan Azis melalui pesan di facebook.
Singkatnya, bertemulah
aku dengan Edisman. Tak lupa pula aku mengajak istriku. Bukan apa-apa, sebab
jika berduaan bertemu dengan yang bukan mahromnya, maka yang ketiga setan. Beruntung
di tempat pertemuan itu tidak hanya bertiga, tapi ada rekan-rekan yang lain
dari Sedekah Harian. Syukurlah, akhirnya tidak ada di antara kami yang dianggap
setan, karena jumlah yang hadir lebih dari tiga. Pertemuan itu berlangsung
padat, karena ternyata itu adalah pertemuan Badan Pengurus Harian Sedekah
Harian. Jadi mereka membahas rapat rutin dan di akhir rapat yang panjang itu,
diberikanlah kesempatan aku untuk bicara. Edisman pun memperkenalkan aku dan
istriku, setelah itu Edisman angkat bicara “Saudara kita ini, seorang standup comedian dan kita membutuhkan
kemampuannya untuk membantu kita mensosialisasikan Gerakan #SedekahSehariSeribu
melalui komunitas kita Sedekah Harian!!”
Aku gugup, tidak
menyangka bakal secepat itu. Belum sempat aku berkata, Edisman melanjutkan
ucapannya, “Oke di antara kalian ada yang ingin bertanya?” wajahnya menatap ke
seluruh peserta yang hadir.
Salah seorang
mengangkat tangan, “Jadi ngapain tugasnya saudara kita ini???” tanyanya dengan
penasaran.
“Nah, itulah mengapa saya undang saudara kita
ini kemari, biar bisa menjelaskan!!!” Aku tersentak mendengar ucapan Edisman,
makin tersentak lagi ketika telunjuknya mengarah ke wajahku. “Boro-boro mau
presentasi program, lah disuruh ke Cikini aja kupikir bakal dikasih sedekah
buat menyambung hidup, lah ini malah disuruh presentasi,” aku terus bergumam.
Aku pun bicara ngalor-ngidul sekenanya, bahkan bukan cuma soal apa yang akan
aku kerjakan nanti, sessi itu malah
lebih mirip curhat masalah keluarga. Dari situ gagasan #SENDAWA pun dimulai. Hingga
akhirnya aku harus memperbaiki usulanku dalam bentuk yang lebih terstruktur
lagi lewat medium powerpoint, untuk
dipresentasikan pada pertemuan selanjutnya.
SENDAWA (Sedekah
& Canda Tawa) adalah inisiatif program yang dibuat olehku berdasarkan
arahan dari Edisman. Bentuknya sederhana, aku hanya diminta standup comedy
dengan diselingi ajakan untuk mengenal komunitas @sedekahharian dan ikut
program #sedekahsehariseribu. Tentu jika ingin mengajak orang, kita dahulu
harus memulainya. Maka dari itu, aku pun akhirnya ikut gerakan
#sedekahsehariseribu sambil aku terus mensosialisasikannya lewat medium standup
comedy yang ku bisa lakukan. SENDAWA mulai merambah kemana-mana, tidak hanya
dipublikasi lewat social media atau jalur online, tapi juga dikenal melalui
media offline.
http://suc.metrotvnews.com/article/kolom/71
SENDAWA tidak
berbayar. Aku juga bingung bagaimana nanti nasib periuk nasiku jika program ini
gratisan. Secara pragmatis demikianlah kalkulasi kita sebagai manusia di atas
kertas. Bagi Allah SWT ternyata tidak demikian. Benarlah janji Allah SWT, “barang
siapa yang menolong agama, niscaya Allah SWT akan menolongnya”. Anggap saja aku
sedang bertransaksi, berjual-beli dengan Allah. Dan ternyata berjual beli
dengan Allah SWT tidak pernah ada ruginya.
Keyakinan itu terus
aku tanam, tak lupa pula istriku menguatkan. Sedikit demi sedikit jadwal
SENDAWA mulai berjalan. Hampir setiap bulan, ada saja panggilan mengisi acara
#SENDAWA, entah itu di sekolah, kampus, komunitas remaja mesjid, komunitas
hobi, mal dan perkantoran. Terkadang, selepas acara SENDAWA ada saja yang
memanggil untuk mengisi di tempat lain. Contoh, saat mengisi di sekolah,
ternyata ada guru yang melihat dan guru ini aktivis partai tertentu, akhirnya
aku diminta mengisi di acara partai.
http://www.pkspasarminggu.org/2013/08/gallery-halal-bi-halal-dpc-pks-pasar.html Nah, peserta yang hadir di acara partai
tersebut, ada saja simpatisan yang memiliki jabatan di kantor atau menjadi
pengusaha, membutuhkan seorang standup comedian, akhirnya aku pun bertukar
kartu nama. Dan sepanjang bulan itu selepas aku tidak bekerja, aku hampir tidak
pernah ingat bahwa ternyata kami tidak pernah kelaparan. Terus menerus rezeki
menghampiri. Kekhawatiran akan tidak punya uang sirna. Bahkan aku sampai harus
bingung mengatur jadwal. Hingga
schedule untuk bulan berikut dan dua
bulan berikutnya sudah ada yang
booking.
