Atrahus[1]
Membicarakan
pemilu di Indonesia terasa menarik jika yang dibahas adalah suksesi
kepemimpinan. Meski nyatanya, proses pemilu diawali dengan pemilihan anggota
egislatif, jauh-jauh hari justru yang santer terdengar adalah hiruk pikuk
memilih calon presiden dan wakil presiden. Artinya, pemilu di Indonesia
dikesankan hanya mencari sosok pemimpin nasional di lembaga eksekutif.
Maka
tak heran, hingar bingar politik di Indonesia terus bergejolak di sekitaran
figur siapa yang bakal menjadi presiden. Semua mahfum, bila pemimpin partai di
Indonesia –entah itu ketua umum atau presiden partai- selalu digadang-gadang menjadi presiden dan
wakil presiden.
Setidaknya
sudah muncul beberapa nama yang mengemuka, seperti Joko Widodo, Prabowo
Subianto, Aburizal Bakrie, Wiranto, hingga Jusuf Kalla. Tragisnya tidak ada
nama yang muncul dari Partai Demokrat, partai yang mengantarkan SBY menjadi
presiden dua periode.
Demokrat
sepertinya sedang kebakaran jenggot.. Kisruh partai yang diawali dari kasus
Nazaruddin yang akhirnya menjungkalkan Anas, soliditas partai yang terpecah
menjadi banyak faksi, hingga tak jelasnya arah dan tujuan partai dalam
menyikapi kasus-kasus yang menderanya menjadikan Demokrat seperti masuk angin.
Suka
atau tidak suka, harus diakui Demokrat dibangun atas dasar figur. Sebagai
partai berbasis figure, Demokrat jelas akan kehilangan pamor selepas SBY
pensiun. Beberapa pengamat malah lebih ekstrim menyebut bahwa Demokrat adalah
sekumpulan fans SBY. Kelahiran Partai Demokrat kala itu memang tak lepas dari
peran SBY dan keberhasilannya pun semata karena figuritasnya. Hingga kini
Demokrat belum menampakkan jago yang siap dielus-elus. Penyebutan nama Ibu Any
Yudhoyono sebagai capres juga sebatas kosmetik politik, pun demikian dengan
keterlibatan Ibas putra bungsu SBY ataupun Pramono Edhi tak lebih dari simbol
penerus trah Yudhoyono. Nyatanya sebagai
sekjen atau anggota DPR pun Ibas tak banyak menonjol, begitu juga Pramono Edhi
belum nyata betul teruji.
Demokrat
terus memutar otak menaikkan elektabilitas, hingga ditemui satu solusi yaitu
dengan menggelar konvensi. Sudah banyak yang menduga, konvensi ini hanya
akal-akalan belaka. Bahkan yang lebih parah beberapa tokoh besar dari luar
partaipun sudah menyatakan ogah mengikuti konvensi.
Rakyat
sepertinya sudah mulai cerdas. Ide untuk konvensi tak lebih dari sekedar
pencitraan semata. Memang selama 15 tahun suksesi kepemimpinan di negeri ini
dibumbui drama layaknya opera sabun mandi atau ajang pencarian bakat yang
menguras emosi dan mendatangkan simpati. Juara yang terpilih pun kualitasnya
belum teruji, untuk tidak dikatakan juara karbitan asal jadi.
Tiga
periode kepemimpinan yang lalu memang selayaknya acara reality show pencarian
bakat, publik seketika tersihir menentukan pilihan pemenang hanya karena
dahsyatnya pencitraan. Abdurahhman Wahid terpilih sebagai presiden karena
dicitrakan sebagai pemersatu, Megawati
yang lantas menggantikannya beberapa tahun kemudian juga mendapat pencitraan
sebagai pemenang pemilu yang dikelabui dan pada akhinya mengundang simpati, pun
demikian dengan Yudhoyono yang langsung menyabet perhatian dan
menjungkirbalikkan logika publik lewat aktingnya yang memikat sebagai “jenderal
berkelakuan anak kecil,” sesumbar (alm) Taufiq Kiemas kala itu.
Cukup
sudah tiga periode suksesi kepemimpinan kita diselimuti oleh sandiwara dan
tumpahan air mata buaya. Semoga kali ini rakyat tidak tersihir oleh parodi konvensi
yang semata untuk mengaburkan imaji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
follow @atrahus