Senin, 02 September 2013

Selamat Tinggal Demokrat!



Atrahus[1]
Membicarakan pemilu di Indonesia terasa menarik jika yang dibahas adalah suksesi kepemimpinan. Meski nyatanya, proses pemilu diawali dengan pemilihan anggota egislatif, jauh-jauh hari justru yang santer terdengar adalah hiruk pikuk memilih calon presiden dan wakil presiden. Artinya, pemilu di Indonesia dikesankan hanya mencari sosok pemimpin nasional di lembaga eksekutif. 
Maka tak heran, hingar bingar politik di Indonesia terus bergejolak di sekitaran figur siapa yang bakal menjadi presiden. Semua mahfum, bila pemimpin partai di Indonesia –entah itu ketua umum atau presiden partai-  selalu digadang-gadang menjadi presiden dan wakil presiden.  
Setidaknya sudah muncul beberapa nama yang mengemuka, seperti Joko Widodo, Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Wiranto, hingga Jusuf Kalla. Tragisnya tidak ada nama yang muncul dari Partai Demokrat, partai yang mengantarkan SBY menjadi presiden dua periode.
Demokrat sepertinya sedang kebakaran jenggot.. Kisruh partai yang diawali dari kasus Nazaruddin yang akhirnya menjungkalkan Anas, soliditas partai yang terpecah menjadi banyak faksi, hingga tak jelasnya arah dan tujuan partai dalam menyikapi kasus-kasus yang menderanya menjadikan Demokrat seperti masuk angin.
Suka atau tidak suka, harus diakui Demokrat dibangun atas dasar figur. Sebagai partai berbasis figure, Demokrat jelas akan kehilangan pamor selepas SBY pensiun. Beberapa pengamat malah lebih ekstrim menyebut bahwa Demokrat adalah sekumpulan fans SBY. Kelahiran Partai Demokrat kala itu memang tak lepas dari peran SBY dan keberhasilannya pun semata karena figuritasnya. Hingga kini Demokrat belum menampakkan jago yang siap dielus-elus. Penyebutan nama Ibu Any Yudhoyono sebagai capres juga sebatas kosmetik politik, pun demikian dengan keterlibatan Ibas putra bungsu SBY ataupun Pramono Edhi tak lebih dari simbol penerus trah Yudhoyono.  Nyatanya sebagai sekjen atau anggota DPR pun Ibas tak banyak menonjol, begitu juga Pramono Edhi belum nyata betul teruji. 
Demokrat terus memutar otak menaikkan elektabilitas, hingga ditemui satu solusi yaitu dengan menggelar konvensi. Sudah banyak yang menduga, konvensi ini hanya akal-akalan belaka. Bahkan yang lebih parah beberapa tokoh besar dari luar partaipun sudah menyatakan ogah mengikuti konvensi.
Rakyat sepertinya sudah mulai cerdas. Ide untuk konvensi tak lebih dari sekedar pencitraan semata. Memang selama 15 tahun suksesi kepemimpinan di negeri ini dibumbui drama layaknya opera sabun mandi atau ajang pencarian bakat yang menguras emosi dan mendatangkan simpati. Juara yang terpilih pun kualitasnya belum teruji, untuk tidak dikatakan juara karbitan asal jadi.
Tiga periode kepemimpinan yang lalu memang selayaknya acara reality show pencarian bakat, publik seketika tersihir menentukan pilihan pemenang hanya karena dahsyatnya pencitraan. Abdurahhman Wahid terpilih sebagai presiden karena dicitrakan sebagai  pemersatu, Megawati yang lantas menggantikannya beberapa tahun kemudian juga mendapat pencitraan sebagai pemenang pemilu yang dikelabui dan pada akhinya mengundang simpati, pun demikian dengan Yudhoyono yang langsung menyabet perhatian dan menjungkirbalikkan logika publik lewat aktingnya yang memikat sebagai “jenderal berkelakuan anak  kecil,”  sesumbar (alm) Taufiq Kiemas kala itu. 
Cukup sudah tiga periode suksesi kepemimpinan kita diselimuti oleh sandiwara dan tumpahan air mata buaya. Semoga kali ini rakyat tidak tersihir oleh parodi konvensi yang semata untuk mengaburkan imaji.




[1] Guru, Standup Comedian, Pekerja Sosial tinggal di Depok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

follow @atrahus