Alhamdulillah, aku tidak hanya merambah di kegiatan off air tapi juga kini
mendapat tawaran mengisi on air di radio, hingga bisa punya acara sendiri.
Dari sinilah aku
tersadar, tak ada ruginya jika berjual beli pada Allah SWT. Aku menangis
membaca QS Al HAdid :11 “Siapakah yang
mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan
melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala
yang banyak” bergetarlah hatiku. Ingatanku seolah melambung pada dua-tiga
bulan sebelum ini. Kegalauan, kegelisahan, kebingungan karena tidak memiliki
pekerjaan tiba-tiba mendadak hilang ketika aku memutuskan kerja hanya untuk
Allah SWT. Aku pun teringat ucapan Azis,
Edisman dan rekan-rekan lainnya di Sedekah Harian, “kami ga bisa kasih apa-apa
loh…semuanya di sini kerja hanya untuk Allah,, jangan harap dapat apa-apa ya
dari sedekah harian..” dan pesan itu terus terngiang, terus terngiang, hingga
meresap ke dalam relung hati. Aku pinjamkan waktuku untuk Allah, aku pinjamkan
tenagaku untuk Allah, aku pinjamkan keahlianku untuk Allah dan ternyata aku
mendapat balasan yang berlipat, padahal waktuku, keahlianku, tenagaku juga
sebenarnya milik Allah… aku termenung. Aku terdiam. Ternyata Allah SWT tengah
menunjukkan sifat Maha Rahman dan Rahimnya. Dia yang memberikan segalanya untuk
kita, tubuh kita, tenaga kita, keahlian kita, hakikatnya bukan punya kita,
melainkan punya Dia. Seharusnya tanpa diminta pun kita wajib mengembalikannya,
tapi Allah SWT hanya meminta kita meminjamkan sesuatu yang sebenarnya milik
Dia. Anehnya, Allah SWT malah memberikan balasan atas pinjaman itu bahkan
pahala berlipat atas sesuatu pinjaman yang
hakikatnya milikNya juga. Sampai sini bingung ‘kan kalian? Saya juga
bingung pada logika ini. Secara hitungan ekonomis jelas ngawur, mengikuti hukum
fisika kesetimbangan jelas ngaco, apalagi hukum aksi dan reaksi dari ilmu
kimia.
Tanpa bermaksud
riya (padahal sedekah cuma Rp 30.000 tidak pantas disebut riya), tadi sempat saya
singgung bahwa selain ber SENDAWA (Sedekah & Canda Tawa), saya juga ikut
program #SedekahSehariSeribu. Jadi sebulan saya sedekah ke @sedekahharian
sebesar Rp 30.000, sebuah angka yang kecil. Dan anda tahu berapa penghasilan
yang saya dapat selama berSENDAWA ke sana ke mari? Setelah saya hitung ternyata
angkanya menembus dua setengah juta rupiah. Bahkan kadang angkanya bisa
melebihi dari itu. Saya tercengang kembali..benarlah yang disampaikan Allah SWT
dalam firmanNya, “perumpamaan (infak yang
dikeluarkan oleh) orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah
serupa dengan butir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir
seratus biji. Allah Melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan
Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui “ (QS, Al Baqarah : 261).
Jadi, keherananku soal munculnya rezeki dua juta setengah dari sedekah tigapuluh
ribu terjawab sudah!
Perlahan aku
mulai menemukan titik terang. Kehidupan ekonomi dan sosialku kembali membaik. Aku
pun kembali bersemangat menata hidup. Apalagi kini aku mengerjakan sesuatu
bidang pekerjaan yang merupakan kesenanganku. Aku siaran pagi di radio bahana
101,8 FM jam 6-10 pagi. Pada siang harinya di hari rabu aku siaran di radio
kanal KPK membawakan program komedi. Setelah itu aku pulang. Sabtu-Minggu,
ngemsi atau standup comedy baik komersial maupun social. Praktis “resminya” jadwal
kerjaku setiap hari cuma siaran 4 jam, ya kerjaku cuma 4 jam untuk dunia. 20
jam nya lagi harus untuk Allah. Aku berSENDAWA, berSedekah Canda Tawa. Ini yang
20 jam sehari aku lakukan.
Betapa sempurnanya
hidup. Dan hidupku jadi lebih sempurna, karena seorang Irma Kusumasari. Ia tidak
saja sanggup menemaniku bertahun-tahun dalam penderitaan, namun ia jua yang
menuntunku pada Sedekah Harian.